Mengunyah Nostalgia secara Saksama
Padahal, sesungguhnya kata ”nostalgia” sendiri berasal dari pertemuan dua kata Yunani: ”nostos” dan ”algos”. ”Nostos” artinya pulang atau kembali, sedangkan ”algos” adalah rasa sakit atau luka.
Secara ”ajaib” saya bertemu dua perempuan penggelut sastra yang selama ini bermukim di luar negeri. Satu bernama Naning Scheid, seorang penulis yang menetap di Kota Brussels, Belgia, dan satunya lagi bernama Kiki Isbianto, tinggal di Kota Bad Nauheim, Jerman. Barangkali hanya di Yogyakarta, kota yang dilumuri aura nostalgia ini, saya bisa kesompokan, bertemu tanpa direncanakan dengan keduanya. Boleh saya menyebutnya sebagai Yogyakarta factor, karena citra yang melekat pada Yogyakarta.
Tiba-tiba seorang perempuan yang ”tak saya kenal” menyapa di warung bernama Pawon Mbah Gito di kawasan Ngaglik, Sleman. Ia bangkit dari duduknya, lalu menyapa dan memberi salam, ”Bli Can, saya Kiki…” Lalu kami basa-basi sebentar sebelum akhirnya saya duduk di meja berbeda, tak jauh dari Kiki. Selama masa menanti minuman tiba di meja, terus terang, mohon ampun, sesungguhnya saya lupa, siapa Kiki? Istri saya, Joan, sampai bertanya:
”Kamu kenal di mana? Siapa dia? Jurnalis?”
”Mungkin ya, buktinya bawa kamera gede,” bisik saya.
Tiba-tiba Kiki sudah berdiri di samping kami, minta foto bersama.
”Saya Kiki yang ikutan kelas Bli Can,” kata Kiki tiba-tiba.
Plak! Pipi saya seperti ”disabet” sapu lidi, perih dan pedih rasanya.
Sungguh memalukan saya ini, kata hati saya. Saya baru ngeh, Kiki Isbianto dari kota kecil di dekat Frankfurt, yang kalau ikut kelas cerpen perkumpulan penulis Alinea, selalu harus bangun dini hari. Oleh sebab itu, ia tak pernah menyalakan kamera di laptopnya, bahkan untuk berbicara pun Kiki selalu berbisik-bisik. Sedini hari itu tentu saja di Jerman, sebagian besar warganya sedang tidur lelap. Sementara kelas cerpen di Tanah Air selalu dimulai pukul 10.00 WIB.
Kiki termasuk peserta kelas cerpen yang paling antusias. Ia tak pernah telat memasuki ruangan kelas meski harus bangun dini hari. Ia pun jadi yang pertama mengirimkan karyanya sebagai sesi terakhir dalam kelas Alinea itu. Dan, karyanya bisa dibilang layak dipublikasi di media-media yang memuat sastra di Indonesia.
Senin (12/6/2023) malam sebelumnya, saya dan Joan menyambangi kawasan Malioboro, bukan untuk tujuan jalan-jalan, tetapi membeli koper pengganti. Kebetulan koper kami patah tangkai dalam perjalanan Jakarta-Yogyakarta. Entahlah mungkin dilempar petugas bagasi di bandara. Ketika iseng membuka akun Instagram, saya melihat Naning Scheid sedang berfoto bersama penyair Joko Pinurbo. Saya lalu menebak, sepertinya Mbak Naning sedang berada di Yogyakarta. Padahal, kami sudah berjanji akan bersua di Jakarta, antara 24 atau 25 Juni nanti.
Iseng-iseng saya colek Mbak Naning. Saya bilang, saya sedang di kawasan Malioboro untuk urusan koper yang patah. Terus terang, selama mukim di Yogyakarta selama 2006-2009, di saat kota ini luluh-lantak karena guncangan gempa Bantul, 27 Mei 2006 pukul 05.54 WIB, kami nyaris tak pernah menikmati Malioboro. Saya terlalu tenggelam oleh pekerjaan yang menumpuk setiap hari, seperti gunungan sampah di beberapa sudut kota ini.
(OMG) entah ”keajaiban” apa lagi yang melingkupi kami, Naning bilang ia sedang akan bergerak menuju Malioboro. Lalu jadilah obrolan kami begitu hangat dan meriah di trotoar Malioboro. Samar-samar tak jauh dari lokasi kami berbincang, terdapat puisi penyair Joko Pinurbo, yang dijadikan latar berfoto bagi para pelancong:
Jogja
terbuat dari rindu,
pulang dan angkringan
Puisi yang dimuat dalam antologi Surat Kopi (2019) dan berjudul ”Jogja” itu, kata Joko Pinurbo alias Jokpin, memang sesingkat itu.
Meskipun Naning dan Kiki, rasanya tak sempat berpose di depan huruf-huruf sajak Jokpin itu, bisa dipastikan keduanya merasa ”pulang” ketika menginjakkan kaki di Yogyakarta. Selain kami, yang memang pernah menetap di kota ini, Naning dan Kiki juga seolah sedang ”pulang kampung” ketika mendarat di Yogyakarta.
Baca juga: Malioboro, Kuali Lebur Peradaban Yogyakarta
Puisi yang ditulis Jokpin bukan semata pajangan seni grafis yang kemudian menjadi instagram-able, tetapi ditulis berdasarkan bentangan sejarah panjang terhadap sebuah kota bernama Yogyakarta. Realitas ini seolah paralel dengan rambahan dunia kuliner di kota itu. Ada ”kekuatan” yang bernama ”mood” atau sebutlah dengan istilah sesuatu yang tertancap dalam sanubari ketika mendengar kata ”jogja”. Ada yang berkelebat-kelebat di kepala lalu menjadi dorongan jiwa untuk mengingat tentang ”masa lalu”, sebuah kebersahajaan yang menjelma dalam berbagai produk wisata.
Mungkin itulah yang menjadi mood kami mengarah ke Pawon Mbah Gito di Ngaglik, Sleman, itu. Warung ini terletak di tepi sawah di sekitaran perumahan penduduk. Menunya pun menu rumahan yang dari segi rasa sangat biasa. Mbah Gito menyajikan puluhan menu, seperti oseng-oseng tempe, tahu tempe bacem, sayur lodeh, ayam goreng, mangut lele, telur dadar goreng, sayur asem, tumis pare telur, tak lupa kerupuk kaleng, serta berbagai macam makanan rumahan lainnya. Menu yang sama sebenarnya disajikan juga oleh Warung Kopi Klotok di Jalan Kaliurang Km 16, Sleman. Keduanya bahkan sama-sama memasang tagline: kuliner ndeso, artinya kuliner kampung(an).
Jokpin membahasakan ini sebagai ”angkringan”, warung khas di jalanan kota Yogyakarta, tempat para mahasiswa mengobati rasa lapar dengan harga ”jalanan”. Penyair Umbu Landu Paranggi, yang malang melintang di Yogyakarta pada awal tahun 1960-an, sampai-sampai ia dijuluki Presiden Malioboro, pernah menulis puisi berjudul: ”Tujuh Cemara”. Penggalan puisinya berbunyi seperti ini:
…
tujuh gunung seribu yogya
seribu tarian gang malioboro
tujuh pikul daun pisang ibu beringharjo
(nasi bungkus pondokan selasa rabumu)
tumpukan hijau restu sanubari jelata
sujud bibir pecah yang mengulum kata sejati
hulubalang benih ilham di siang malammu…
Singkat kata, ”Jogja” adalah nostalgia, makanya lebih lumrah ditulis ”jogja” daripada ”yogya”. Sajak ”Tujuh Cemara” ditulis Umbu ketika ia sudah berjarak secara geografis dengan Yogya, mungkin di Bandung atau Bali, tempatnya menghabiskan sisa umurnya kemudian. Oleh sebab itu, ”mood” dalam sajak ini terasa benar warna nostalgianya.
Padahal, sesungguhnya kata ”nostalgia” sendiri berasal dari pertemuan dua kata Yunani: nostos dan algos. Nostos artinya pulang atau kembali, sedangkan algos adalah rasa sakit atau luka. Johannes Hofer, mahasiswa kedokteran di Swiss, pada tahun 1688 pernah mempelajari soal ini. Ia membedah kasus seorang lelaki dari Berne yang meninggalkan rumah untuk sebuah studi di Basel. Lelaki itu terus-menerus dilanda kesedihan dan demam tinggi. Oleh sebab itu, ia diperintahkan untuk pulang, kembali ke Berne. Anehnya, setiba di kota kelahirannya, lelaki itu menjadi benar-benar sehat.
Hofer berteori, bahwa ”roh-roh” telah memasuki tubuh lelaki itu. Pasien-pasien yang mengalami rindu rumah, begitu terpaku pada pikiran-pikiran tentang rindu rumah, sehingga kelelahan dan tidak dapat menjalankan fungsi tubuhnya secara normal. Secara tak terduga Hofer menemukan penanda untuk ”penyakit” ini: nostalgia! Ia sebenarnya menyebutkan kata itu sebagai penanda seseorang yang sakit karena rindu rumah. Dalam bahasa Inggris kata ini kemudian diterjemahkan sebagai homesick.
Baca juga: Nostalgia, Sehari Saja!
Belakangan kata ”nostalgia” lebih lekat dengan kerinduan akan peristiwa, benda-benda, atau segala sesuatu yang melontarkan diri ke masa lalu, yang kemudian menimbulkan efek menyenangkan pada diri sendiri atau sekelompok orang. Ingat-ingat lagi soal ”sapu tangan”, yang pada dekade perang kemerdekaan sampai dengan tahun 1960-an, menjadi metafora ”kehadiran” seseorang dalam diri kita. Ismail Marzuki, komponis besar Indonesia, bahkan beberapa kali merasa perlu mengulang menyertakan kata ”sapu tangan” dalam lirik lagu-lagunya.
Hal lain yang menarik, psikolog saraf dan pendiri Comprehensive Consultation Psychological Services, Sanam Hafeez, mengatakan bahwa nostalgia adalah unsur emosi yang unik. Ia bahkan mampu mengubah reaksi otak dengan cara-cara yang menarik.
”Visual, penciuman, atau suara dapat memulai ingatan yang membawa kerinduan akan sesuatu di masa lalu. Anda sedang mengingat waktu, peristiwa, atau orang yang berlalu dengan kerinduan atau penghargaan," tutur Hafeez, dikutip dari Bustle.
Menurut Hafeez, nostalgia memadukan fungsi memori dengan reward system otak manusia. Berdasarkan studi di University of Surrey dan National Trust 2017, saat seseorang menemukan memori bermakna, neuron tertentu menyala dalam otak manusia, yang kemudian memproses emosi menjadi sesuatu yang membahagiakan.
Penggemar kuliner membeli makanan gudeg di warung Gudeg Pawon, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta, Senin (8/5/2023) malam. Dapur tradisional (pawon) yang digunakan menjadi tempat berdagang gudeg saat malam hari menjadi salah satu daya tarik warung ini.
Kenyataan itulah, tambah Hafeez, yang memengaruhi seseorang untuk mengambil sebuah keputusan. ”Nostalgia memengaruhi pengambilan keputusan, itulah mengapa ini merupakan taktik pemasaran yang dieksploitasi,” kata Hafezz.
Baca juga: Gudeg Kan Membawamu Kembali ke Yogyakarta...
Apa yang dikatakan Hafeez dibuktikan dalam sebuah riset yang dipublikasikan di Journal of Consumer Research 2014 bahwa saat Anda merasakan sensasi nostalgia, Anda akan membuat keputusan pembelian yang lebih besar. Itu artinya, Anda akan rela menghabiskan uang lebih banyak untuk berbelanja.
Bukan sebuah kebetulan jika Mbah Gito memasang tagline: kuliner ndeso di depan warungnya. Bukan pula sebuah kebetulan pula jika Anda ”bertekuk-lutut” dan ”nurut bae” saat diminta duduk lesehan di halaman atau bahkan di pematang sawah di sekitaran warung Kopi Klotok Yogyakarta dengan tikar pandan. Lalu seolah-olah Anda sedang berada di sebuah hamparan persawahan nostalgik, dengan mengingat-ngingat hal-hal romantis yang (mungkin) pernah Anda alami di masa kecil di kampung halaman.
Baca juga: Sains di Balik Nostalgia Playlist Winamp
Ya begitu, semuanya terjadi lantaran dalam saraf-saraf otak Anda telah bekerja ”sihir” bernama nostalgia. Anda ingin mengunyah kata ini sepuas-puasnya, yang berarti berapa pun harga makanan di situ, tak pernah menjadi masalah.
Luar biasanya, cerita Kiki, Selasa (13/6/2023) ketika kami berjumpa di Pawon Mbah Gito, hari itu sebenarnya ia ingin ke Kopi Klotok. ”Tetapi, jalan menuju warungnya ditutup karena katanya di-booking seseorang. Jadi saya balik kanan dan mencari warung serupa,” kata Kiki menggebu-gebu.
Secara iseng saya bertanya sebelum ia menanyakan hal yang sama kepada saya, ”Mengapa begitu ngebetnya pada warung ndeso?”
tu
Benar belaka seperti apa yang ditulis Jokpin. Ia jeli memperhatikan perilaku para konsumen yang menjadikan ”Jogja” sebagai tujuan untuk berwisata. ”Semua orang merasa pulang kalau ke Jogja, karena hampir semua orang pernah bersentuhan dengan kota ini. Makanya bahasanya adalah rindu, pulang, dan angkringan,” kata Jokpin.
Dalam tiga kata yang dipajang di halaman Teras Malioboro itu, sudah terkandung hal-hal nostalgik, seperti Malioboro, kopi klotok (kopi yang ditumbuk dalam lesung kayu), soto kadipiro, kraton, gudeg, bakpia, batik, beringhargjo, becak, tugu Jogja, alun-alun, sekatenan, dan hal-hal lain yang makin membuatmu tambah kepincut. Pada akhirnya semua itu kita kunyah secara khidmat dan saksama untuk membangkitkan sensasi kebahagiaan tiada tara. Ah, nostalgia….