Dua puluh lima tahun berlalu, ternyata peradilan tak kunjung berubah. Reformasi baru sebatas putusan pengadilan yang bisa diakses langsung lewat ”website”. Namun, perdagangan perkara di dalamnya tak banyak berubah.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·3 menit baca
Seusai siaran Satu Meja The Forum, Rabu, 14 Juni 2023, advokat senior mengirim tautan berita Detik.com. Judul berita itu: ”Tarif Hakim Agung Takdir Rahmadi Urus Kasus di MA Dibongkar!” Dalam berita ditulis, ”Hakim Agung Takdir Rahmadi terseret namanya dan disebut memiliki tarif ratusan juta rupiah untuk bisa memuluskan perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung.”
Cerita itu dibeberkan anggota staf kepaniteraan Kamar Dagang Perdata MA, Muhajir Habibie, saat menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Bandung. Uang yang dipersiapkan bisa mencapai Rp 500 juta. Seperti dikutip Detik.com, Muhajir saat menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum Wawan Sunaryanto mengatakan, itu sudah menjadi pola dari dulu. Jika perkaranya ditangani, harus ada uang lebih dahulu yang diberikan supaya permohonan yang diajukan bisa dikabulkan.
Saya merenung cukup lama. Saya teringat ketika masih meliput pengadilan dan Mahkamah Agung, 25 tahun lalu. Saya teringat pernah ada kasus vonis palsu di lingkungan MA. Saya teringat bagaimana kisruh di tubuh MA saat terjadi saling tuding antarhakim agung berkaitan dengan kasus perdata di MA. Almarhum Adi Andojo Soetjipto membongkar kasus perdata yang kemudian dikonstruksikan sebagai ”salah prosedur” oleh Koordinator Pengawasan Khusus dalam kasus Gandhi Memorial School tahun 1999. Banyak pihak bisa ikut bermain dalam perdagangan perkara.
Dua puluh lima tahun berlalu, ternyata tak kunjung berubah. Reformasi sistem peradilan memang terjadi. Putusan pengadilan relatif lebih cepat diakses di website Mahkamah Agung. Namun, reformasi baru sampai di sana. Perilaku perdagangan perkara tetap tak banyak berubah. Pengadilan tak ubahnya seperti pasar keadilan. Dalam kasus dugaan suap kasus peninjauan kembali (PK) Koperasi Simpan Pinjam Intidana, dua hakim agung, Gazalba Saleh dan Sudrajat Dimyati, ditahan dan diadili. Sekjen MA juga ditetapkan sebagai tersangka. Sangat benar kata Menko Polhukam Mahfud MD bahwa hukum telah menjadi industri.
Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin meminta maaf atas perilaku hakim agungnya.
Di lembaga polisi juga terdengar kabar komandan meminta setoran dari bawahan. Di Mahkamah Konstitusi yang dianggap sebagai penjaga konstitusi bukannya tidak ada. Dalam buku Akal Akal Akil (2014) tergambar bagaimana percakapan perdagangan putusan. Percakapan antara hakim konstitusi dan politisi itu disadap KPK dan dibuka di persidangan. Kita bisa lihat percakapannya melalui Blackberry Mesenger.
Hakim Konstitusi: Di mana?
Politisi: Di Menteng, Bang. Standby!
Hakim Konstitusi: Bisa ketemu saya sekarang di rumah? Darurat. Kalau enggak diulang nih Jatim.
Politisi: Baik Bang saya ke sana.
Dikabarkan hakim konstitusi meminta uang Rp 10 miliar. Konteks perkara itu adalah sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur.
Dalam dunia advokat, kondisi seperti ini bukanlah rahasia umum. Semuanya sudah tahu sama tahu. Penggunaan saksi ahli untuk memberikan keterangan ahli kadang bukan karena keahliannya atau pendapatnya, melainkan pendapatannya. Pendapat ahli bisa disesuaikan dengan pendapatan yang akan diterima. Semakin besar kasus yang ditangani, semakin besar pula tarif menjadi saksi ahli. Seorang doktor ilmu hukum membisikkan kepada saya, tarif menghadirkan saksi ahli bisa juga sampai Rp 500 jutaan. ”Itu 15 tahun lalu,” katanya.
Tentunya tak semua saksi ahli demikian. Ronny Talapessy, kuasa hukum Richard Eliezer, kepada saya mengaku tidak memberikan kompensasi apa pun kepada ahli yang didatangkan saat memberikan keterangan ahli saat mendampingi Bharada Richard Eliezer di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. ”Semuanya free,” ucapnya.
Menghadirkan saksi ahli dalam setiap persidangan sedang jadi tren. Apakah itu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, di persidangan korupsi, di persidangan kepailitan, di persidangan politik. Tak ada seleksi untuk menjadi saksi ahli. Apa karya akademis sebagai ahli. Apa kepakarannya. Seorang ahli seyogianya adalah seorang cerdik cendikia yang asketis dengan disiplin keilmuwan yang diakui sehingga pendapatnya sebagai ahli betul-betul berdasarkan keahliannya, bukan karena pendapatannya.
Dunia hukum ini sedang mengalami kerusakan parah. Ketika kapital menjadi utama, ketika ketamakan menjadi gaya hidup. Pada sebuah masa organisasi para hakim (Ikahi) memperjuangkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Untuk menjadikan kekuasaan kehakiman bebas dari intervensi pemerintah. Dan, itu boleh dikatakan berhasil. Namun, masalahnya, bagaimana mencegah intervensi kekuasaan kehakiman dari kekuatan kapital yang justru kini merajalela.
Saya teringat tulisan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto di Kompas, 21 November 2015, berjudul, ”Pasti Ketahuan Boroknya”. Adi menulis, ”Kalau sudah kekenyangan, pasti ketahuan boroknya. Seperti ungkapan bahasa Belanda: Earste keer doet zeer, Twede keer, nog meer, Derde keer, Nah lu ketahuan! (Pertama kali, nikmat, kedua kali, mau tambah lagi, ketiga kali... nah lu kamu ketahuan).
Korupsi adalah ketamakan. Akar korupsi adalah karena terlalu cinta pada uang. Cinta berlebihan pada uang adalah akar dari kejahatan. Mengutip Paus Fransiskus,
”Korupsi lebih buruk dari sekadar berdosa. Korupsi membusukkan jiwa.”
Saya menulis esai ini sebagai ekspresi kegundahan saya atas kondisi hukum Indonesia. Momentum itu saya pikir tepat. Kebetulan sejumlah aktivis masyarakat sipil yang prihatin dan selama ini galak dengan kondisi hukum diajak Pak Mahfud MD dalam tim percepatan reformasi hukum. Semoga muncul pemikiran progresif agar panggung peradilan betul-betul menjadi tempat pencarian keadilan dan bukan tawar-menawar keadilan. Musyawarah para hakim adalah ruang tertutup.
Padahal, kata Jeremy Bentham, filsuf Inggris, ”..dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada di puncak kekuatannya. Hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala ketidakadilan di lembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim ’diadili’ saat ia mengadili.”