Mendefinisikan kecerdasan buatan secara hukum penting untuk mengidentifikasi apa yang bisa tunduk pada hukum. Namun, teknologi kecerdasan buatan masih terus berkembang sehingga itu menjadi tantangan tersendiri.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Andreas Maryoto, wartawan harian Kompas
Keresahan terhadap risiko dan dampak buruk pengembangan kecerdasan buatan telah memanggil banyak kalangan untuk peduli dengan masalah ini. Para pengembang, lembaga pemerintah, dan para pembuat kebijakan mulai berkumpul untuk memilih jalan terbaik. Mereka tidak ingin mematikan inovasi teknologi, tetapi juga ingin agar kecerdasan buatan memiliki tujuan yang baik. Apakah koordinasi global soal kecerdasan buatan akan bisa disepakati?
Sejak peluncuran kecerdasan buatan generatif ChatGPT oleh OpenAI, ruang diskusi teknologi bergeser, dari semula hanya soal pengembangan layanan melalui aplikasi saja, kini lebih ke pengembangan kecerdasan buatan, yaitu pemanfaatan data yang diperoleh perusahaan teknologi. Sistem kecerdasan buatan yang hebat sangat bermanfaat bagi masyarakat dan membantu mengatasi beberapa masalah terbesar di dunia. Model pembelajaran mesin telah memainkan peran penting dalam hal, semisal, mendiagnosis penyakit, mempercepat penelitian ilmiah, meningkatkan produktivitas ekonomi, dan memangkas penggunaan energi dengan mengoptimalkan aliran listrik pada jaringan listrik.
Meski demikian, Financial Times awal Mei lalu mengingatkan, pengembangan kecerdasan buatan ini akan menjadi tragedi jika keuntungan tersebut terancam sebagai akibat dari serangan balik terhadap teknologi. Bahaya itu tumbuh karena penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan menjadi berlipat ganda di berbagai bidang, seperti terjadi diskriminasi, disinformasi, dan penipuan, seperti yang diperingatkan Geoffrey Hinton, salah satu sosok pengembangan awal kecerdasan buatan saat dia mengumumkan pengunduran diri dari Google. Untuk itu, pemerintah harus bergerak cepat mengatur teknologi tersebut secara tepat dan proporsional.
Kemajuan pesat fasilitas kecerdasan buatan generatif telah menarik perhatian para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Lembaga politik dan pembuat kebijakan mempercepat upaya untuk memberlakukan undang-undang yang bisa mengendalikan potensi risiko kecerdasan buatan dan membuat pengembang harus bertanggung jawab atas tindakan sistem mereka.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Pengujian atas kemampuan kecerdasan buatan diperlihatkan untuk ponsel pintar yang menggunakan sistem dalam cip (SOC) Kirin 970 pada pertengahan Oktober 2017. Dengan fitur kecerdasan buatan, ponsel pintar bisa mengelola informasi lebih baik untuk menghasilkan rekomendasi lebih relevan bagi pengguna yang dilakukan secara luring.
Konfirmasi terbaru berasal dari CEO OpenAI Sam Altman saat berkunjung ke Tokyo, Jepang, beberapa hari lalu. Sam mengatakan, perjalanannya ke beberapa negara di Asia telah membuatnya cukup optimistis tentang prospek koordinasi global pada pengembangan kecerdasan buatan. Ia mengatakan, melalui perjalanan dengan sikap skeptis bahwa dalam jangka pendek akan mungkin untuk mendapatkan kerja sama global untuk mengurangi risiko yang ada, tetapi sekarang ia mengaku telah menyelesaikan perjalanan dengan perasaan cukup optimistis sehingga koordinasi global itu akan segera terwujud.
Di sisi lain, awal Mei lalu, sekelompok anggota parlemen Uni Eropa yang mengerjakan undang-undang kecerdasan buatan menyerukan pertemuan puncak global untuk menemukan cara mengendalikan pengembangan sistem kecerdasan buatan yang canggih, menurut laporan dari Reuters. Kedua belas anggota Parlemen Uni Eropa telah mendesak Presiden AS Joe Biden dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen untuk segera dan mendesak mengadakan pertemuan para pemimpin dunia.
World Economic Forum untuk urusan Revolusi Industri Keempat telah mengumpulkan pakar industri, akademisi, dan pemerintah terkemuka untuk mengeksplorasi implikasi teknis, etika, dan sosial sistem kecerdasan buatan generatif pada pertemuan tiga hari di San Francisco. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Project Syndicate, Pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum Klaus Schwab menjelaskan bagaimana semua pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk merancang cara mengurangi dampak negatif kecerdasan buatan dan memberikan hasil yang lebih aman, lebih berkelanjutan, dan lebih adil.
Penelitian menunjukkan bahwa upaya untuk mengatur kecerdasan buatan tampaknya semakin cepat. Indeks AI 2023 Universitas Stanford menunjukkan 37 RUU terkait kecerdasan buatan disahkan menjadi undang-undang secara global pada tahun 2022. Amerika Serikat memimpin dorongan untuk membuat regulasi, melalui sembilan undang-undang, diikuti oleh Spanyol dengan lima undang-undang, dan Filipina dengan empat undang-undang. Indonesia sejauh ini belum membahas peraturan ini.
Meski demikian, urusan meregulasi kecerdasan buatan bukanlah semudah yang diinginkan. Asisten Profesor Kesehatan Masyarakat, Texas A&M University Cason Schmit dikutip di The Conversation mengatakan, mengatur pengembangan kecerdasan buatan itu rumit. Untuk mengatur kecerdasan buatan dengan baik, kita harus terlebih dahulu mendefinisikan kecerdasan buatan dan memahami risiko dan manfaat kecerdasan buatan. Mendefinisikan kecerdasan buatan secara hukum penting untuk mengidentifikasi apa yang bisa tunduk pada hukum. Namun, teknologi kecerdasan buatan masih terus berkembang sehingga sulit untuk menetapkan definisi hukum yang tetap.
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
Tangkapan layar paparan Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait rencana penerapan kecerdasan buatan untuk mendeteksi serta memprediksi lubang dan retak di jalan tol.
Memahami risiko dan manfaat kecerdasan buatan juga penting. Regulasi yang baik harus memaksimalkan manfaat publik sambil meminimalkan risiko. Namun, sulit untuk mengetahui atau memprediksi risiko atau keuntungan apa yang mungkin terjadi di masa depan dari aplikasi kecerdasan buatan yang sudah ada. Ketidaktahuan semacam ini membuat teknologi baru seperti kecerdasan buatan menjadi sangat sulit untuk diatur dengan hukum dan peraturan tradisional. Semua masih bingung untuk menebak manfaat dan risiko yang muncul.
Pembuat undang-undang juga sering kali terlalu lambat untuk beradaptasi dengan lingkungan teknologi yang berubah dengan cepat. Beberapa undang-undang baru sudah usang pada saat diberlakukan atau bahkan diperkenalkan. Tanpa undang-undang baru, regulator harus menggunakan undang-undang lama untuk mengatasi masalah baru. Terkadang hal ini mengarah pada hambatan hukum untuk melawan mereka yang mencari keuntungan atau mendapat celah hukum untuk berperilaku berbahaya di tengah kemajuan teknologi.
Belum lagi ada pendapat, pengaturan akan menguntungkan perusahaan teknologi besar. Mereka malah makin leluasa karena pemain baru bakal sulit untuk masuk di arena. Pasar tetap saja akan dikuasai oleh pemain besar yaitu perusahaan teknologi yang selama ini telah memimpin pasar. Pendapat lirih ini muncul di tengah gegap gempita pengembangan kecerdasan buatan. Masyarakat lebih banyak bereuforia dengan kemajuan yang ada tanpa menyadari kemungkinan jebakan yang muncul.
Debat setuju atau tidak setuju soal pengaturan kecerdasan buatan akan makin panjang. Semua akan saling beradu argumentasi. Meski demikian, di tengah kompetisi pengembangan kecerdasan buatan maka pengaturan sepertinya diperlukan ketika risiko sekecil apa pun muncul. Kita tidak ingin sejumlah orang menjadi korban. Diskriminasi yang berawal dari umpan data yang bias untuk pengembangan kecerdasan buatan sudah dikemukakan beberapa peneliti. Umpan yang salah ini memungkinkan terjadinya diskriminasi. Ini hanya satu contoh kecerdasan buatan berpotensi menelan korban.