Tidak diingkari ada banyak perkembangan positif selama pemerintahan Jokowi. Akan tetapi, aspek penegakan hukum juga mengundang keprihatinan. Sikap optimisme penuh kehati-hatian perlu dikedepankan.
Oleh
ULIL ABSHAR-ABDALLA
·2 menit baca
Dalam segala persoalan, termasuk dalam soal-soal politik, selalu ada orang-orang tertentu yang gemar sekali akan berita sial dan cenderung menggambarkan keadaan dengan begitu buruknya sehingga membikin orang-orang di sekitar tertulari virus pesimisme.
Bagi orang-orang seperti ini, selalu saja ada sisi buruk dan gelap dalam setiap berita yang mestinya membawa kabar kebaikan. Orang-orang seperti ini biasa disebut sebagai fearmonger, mereka yang gemar menebarkan ketakutan. Saya menyebutnya sebagai kaum ”alarmist”, mereka yang gemar membunyikan ”alarm” seolah-olah keadaan sedang dalam bahaya. Meskipun ada sedikit manfaat dalam sikap alarmist seperti ini (minimal sebagai pengingat agar kita hati-hati dalam menilai keadaan!), tetapi saya cenderung menghindari atau mencurigai orang-orang semacam ini. Ada tokoh-tokoh tertentu di negeri ini yang saya lihat memiliki kecenderungan seperti ini. Saya, sejak dulu, tidak terlalu tertarik pada tokoh-tokoh seperti itu.
Di pihak lain, tentu saja, ada orang-orang tertentu yang karena alasan-alasan politik partisan cenderung melihat segala hal sebagai berita baik dan mengabaikan sama sekali perkembangan-perkembangan buruk yang mestinya mendapatkan perhatian yang cukup. Mereka yang kebetulan merupakan pendukung rezim politik yang sedang berkuasa biasanya cenderung terjatuh dalam jebakan ini. Sementara para pembenci rezim kadang terjatuh menjadi pihak-pihak yang selalu membunyikan ”alarm” seolah kita selalu dalam keadaan bahaya.
Penilaian yang tepat atas setiap keadaan, saya kira, berada di antara dua sikap ini: antara sikap alarmist di satu pihak dan sikap (jika istilah ini bisa dipakai) confidentist di pihak lain. Sikap tengah-tengah ini, bagi saya, amat tepat dijadikan sebagai pegangan oleh publik pada umumnya, terutama mereka yang bukan merupakan bagian dari ”bobotoh politik”. Pada umumnya, publik berada di posisi netral dalam pengertian bukan pendukung fanatik atau pembenci kekuasaan yang sedang memerintah.
Harus diakui, dalam beberapa tahun terakhir, memang ada kecenderungan publik terseret dalam polarisasi politik dan menjadi bagian dari fenomena ”bobotoh politik”. Meski demikian, saya melihat gejala positif, yaitu memudarnya kecenderungan polarisasi tersebut. Salah satu penjelasannya, saya kira karena tokoh-tokoh politik yang menjadi sumber polarisasi itu entah telah menjadi bagian dari kekuasaan yang memerintah atau sudah lengser. Apa pun alasannya, saya melihat perkembangan yang agak menggembirakan, yaitu menyusutnya sentimen yang terlalu berlebihan untuk mendukung atau menentang sosok politik tertentu.
Dalam menilai keadaan sekarang ini, saya kira prinsip tengah-tengah seperti saya usulkan di atas amat tepat dipakai sebagai lensa. Dalam edisi Senin (22/5/2023) yang lalu, harian ini mengetengahkan sebuah survei yang menarik tentang penilaian publik atas pemerintahan Jokowi. Secara umum, publik puas terhadap kinerja pemerintah. Meskipun, tentu saja, tingkat kepuasan itu amat berbeda antara ”pendukung pemerintah” dan ”bukan-pendukung”. Kepuasan para bukan-pendukung jelas lebih rendah. Akan tetapi, secara umum, publik puas atas apa yang dikerjakan oleh pemerintah sejauh ini—sesuatu yang jelas positif.
Berita semacam ini bisa ditanggapi dengan dua sikap sekaligus. Bagi kaum confidentist yang selalu menggambarkan segala hal dengan kaca mata yang sepenuhnya optimistis, berita ini menjadi semacam vindication atau konfirmasi atas penilaian mereka yang optimistis. Bagi kaum alarmist, berita ini dianggap ”opium” yang akan dipakai oleh pembela kekuasaan untuk menutupi sisi-sisi buruk dalam keadaan.
Saya lebih memilih menghindar dari dua sikap itu. Tidak bisa diingkari bahwa banyak perkembangan positif yang patut digembirai selama pemerintahan Jokowi saat ini. Hanya kaum alarmist keras kepala yang menafikan adanya segi-segi positif dalam rezim sekarang. Tetapi, tak bisa disangkal, ada hal-hal yang membuat kita layak prihatin. Perkembangan dalam aspek penegakan hukum, misalnya, masih amat memprihatinkan. Kesan yang saya peroleh dari percakapan medsos (media sosial) sejauh ini adalah: aparat baru bergerak jika netizen berteriak. Jika tak ada netizen yang rewel, kasus-kasus tertentu didiamkan begitu saja. Ini jelas amat menjengkelkan.
Dengan kata lain, saya melihat keadaan sekarang dengan rasa optimistis; hanya saja, ini adalah optimisme yang penuh kehati-hatian. Cautious optimism.