KPK lahir karena ada anggapan lantai kotor tak bisa dibersihkan dengan sapu kotor, tapi harus dengan sapu bersih. KPK adalah sapu bersih membersihkan lantai kotor. Tapi itu dulu. Kini, KPK tampak sama kotornya.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Judul yang saya pilih di atas terinspirasi puisi ”Hujan Bulan Juni”, karya penyair Sapardi Djoko Damono. Puisi itu diciptakan Sapardi, tahun 1989. Namun, ”Prahara Bulan Juni” saya ambil untuk menggambarkan peristiwa tercela yang terjadi di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi dan terungkap pada Juni 2023. Komisioner KPK (2015-2019) Saut Situmorang menyebutkan rangkaian peristiwa yang terjadi di KPK adalah ”disaster”.
KPK lahir lewat tekanan Gerakan Reformasi Mei 1998 yang memakan korban jiwa. Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) merupakan keputusan politik bangsa ini untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN. Ketetapan itu ditandatangani Ketua MPR Harmoko, serta Wakil Ketua Hari Sabarno, Ismael Hasan Metareum, Abdul Gafur, dan Poedjono Pranyoto, pada 13 November 1998.
Semangat kebatinan lahirnya Tap MPR terlihat di bagian konsideran. Pada butir (c) tertulis, ”tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pembangunan dapat berdayaguna dan berhasil guna”. Kemudian di butir (d), ”penyelenggaraan negara telah terjadi praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan pejabat negara dengan pengusaha sehingga merusak sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional”.
Dari rahim Tap MPR itu lahir semangat kewajiban penyelenggaraan negara melaporkan kekayaan kepada komisi independen dan pesan kuncinya pada Pasal 4, ”Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”
Itu teks Tap MPR yang merupakan jeritan nurani bangsa soal maraknya korupsi di negeri. Dua puluh lima tahun berlalu, bangsa ini bisa mengevaluasi dokumen politik itu. Pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto tak pernah bisa digelar. Presiden Megawati Soekarnoputri melahirkan KPK, 27 Desember 2002.
KPK lahir dari reformasi. KPK lahir karena jeritan anak bangsa karena korupsi yang merajalela. KPK lahir karena ada anggapan lantai kotor tak bisa dibersihkan dengan sapu kotor, tapi harus dengan sapu bersih. KPK adalah sapu bersih membersihkan lantai kotor. Tapi itu dulu. Kini, KPK tampak sama kotornya.
Komersialisasi kunjungan ke rumah tahanan KPK adalah bentuk pengkhianatan terhadap reformasi. Dewan Pengawas KPK, pada Juni 2023, menyebut ada uang Rp 4 miliar dari kerabat ke rutan. Ada pula pelecehan seksual antara kerabat tahanan di rutan dan petugas rutan. Komersialisasi kunjungan tahanan kian menguatkan pandangan Menko Polhukam soal, ”Industrialisasi hukum”.
Belum lengkap cerita itu, Sekjen KPK Cahya Harefa pada Juni 2023, mengungkapkan ada pegawai KPK yang diduga melakukan tindak pidana korupsi uang perjalanan dinas pegawai. Jumlahnya mencapai Rp 550 juta. ”Oknum tersebut telah dibebastugaskan,” kata Cahya Harefa (Kompas.id, 28/6/2023).
Pada Juni 2023, Dewas KPK mengumumkan, belum cukup bukti menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik pembocoran penyelidikan KPK di kementerian yang diduga dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri. Beberapa hari kemudian, Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) Karyoto mengemukakan ada indikasi tindak pidana dalam pembocoran dokumen tersebut. Karyoto pernah bertugas di KPK dan dikembalikan Firli ke Mabes Polri.
Prahara Juni 2023 memprihatinkan bangsa ini. Saya mengenal dekat pejabat dan penyelidik di KPK. Anak-anak muda idealis. Ketika melakukan penyamaran dia hanya membawa tas punggung dan membawa air kemasan. Pejabat KPK berbicara di seminar perguruan tinggi. Si pejabat menolak ditawari jemputan, menolak uang saku, dan memilih naik taksi. Kebanggaan pada KPK tinggi dari para pekerjanya. Tapi itu dulu. Kini, suasana itu tampaknya sudah berubah.
Zaman telah berubah. Dan perubahan itu terjadi sejak revisi UU KPK, Desember 2019. Revisi itu bukan hanya telah mengooptasi KPK dalam cengkeraman eksekutif atau kekuatan politik melainkan memudarkan norm, value, dan integritas yang dibangun di KPK.
Sejarah bangsa ini memberi pelajaran. Keberhasilan komisi negara (state auxiliary body) akan ditentukan oleh ”Empat M”, yakni man, momentum, media dan money. Kini dan saat ini, ”Tiga M” di KPK telah memudar, yakni manusia, momentum, dan media. Masyarakat sipil telah menjauh karena banyak dikecewakan. Media mulai berkurang perhatiannya. Manusia di KPK mulai diragukan. Tinggal money yang menghidupi KPK.
Dalam kondisi itulah putusan MK yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun, menjadi absurd karena kehilangan logika konstitusionalisme, kehilangan basis kemanfaatan. Untuk apa diperpanjang?
Lalu apa? Publik berharap Presiden Jokowi berani mengambil langkah mengembalikan marwah KPK. Elite berani mengambil langkah menerbitkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, Omnibus Law UU Kesehatan, mengapa tak berprakarsa membuat Omnibus Law UU Pemberantasan Korupsi untuk mengembalikan KPK kepada khittahnya dan memasukkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.
Jika tidak, mungkin benar apa yang ditulis Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan. Di situ dikutip Thrasymachus, ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang berkuasa. Sedang bagi mereka yang lemah, hukum tidak berdaya membela”.