Sam Altman: AI adalah Revolusi Teknologi Paling Berdampak Sepanjang Sejarah Manusia
Saya berpendapat bahwa AI tidak bisa dihentikan, dan memang seharusnya tidak dihentikan. Namun, kita perlu membimbing dan mengarahkannya dengan baik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F14%2F2ca2de35-24aa-46ea-8b90-e8c96e277a82_jpg.jpg)
CEO OpenAI Sam Altman (kanan) berswafoto dengan hadirin acara "Conversation with Sam Altman) di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta pada Rabu (14/6/2023). Dalam acara ini, Altman memberikan pendapatnya tentang pengembangan AI.
Mungkin tidak ada 'sanjungan' yang lebih berarti bagi CEO OpenAI Sam Altman dibandingkan saat ribuan peneliti dan pentolan industri teknologi dalam surat terbuka pada akhir Maret lalu meminta moratorium pengembangan kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) yang lebih canggih dari GPT-4.
Potensi GPT-4, model kecerdasan artifisial yang dikembangkan OpenAI, dinilai memiliki kemampuan untuk mengubah dunia secara drastis, memicu kesadaran akan urgensi regulasi AI.
Tidak lama setelah dilayangkannya surat terbuka itu, Altman pun merancang tur dunia. Dia berusaha meyakinkan dunia akan potensi revolusi AI. Kongres Amerika Serikat, Komisi Uni Eropa, Presiden Perancis, Perdana Menteri India, Presiden Israel, hingga Presiden Korea Selatan kini telah ditemuinya.
Baca juga:AI dan Kecemasan soal Masa Depan Pekerjaan
Indonesia, pada Rabu (14/6/2023) telah menjadi negara ke-21 yang ia datangi dalam sebulan terakhir.
Acara tanya-jawab dengan Altman berlangsung selama satu jam. dan dipandu oleh Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (Korika) Prof Hammam Riza. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia Nadiem Makarim pun sempat bertanya langsung kepada Altman.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F14%2F27c97b4d-568e-4932-a819-bbbb2f286b97_jpg.jpg)
CEO OpenAI Sam Altman (kiri) berbincang dengan Ketua Korika Prof Hammam Riza (kanan) dalam acara "Conversation with Sam Altman" yang digelar di Jakarta, Rabu (14/6/2023). Dalam acara ini, Altman memberikan pendapatnya tentang pengembangan AI.
Dalam acara "Conversation with Sam Altman" yang digelar di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Altman yang mengenakan kemeja batik, memberikan berbagai pendapat tentang masa depan pendidikan, apa yang masih menjadi kelemahan GPT-4, dan upaya kolektif yang bisa dilakukan masyarakat dunia untuk menjaga pemanfaatan AI yang aman bagi peradaban manusia.
Berikut adalah potongan tanya-jawab dengan Altman. Pertanyaan telah dikumpulkan dari hadirin sebelumnya. Percakapan ini telah disunting agar lebih singkat.
T: Siapa yang menurut Anda 'memiliki' hasil kreasi dari AI? Apakah pembuat model AI-nya? Masyarakat penghasil data yang digunakan untuk melatih model AI? Atau orang yang memberikan perintah prompt ke AI-nya?
J: Menurut saya, kita perlu skema yang baru untuk menjawab persoalan ini. Penting bagi saya, ada keuntungan yang dibagi kepada masyarakat yang datanya telah membantu melatih model AI. Kalau Anda adalah seorang kreator yang hasil karyanya digunakan untuk melatih AI, saya rasa Anda berhak untuk mendapat benefit juga.
Tetapi di sisi lain, apabila Anda sebagai pengguna dapat memberikan perintah atau prompt yang unik, hasil keluaran dari AI juga seharusnya menjadi milik pemberi perintah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F14%2Fd4be9cd8-584e-49c7-a981-c9a01d87dac4_jpg.jpg)
Wartawan mengambil foto CTO GDP Venture On Lee, CEO OpenAI Sam Altman, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia Nadiem Makarim, Ketua Korika Prof Hammam Riza, dan COO PT Djarum Victor Hartono di akhir acara "Conversation with Sam Altman" yang digelar di Jakarta, pada Rabu (14/6/2023). Dalam acara ini, Altman memberikan pendapatnya tentang pengembangan AI.
T: Bagaimana Anda melihat masa depan pendidikan? Para guru saat ini sedang panik bagaimana bisa menilai progres para murid apabila mereka menggunakan AI?
J: Pendidikan akan berubah secara dramatis. Tetapi, perubahan sebesar ini bukan cerita baru. Sepanjang sejarah, sudah beberapa kali masyarakat khawatir akan masa depan pendidikan setiap ada teknologi baru. Kekhawatiran seperti ini juga telah terjadi ketika kemunculan kalkulator atau juga mesin pencari.
Sama seperti dengan kehadiran kalkulator atau mesin pencari, guru perlu mengubah cara evaluasi muridnya. Kita juga akan mengajar murid dengan cara yang berbeda.
Baca juga:Menyikapi Tren AI dalam Dunia Pendidikan dan Riset
Akan sangat aneh apabila sekarang ini, jika mahasiswa kalkulus tidak diperbolehkan menggunakan kalkulator saat ujian. Jadi, kalau saat ini, guru tetap memaksa muridnya dengan cara kuno, alias tanpa ChatGPT, ini juga akan terlihat tidak lazim. Karena, ketika mereka sudah lulus, kalau tidak dibiasakan menggunakan alat AI, mereka tidak akan bisa bersaing.
Bagi anak-anak yang baru mulai belajar di tahun-tahun ini, saya kira akan jauh lebih kapabel dibandingkan kita di masa depan karena mereka belajar dengan alat-alat yang lebih baru dan lebih baik. Ini adalah bagaimana peradaban manusia terus berkembang.
Sepanjang sejarah, sudah beberapa kali masyarakat khawatir akan masa depan pendidikan setiap ada teknologi baru. Kekhawatiran seperti ini juga telah terjadi ketika kemunculan kalkulator atau juga mesin pencari
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F14%2Fe481fabe-960d-43dc-93c4-caeacf0507d5_jpg.jpg)
CEO OpenAI Sam Altman (kiri) berbincang dengan Ketua Korika Prof Hammam Riza (kanan) dalam acara "Conversation with Sam Altman" yang digelar di Jakarta, Rabu (14/6/2023). Dalam acara ini, Altman memberikan pendapatnya tentang pengembangan AI.
T: Hal apa yang menurut Anda sangat penting bagi umat manusia, namun belum bisa dilakukan AI?
J: Kemampuan untuk menghasilkan ide baru. Misalnya, Newton dulu menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan berdiskusi untuk memperdalam kemampuan matematikanya. Model AI kita bisa dibilang, juga melakukan hal tersebut.
Namun, sebanyak apapun buku yang Ia baca, tidak akan serta merta dapat menciptakan kalkulus. Newton bisa berpikir, menggunakan daya kreatifnya untuk menemukan hal baru.
Nah ini adalah hal yang belum bisa dilakukan AI. Berpikir dan menghasilkan ide baru yang belum pernah ada sebelumnya. Jadi saya rasa, ini adalah langkah selanjutnya; bagaimana kita bisa mengajari AI untuk melakukan hal itu.
T: Sebetulnya siapa yang menentukan jawaban yang dihasilkan oleh AI? Konsensus para ahli atau sebuah panel khusus? Bagaimana terhadap bias jawaban yang ada?
J: Siapa yang menentukan nilai moral yang dipegang oleh sistem AI, siapa yang menentukan hal apa yang boleh dan tidak dilakukan oleh AI, akan menjadi sangat penting dan penuh perdebatan.
Tetapi saya kira, bisa saja setiap negara memiliki aturan AI yang berbeda-beda. AI bisa disuruh membaca hukum di Indonesia dan diminta mengikuti. AI juga bisa kita minta untuk mengikuti nilai moral kita secara personal.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F07%2F86f6f7f5-dd4a-4488-86c6-aed84517a79f_jpg.jpg)
Pemanfaatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI), ChatGPT, di sebuah kantor di Jakarta, Selasa (7/3/2023). ChatGPT adalah chatbot AI berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun perintah teks.
Namun, untuk aturan skala besar, saya rasa bukan jangan OpenAI yang menentukan. Saat ini memang, yang menentukan nilai-nilai (di ChatGPT) adalah peneliti di OpenAI, namun ke depannya, kami ingin membuat proses ini sedemokratis mungkin.
Saya juga menilai, perlu ada sikap global yang disepakati seluruh negara. Menciptakan kesepakatan global ini tentu saja akan sulit, namun kita sebagai umat manusia sudah pernah melakukan hal serupa. Kini kita punya kesepakatan tentang bom atom dan senjata biologis misalnya.
Baca juga:Pengembangan Kecerdasan Buatan Memunculkan Dilema Baru
T: Apa yang sudah dan akan dilakukan OpenAI untuk meningkatkan kemampuannya mengolah Bahasa Indonesia sebagai upaya peningkatan inklusivitas secara global?
J: Ini memang menjadi tujuan kami. Kemampuan Bahasa Inggris GPT-3 lumayan bagus, tetapi hanya pas-pasan untuk bahasa lain. GPT-4 bisa memahami dengan baik 20 persen bahasa paling populer di dunia, tetapi masih pas-pasan mungkin untuk 80 persen bahasa lainnya.
Kami berharap GPT-5 bisa memahami dengan baik bahasa-bahasa lain di dunia, termasuk dialek-dialek khusus. Nah kami butuh bantuan untuk hal itu.
Kalau saja Indonesia bisa memberikan kami datasetnya, kami akan sangat senang untuk menerimanya dan memasukkannya ke dalam model AI kami selanjutnya. Model AI berikutnya akan bisa berguna banyak untuk orang Indonesia dan kami akan sangat senang berkolaborasi untuk hal itu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F14%2F47c89e19-1dd4-412b-beac-28ade178aa40_jpg.jpg)
(Dari kiri-kanan): CTO GDP Venture On Lee, CEO OpenAI Sam Altman, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia Nadiem Makarim, dan Ketua Korika Prof Hammam Riza pasca acara "Conversation with Sam Altman" yang digelar di Jakarta pada Rabu (14/6/2023). Dalam acara ini, Altman memberikan pendapatnya tentang pengembangan AI.
T: Apa kalimat penutup Anda?
J: Saya yakin bahwa (AI) bisa jadi akan menjadi revolusi teknologi paling berdampak yang pernah diciptakan oleh umat manusia.
Saya percaya bahwa 25–50 tahun dari sekarang, dunia bisa menjadi tempat yang jauh lebih baik. Hampir tak terbayangkan, bagaimana betambah baiknya kualitas hidup masyarakat dunia kelak.
Saya berpendapat bahwa teknologi ini tidak bisa dihentikan, dan memang seharusnya tidak dihentikan. Namun, kita perlu membimbing dan mengarahkannya dengan baik.
Pastinya, ini merupakan salah satu tantangan terbesar yang pernah kita hadapi sekaligus tantangan yang paling menarik.
Saya percaya bahwa masa depan dunia akan cerah, namun kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan.