Perkembangan AI: Mulai dari Menyusun Gugatan, Ceramah, hingga Berbohong
AI terus diberikan keleluasaan dan otonomi untuk membuat keputusan. Ada kekhawatiran, AI akan belajar berbohong atau melakukan hal buruk lain.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Pekan pertama Juni 2023 ditandai dengan dua hal bertolak belakang soal penggunaan kecerdasan buatan. Di Amerika Serikat, dua pengacara terancam dipecat karena memakai teknologi itu. Di Jerman, teknologi itu dipakai untuk memimpin ibadah di gereja.
Berita dari dua negara berbeda itu sama-sama dilaporkan pada 9 Juni 2023. Di New York, pengacara bernama Steven A. Schwartz dan Peter LoDuca tidak hanya terancam kalah dalam gugatan. Mereka juga terancam dikenai sanksi karena menggunakan kejadian yang tidak pernah ada sebagai dalil untuk menggugat perusahaan penerbangan Kolombia, Avianca.
Schwartz dan LoDuca memutuskan menggunakan kecerdasan buatan ( artificial intelligence/AI) untuk menyusun gugatan itu. Keputusan dibuat setelah mereka kesulitan menemukan dalil dengan metode kerja yang biasanya dipakai.
Ternyata, aplikasi AI malah memberikan mereka kejadian yang tidak pernah ada. ”Saya tidak tahu kalau ChatGPT bisa mengarang kasus,” ujarnya kepada hakim di pengadilan distrik Manhattan, New York.
Sementara di negara bagian Bavaria, Jerman, ada kebaktian yang tidak dipimpin oleh pendeta, Jumat (9/6/2023). Pendeta sekaligus peneliti robotika dan AI, Jonas Simmerlein, membuat percobaan di Gereja St Paul di kota Fuerth.
”Saya memberi perintah kepada kecerdasan bahwa sedang ada kebaktian dan Anda (AI) adalah pemimpin kegiatan itu. Bagaimana Anda membuat kebaktian itu?” kata Simmerlein. Oleh karena itu, alih-alih pendeta, kebaktian itu dipimpin avatar.
Total ada dua avatar berwajah perempuan dan dua lagi laki-laki. Ada 300 orang mendengarkan khotbah itu. ”Tampaknya kebaktian berlangsung mengesankan dan baik,” kata Simmerlein.
Kegiatan itu bagian dari Deutscher Evangelischer Kirchentag. Setiap dua tahun, ribuan umat Protestan Jerman ikut kegiatan itu. Salah satunya Marc Jansen (31), pendeta di dari Cologne. Ia menyebut ide Simmerlein brilian dan menarik untuk jemaat muda.
Seorang pekerja teknologi informatika Jerman, Heiderose Schmidt (54), juga menghadiri kegiatan yang dibuat Simmerlein. ”Saya tidak merasakan semangat, tidak merasakan jiwa yang menggebu seperti kala menyimak pendeta. Avatarnya tanpa emosi, berbicara dengan intonasi datar dan monoton,” ujarnya.
Jansen membenarkan nihilnya semangat dan emosi dari khotbah yang disampaikan empat avatar di kegiatan Simmerlein. Padahal, menurut Jansen, semangat, emosi, dan intonasi adalah bagian penting kala memimpin kebaktian.
Peneliti Twente University di Belanda, Anna Fuzio (28), berpandangan positif soal penggunaan AI dalam praktik keagamaan. Namun, ia menyimpan kecemasan. ”Tantangannya adalah AI bisa menyerupai manusia dan itu bisa mengecoh jemaat,” ujarnya.
Tantangannya adalah AI bisa menyerupai manusia dan itu bisa mengecoh jemaat.
Hal lain, seperti di agama lain, ada banyak pandangan dalam teologi Kristen. Fuzio khawatir, AI hanya akan mengutamakan salah satu pandangan saja. Padahal, keragaman pandangan adalah bagian dari sejarah panjang dan kekayaan Kekristenan.
”Peran kecerdasan buatan akan meningkat dalam berbagai aspek kehidupan kita. Mau tidak mau, kita harus menerima itu dan mencari cara memanfaatkannya untuk kepentingan bersama,” kata Simmerlein.
Moratorium Peneliti AI pada Intelligence Research Institute di Amerika Serikat, Eliezer Yudkowsky, sudah belasan tahun mengingatkan bahaya AI. ”Masalahnya bukanlah AI akan menjadi tandingan kecerdasan manusia. Masalahnya adalah apa yang akan terjadi bila AI lebih pintar dari manusia?” tulisnya di majalah Time edisi Maret 2023.
Yudkowsky bukan satu-satunya yang khawatir dengan pertanyaan itu. Elon Musk bersama ratusan orang lain punya kekhawatiran sama lewat petisi terbuka yang disiarkan pada 29 Maret 2023.
Lewat petisi yang disiarkan oleh Yayasan Future Life itu, Musk dan para tokoh teknologi sejunlah negara meminta penundaan pengembangan AI setidaknya selama April-September 2023. Jika memungkinkan, moratorium pengembangan dilakukan sampai Maret 2024.
”Ada kemungkinan, setelah dilatih dan lebih pintar dari manusia, AI tidak lagi peduli pada manusia. AI tidak membenci atau menyukai manusia. Hanya melakukan hal yang menurut AI lebih logis sesuai dengan hasil analisisnya atas mahadata,” tulis Yudkowsky.
Pendiri Yayasan Future Life Anthony Aguirre mengatakan, akan ada periode AI terlalu besar dan menjadi pengendali berbagai aspek kehidupan. Akibatnya, AI terlalu penting untuk dimatikan. ”AI terus diberikan keleluasaan dan otonomi untuk membuat keputusan,” ujarnya kepada The New York Times.
Pakar AI di University of Montreal, Yoshua Bengio, menyebut bahwa terlalu banyak ketidakpastian dari pengembangan AI. ”Kita tidak yakin akan sampai di titik bencana atau tidak,” ujar salah satu penanda tangan surat terbuka untuk moratorium pengembangan AI itu.
Bengio merupakan salah seorang pakar AI yang khawatir bahwa AI akan belajar berbohong atau melakukan hal buruk lain. Hal itu dimungkinkan karena AI dilatih dengan cara memeriksa mahadata. Dalam salah satu uji coba akses salah satu laman, ada pertanyaan apakah pengakses manusia atau robot.
Bantahan itu menunjukkan, AI bisa berbohong. Jika pelatihan seperti itu dibiarkan, akan semakin terbuka peluang mempelajari aneka perilaku buruk lain.
AI membantah akses dilakukan oleh robot. Bantahan itu menunjukkan, AI bisa berbohong. Jika pelatihan seperti itu dibiarkan, akan semakin terbuka peluang mempelajari aneka perilaku buruk lain.
Yudkowsky menyebut, bencana yang ditimbulkan AI tidak akan seperti kebakaran. Pada kasus kebakaran, ada sistem peringatan yang mendeteksi bahaya. Sementara di AI, sampai sekarang belum ada sistem peringatan bahayanya.
Padahal, di samping aneka potensi dampak positif, AI mengindikasikan bahaya. Paling jelas, ada ratusan ribu orang diberhentikan karena pekerjaan mereka bisa dilakukan AI. (AP/REUTERS)