Polarisasi yang Didorong Sentimen Agama Berpotensi Terulang di Pemilu 2024
Riset Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi UI menemukan polarisasi politik di masyarakat nyata dan didorong oleh sentimen agama.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
FAJAR RAMADHAN UNTUK KOMPAS
Hamdi Muluk
JAKARTA, KOMPAS — Polarisasi politik yang didorong oleh sentimen agama berpotensi terulang di Pemilu 2024. Desain konstitusi yang mensyaratkan pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden harus meraih lebih dari 50 persen suara dinilai sebagai penyebabnya.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk dalam jumpa pers Rilis Survei Nasional Politisasi Politik Indonesia: Mitos atau Fakta, Minggu (19/3/2023), mengutarakan, polarisasi dalam masyarakat memang terjadi. Hal ini disimpulkan berdasarkan riset akademis yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi UI. ”Polarisasi itu memang ada dan didorong oleh sentimen agama,” katanya.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari berpendapat, polarisasi terjadi karena desain konstitusi yang mengharuskan pemenang pemilihan presiden meraih suara lebih dari 50 persen. Akibatnya, walaupun di putaran awal ada empat pasangan calon mengikuti pilpres, sangat mungkin putaran kedua pilpres digelar karena tak ada yang bisa memenuhi syarat kemenangan tersebut di putaran awal. Di putaran kedua, hanya dua pasangan calon dengan suara terbanyak yang berkontestasi sehingga polarisasi tak terelakkan akan terjadi.
Hamdi mengatakan, para peneliti menemukan bahwa polarisasi yang terjadi pada Pemilu 2019 kemungkinan besar akan berulang di Pemilu 2024. Ia memprediksi di 2024 terjadi pengelompokan calon presiden dan wakil presiden di dua kutub dan masing-masing dipersepsikan mirip dengan situasi Pemilu 2019, atau ada yang mengonstruksikan untuk menjadi mirip, sehingga polarisasi serupa akan muncul lagi.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
M Qodari
Berdasarkan survei perasaan dan opini yang ditanyakan pada responden, para peneliti menemukan kembali dua kluster. ”Ketemu lagi cebong dan kampret. Kalau di dunia maya hanya berdasarkan agama, di dunia nyata ada satu faktor lagi, yaitu ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah sekarang,” kata Hamdi.
Hamdi melihat, aspirasi fundamentalis meningkat belakangan ini. Hal ini yang menjadi kekhawatiran karena keterbelahan itu berdasarkan agama. Polarisasi karena isu-isu publik, seperti tenaga kerja asing dan harga bahan pokok, dinilainya masih positif, tetapi keterbelahan karena agama berbahaya bagi bangsa. Polarisasi yang terjadi secara psikologis menimbulkan sikap tidak suka bahkan kebencian pada orang yang pilihannya berbeda.
”Pola ini semakin menukik menjelang pemilu,” kata Hamdi.
Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melakukan analisis terhadap 43 juta tweet sebelum, selama, dan sesudah Pilpres 2019 dan dilakukan Social Network Analysis dengan mengikuti tagar #pilpres2019, #2019gantipresiden, dan #2019tetapjokowi. Studi kedua selama 6-28 Februari 2023, pada 1.190 responden di 33 provinsi dengan metode penarikan sampel stratified random sampling. Ada 17 figur politik di Twitter yang diamati.
Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2019, Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sebelum acara Deklarasi Kampanye Damai Pemilu Serentak 2019 di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (23/9/2018).
Menurut Qodari, sejarah Indonesia menunjukkan adanya perbedaan aliran politik berdasarkan agama. Hal ini berawal dari pemikiran dan aksi para tokoh politik seperti Soekarno dan M Natsir yang masing-masing beraliran nasionalis dan agama. Setiap individu masyarakat kemudian memilih aliran politik sesuai dirinya. Pada 1995, Herbert Feith dan Lance Castles mengatakan, partai-partai saat itu terpengaruh nilai-nilai Barat dan tradisi Islam, Jawa-Hindu, sehingga muncul partai-partai seperti PKI yang menganut komunisme, PNI yang nasionalisme radikal, PSI yang sosialisme demokrat, NU dan Masyumi yang Islam.
”Pembelahan yang terjadi sekarang adalah antara religius dan nonreligius, kelas sosial miskin kaya dan desa-kota,” kata Qodari.
Ia lalu melihat, perbedaan partai-partai politik berdasarkan ideologi, yaitu PDI-P dan Gerindra yang nasionalisme proteksionis, nasionalis pasar bebas yaitu Golkar, Nasdem dan Demokrat, Islam modern pada PAN dan PKS, serta Islam tradisional pada PKB dan PPP.
”Dalam Pilpres 2014 dan 2019, para calon presiden itu datang dari kubu yang sama, nasionalis proteksionis. Namun, para aktivis melakukan konstruksi seakan salah satu calon berada di kanan dengan ijtima ulama,” kata Qodari.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana kerusuhan peserta aksi penolak hasil pemilu di depan kantor Bawaslu RI di Jalan MH Thamrin hingga Jalan Abdul Muis, Jakarta, Rabu (22/5/2019).
Prabowo yang nasionalis sekuler menjadi calon dari kelompok Islam, Sandiaga Uno yang juga tidak pernah menjadi santri tetapi lalu diberi cap santri milenial. ”Ini yang disebut sebagai konstruksi. Jadi memang pembelahan ada, tetapi dipakai untuk pemenangan jadi sesuatu yang berbahaya,” kata Qodari.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU Ulil Abshar Abdalla mengimbau agar aktivis lebih bijaksana saat bernarasi dalam kontestasi politik sehingga tidak menimbulkan pembelahan. Salah satu cara untuk mengatasi polarisasi adalah tokoh-tokoh influencer, seperti tokoh agama atau intelektual tidak terlibat dalam politik dukung-mendukung.
”Tugas publik kita adalah mendinginkan suasana, bukan malah terlibat dalam polarisasi,” kata Ulil.
Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, menjelaskan bahwa persepsi tentang investasi asing di Indonesia yang menjadi salah satu faktor polarisasi di dunia nyata banyak dipengaruhi salah informasi.
Ia mengatakan, investasi asing memang dibutuhkan agar angkatan kerja baru per tahun yang jumlahnya mencapai 2,9 juta terserap, ditambah lagi ada korban PHK sebanyak 5-6 juta. ”Pemerintah hanya bisa menciptakan 1 juta lapangan kerja, sisanya kita dapat dari investasi asing,” katanya.