Suara Haedar dan Magnis ibarat suara “muazin” bangsa yang kian lirih di pinggiran. Suara “muazin” bangsa yang berteriak-teriak akan kondisi bangsa, tenggelam di tengah jebakan politik pragmatis.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·3 menit baca
SALOMO
Budiman Tanuredjo (BDM)
Jagat politik riuh-rendah. Ada “bocoran” Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu kembali sistem tertutup. Padahal, MK belum memutuskan apa-apa. Ada yang menyebut pembocoran isu itu adalah pre-emptive strike (mendahului peristiwa). Tapi jangan-jangan pernyataan itu ilusi atau halusinasi. Tapi bocoran cepat “dipercaya”.
Dalam kasus lain. Tanpa ada pembocoran terbuka, MK memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari awalnya empat tahun jadi lima tahun. Lumayanlah ada tambahan satu tahun menjadi pemimpin KPK. Itu fakta. Putusannya sudah ada. Yang mengajukan uji materi hanya Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Tapi yang menerima kenikmatan semua pimpinan KPK dan lima orang anggota Dewan Pengawas KPK.
Bocoran alus, soal MK memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK sebenarnya lama terdengar. Seorang anggota DPR mengaku mendapat informasi dari seorang Pimpinan KPK bahwa masa jabatannya akan diperpanjang. “Ada insentif politik,” ujar anggota DPR itu. Apa insentif itu, ya, kita tunggu saja.
Anggota DPR lain berseloroh, MK tengah melakukan bunuh diri politik. Aksi balasan disiapkan sejumlah anggota DPR, berniat merevisi UU MK dan akan “mempensiunkan dini” hakim konstitusi. Aksi balas-membalas dengan menggunakan politik itu seakan menjauhkan cita-cita bangsa yang menempatkan bangsa ini adalah negara hukum demokrasi konstitusional menjadi negara kekuasaan.
Hari libur 1 Juni 2023, saya makan siang di warung taman di Tangerang. Kebetulan saya berjumpa dan ngobrol dengan aktivis politik negeri ini. Obrolan kian menarik setelah Presiden Jokowi di depan pemimpin redaksi media massa dan kreator konten menegaskan akan “cawe-cawe” untuk kepentingan bangsa dan negara. Diksi ”cawe-cawe” masuk dalam kamus politik Indonesia kontemporer dan ditafsirkan meluas, terserah penafsirnya.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Presiden Joko Widodo
Di bagian lain, Kompas, 10 Mei 2023 memberitakan, muncul pemikiran merevisi UU TNI. Salah satu pasalnya adalah memberikan peluang pada anggota TNI dapat mengisi jabatan sipil di 18 kementerian/lembaga dan bisa meluas ke kementerian dan lembaga lain. Di sisi lain, Surat Presiden kepada DPR untuk membahas RUU Perampasan Aset, tak jelas nasibnya. Dalam Rapat Paripurna DPR, belum dibahas adanya Surat Presiden soal RUU Perampasan Aset yang diharapkan publik. Entah kapan surat itu akan dibahas DPR.
Pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih ketika saya tanya dalam obrolan “Backtobdm” soal “nasib” RUU Perampasan Aset mengatakan, “Tidak yakin RUU itu akan jadi UU. Kalau pun jadi akan sangat dilemahkan. Kalau mau dan serius, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu,”.
Peristiwa politik itu seakan berserak, tapi bisa dibaca sedang menuju pada apa yang disebut fenomena tarik-menarik kepentingan, sekaligus bagi-bagi kekuasaan. Tapi juga ada saling sandera antara berbagai kepentingan. Dalam politik purba, tidak ada kawan dan lawan abadi, selain kepentingan itu sendiri. Yang punya catatan hitam, akan selalu berada dalam status “tahanan luar”.
Wacana publik begitu didominasi elite. Suara jernih semakin lirih. Suara pinggiran terjerembab dalam kubangan. Saya teringat sahabat saya Sukidi, moderator Gagas RI di Kompas TV, mengirimkan esai Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Saya baca lagi, meski sudah menyimaknya saat rekaman Gagas RI di Menara Kompas, Jakarta.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan pandangannya dalam diskusi Gagas RI dengan tema Ekonomi, Keadilan, dan Kemanusiaan di Menara Kompas, Jakarta, Senin (29/5/2023). Selain Haedar Nashir sebagai nara sumber utama dalam diskusi ini, hadir juga sebagai panelis Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta, pendiri dan ekomom CORE Indonesia Hendri Saparini, dan sosilog organisasi dan pembangunan Meuthia Ganie. KOMPAS/HERU SRI KUMORO 29-05-2023
Buya Haedar dalam makalahnya mengingatkan, kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi merupakan masalah kemanusiaan besar yang tidak boleh dibiarkan atau dipandang sebagai masalah pinggiran. Apalagi jika ketiga masalah itu berdampingan dengan pragmatisme politik yang melahirkan oligarki, transaksi politik sesaat, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta berbagai bentuk eksploitasi. Itu semua menggambarkan keserakahan manusia di era post-kolonialisme.
Haedar menyebut tiga agenda krusial bangsa. Pertama, korupsi yang menggila. Kedua, utang luar negeri yang sudah mendekati angka Rp 8.000 triliun yang menurut pemerintah tetap dalam posisi aman terkendali namun bagi sebagian pihak mencemaskan. Ketiga, kesenjangan ekonomi dan kemiskinan.
Suara Haedar mirip dengan suara Romo Franz Magnis Suseno saat berbicara di talkshow Tetap Waras di Tahun Panas, Maret 2023. Magnis menyoroti lima tantangan global yang sedang dihadapi manusia. Pertama, dunia sedang dikuasai neoliberalisme. Umat manusia terpecah pada para winner dan looser.
Tantangan kedua, akibat ketelantaran dan keputusasaaan, gelombang pengungsi terjadi ke berbagai belahan dunia. Tantangan ketiga, munculnya ektrimisme-ideologis agamis. Kegagalan demokrasi, kegagalan menghadirkan kesejahteraan rakyat, memunculkan kekerasan. Tantangan keempat, keambrukan lingkungan hidup. Kalau sampai 2030 tidak tercapai kesepakatan pembatasan kenaikan suhu udara 1,5 derajat Celsius, malapetaka global tak terhindar. Dan tantangan kelima adalah pemanfaatan artificial intelligence.
Dalam konteks Indonesia ada tiga tantangan. Pertama, kesediaan kita menerima perbedaan. Tantangan kedua, bagaimana mewujudkan keadilan sosial. “Penghapusan kemiskinan dan perwujudan kesejahteraan bagi semua perlu jadi prioritas pembangunan Indonesia,” ujar Magnis. Tantangan ketiga adalah “Korupsi yang membusukkan kita.
Suara Haedar dan Magnis ibarat suara “muazin” bangsa yang kian lirih di pinggiran. Suara “muazin” bangsa yang berteriak-teriak akan kondisi bangsa, tenggelam di tengah jebakan politik pragmatis, demokrasi transaksional, dan kecenderungan pelemahan lembaga negara, dan kian terlelapnya masyarakat sipil yang lelah juga untuk ikut “cawe-cawe”.