Otak merawat memori dengan membuang ingatan-ingatan buruk dan mempertahankan ingatan baik. Musik merupakan salah satu pemicu bangkitnya memori baik tersebut.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Generasi 1990-an yang masa remajanya ditemani lagu-lagu emo dan rock, misalnya I Don’t Love You-nya My Chemical Romance atau Misery Business-nya Paramore kini jadi orang dewasa. Hidupnya sudah penuh tanggung jawab, tagihan, dan tenggat waktu. Nostalgia adalah satu-satunya cara kembali ke masa remaja yang bebas lepas.
Gelombang nostalgia muncul di media sosial pada awal 2022, tepatnya setelah pengumuman Festival When We Were Young. Sebanyak 65 band serta penyanyi emo dan rock yang populer di tahun 2000-an dijadwalkan tampil pada festival ini. Mereka antara lain My Chemical Romance, Paramore, Boys Like Girls, Bring Me the Horizon, hingga Avril Lavigne.
Festival yang akan digelar di Las Vegas, Amerika Serikat ini semula berlangsung hanya dua hari pada 22-23 Oktober 2022. Namun, antusiasme publik begitu tinggi. Tiket ludes terjual, sementara peminat festival begitu banyak. Akhirnya panitia menambah durasi festival menjadi tiga hari. Hari ketiga berlangsung 29 Oktober 2022 dengan line up yang sama.
Festival tersebut ibarat membuka kembali data lagu-lagu lama di komputer dengan monitor tabung, kemudian diputar melalui software pemutar musik Winamp. Pengumuman festival itu memantik kenangan para milenial. Nostalgia pun tidak terhindarkan. Lantas, mengapa musik memicu nostalgia?
Menurut psikolog Mira Amir, musik mengaktifkan prefrontal cortex atau otak manusia bagian depan. Otak bagian depan bertanggung jawab atas beberapa hal, termasuk memori dan emosi.
Adapun musik diasosiasikan dengan emosi, baik senang, duka, kehilangan, hingga perasaan bersemangat. Hal ini bisa tergantung pada apa yang dialami seseorang saat mendengarkan musik. Misalnya, bahagia saat kasmaran, karaoke dengan teman, atau saat tampil di festival band sekolah.
Musik juga menstimulasi produksi sejumlah hormon seperti endorfin, serotonin, dopamin, hingga oksitosin. Hormon-hormon itu memicu perasaan bahagia.
“Musik diasosiasikan dengan emosi. Musik bisa membawa kembali your old good time saat didengarkan kembali. Meski sudah tidak mengalami lagi masa-masa itu, tapi emosi yang dirasakan di masa lalu bisa diperoleh lagi melalui musik,” kata Mira saat dihubungi, Minggu (6/2/2022).
Nostalgia melalui musik juga berhubungan dengan perasaan tenang dan nyaman. Perasaan itu kerap dicari saat hidup terasa tak pasti, seperti saat pandemi Covid-19. Hal tersebut mendorong orang-orang untuk mendengarkan lagu lama.
“Kita dapat membuatnya tinggal di pikiran kita, lalu merasakan dukungan yang tidak kita rasakan di masa yang tidak menentu ini,” kata penulis buku What Makes Your Brain Happy and Why You Should Do the Opposite, David DiSalvo, seperti dikutip dari laman Spotify.
Adapun Spotify mencatat, pemutaran daftar putar (playlist) lagu lawas meningkat 54 persen pada periode 1-7 April 2020 dibanding sebelumnya. Playlist tersebut berisi lagu-lagu dari tahun 1950-an, 1960-an, 1970-an, dan 1980-an.
Di sisi lain, The New York Times menganalisis bahwa preferensi musik seseorang tumbuh saat usia remaja. Perempuan rata-rata mengembangkan preferensi musiknya rata-rata pada usia 13 tahun, sementara laki-laki 14 tahun. Hal ini berpengaruh ke preferensi musik di usia dewasa.
Akrab dengan otak
Sementara itu, pakar neurosains Ryu Hasan menyebut bahwa otak manusia akrab dengan musik. Ini karena musik memiliki sejumlah elemen yang mampu dideteksi otak. Misalnya, ketukan dan irama pada musik yang mirip dengan denyut jantung.
Musik bertempo lambat mirip detak jantung normal yang diasosiasikan dengan perasaan tenang. Sebaliknya, musik bertempo cepat mirip saat jantung berdebar-debar yang diasosiasikan dengan perasaan gelisah, cemas, atau bersemangat.
“Otak kita akrab dengan ketukan, warna suara, hingga nada sehingga kita bisa menikmati musik. Keakraban itu yang membuat musik jadi tak terlupakan. Musik dapat membuat kita kembali ke masa lalu. Tapi, perlu diingat bahwa ingatan manusia terus bergeser,” kata Ryu.
Ia menjelaskan bahwa ada dua jenis memori manusia, yaitu memori eksplisit dan implisit. Memori implisit ialah memori jangka panjang, ingatan yang dipelajari atau diingat sejak bayi. Contohnya adalah memori tentang cara berjalan dan menyuap makanan. Memori implisit masuk dalam wilayah emosi di otak.
Sementara itu, memori eksplisit didasarkan pada pengetahuan atau kesadaran terhadap pengalaman. Misalnya, memori tentang nama ibu kota Indonesia dan memori tentang perkalian matematika.
“Memori eksplisit ini selalu bergeser. Memori kita bergeser 50 persen dalam setahun. Jadi, jangan terlalu percaya dengan memori karena itu sudah terdistorsi, sudah bias,” ujarnya.
Pergeseran memori itu merupakan cara otak merawat memori manusia. Otak cenderung menyingkirkan memori buruk dan mempertahankan memori baik. Secara sederhana, otak membantu manusia agar bisa hidup nyaman dan lama. Jika tidak begitu, manusia bisa saja depresi dan mengakhiri hidupnya.
Memori yang bergeser tersebut bisa dipulihkan mendekati kenyataan dengan alat bantu, seperti foto, video, tulisan, dan musik. Kendati demikian, otak tetap akan mengeliminasi emosi negatif pada memori tersebut.
“Kita bisa saja menikmati musik yang didengarkan dulu saat patah hati sekarang. Itu karena otak kita melupakan hal yang tidak enak tentang patah hati,” ujarnya.