Sebanyak 22 negara anggota Liga Arab akan menggelar pertemuan puncak ke-32 di Jeddah, Arab Saudi, Jumat (19/5/2023). Bagaimana masa depan forum yang selama ini sepi gaungnya itu?
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Konferensi Tingkat Tinggi Ke-32 Liga Arab digelar di Jeddah, Arab Saudi, Jumat (19/5/2023). Pamor liga beranggotakan 22 negara Arab yang terbentang dari Maroko di barat hingga Irak di timur memang sedang redup dalam beberapa tahun terakhir ini.
Keredupan Liga Arab itu tidak terlepas dari karut-marut situasi dunia Arab selama lebih dari satu dekade terakhir. Persisnya, situasi ini berlangsung sejak merebaknya Musim Semi Arab pada 2010-2011.
Musim Semi Arab yang semula diharapkan menjadi titik tolak kebangkitan dunia Arab justru menjadi malapetaka dunia Arab. Bukannya demokrasi sesuai misi awal Musim Semi Arab yang tumbuh berkembang, melainkan perang saudara dan krisis politik yang melanda dunia Arab sampai saat ini.
Tunisia pun yang semula dibanggakan sebagai satu-satunya negara Arab yang sukses membangun sistem demokrasi ternyata juga dililit krisis politik berkepanjangan dan mengancam gagalnya sistem demokrasi di negara itu. Lebih parah lagi Sudan yang dilanda perang saudara sejak 15 April lalu. Adapun Suriah, Yaman, dan Libya sudah terlebih dahulu dilanda perang saudara.
Di tengah karut-marut situasi dunia Arab tersebut, Liga Arab seperti tidak berbuat apa-apa. Liga Arab seolah hanya menjadi penonton saja. Publik Arab sendiri sudah kurang memberi perhatian terhadap eksistensi organisasi yang bermarkas di kota Kairo itu.
Penyelenggaraan KTT Liga Arab di Jeddah kurang mendapat perhatian pula dari publik dan media massa Arab. Hal itu barangkali refleksi dari kekecewaan publik Arab terhadap wadah itu.
Liga Arab mungkin saat ini bisa disebut organisasi regional yang paling gagal dan tidak populer dibandingkan organisasi regional lainnya, seperti Uni Eropa, ASEAN dan Uni Afrika. Padahal, Liga Arab adalah organisasi regional yang paling tua usianya, yaitu didirikan pada 1945 atau sudah berusia 78 tahun.
Karena itu, sangat patut mempertanyakan masa depan Liga Arab di tengah pudar peran dan fungsinya menghadapi dinamika anggotanya, terutama dampak dari Musim Semi Arab.
Perdana Menteri Irak Mohammed Shia’ Al-Sudani menyebut dalam artikelnya di harian Asharq Al Awsat edisi Rabu (17/5/2023) bahwa KTT Liga Arab di Jeddah merupakan kesempatan emas bagi Liga Arab sebagai panggung untuk bisa diperhitungkan lagi di pentas dunia Arab.
Harapan ini sangat tepat karena tuan rumah KTT Liga Arab kali ini adalah Arab Saudi yang sedang bersinar pamornya dalam beberapa tahun belakangan. Sentimen positif ini terjadi setelah Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) naik takhta sebagai putra mahkota pada 2017.
Adalah Arab Saudi pasca-KTT Liga Arab di Jeddah yang akan memimpin sebagai ketua bergilir Liga Arab dalam satu tahun kedepan. Arab Saudi bisa disebut sedang memegang kendali dunia Arab. Beberapa peristiwa besar digelar di Arab Saudi akhir-akhir ini menunjukkan Riyadh sedang memimpin opini dunia Arab.
Sebelum digelar KTT Liga Arab di Jeddah pada Jumat ini, Arab Saudi menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi Arab-China dan Arab-Amerika Serikat.
Pertemuan puncak Arab-China dengan dihadiri Presiden China Xi Jinping digelar di Arab Saudi pada Desember 2022. Adapun pertemuan puncak Arab-AS dengan dihadiri Presiden AS Joe Biden juga digelar di Arab Saudi pada Juli 2022.
Sebelumnya pada Januari 2021, Arab Saudi juga menjadi tuan rumah KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di kota Al Ula yang mengakhiri blokade empat negara Arab (Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir) atas Qatar.
Arab Saudi pada Jumat ini juga menjadi tuan rumah KTT Liga Arab. Maka, dalam dua tahun terakhir ini terlihat betapa Arab Saudi menjadi pusat dinamika dunia Arab.
Liga Arab pun memiliki momentum pas dengan berada di bawah kepemimpinan Arab Saudi dalam satu tahun ke depan. Arab Saudi dengan kapasitasnya yang luar biasa tentu sangat diharapkan bisa membawa Liga Arab kembali harum dan berwibawa, serta makin bergigi peran dan fungsinya.
Rekonsiliasi Iran-Arab Saudi dengan mediasi China pada Maret lalu semakin mengharumkan citra Arab Saudi. Peran Arab Saudi akan semakin diterima semua pihak di Timur Tengah pascarekonsiliasi Iran-Arab Saudi itu.
Arab Saudi pun kini menjadi tuan rumah perundingan dua pihak yang berperang di Sudan, yakni Militer Sudan (SAF/Sudan Army Force) dan pasukan pendukung cepat (RSF/The Rapid Support Force). Sebelumnya delegasi Arab Saudi untuk pertama kalinya terlibat langsung dalam perundingan dengan kelompok Al Houthi di Sana’a pada awal April lalu.
Arab Saudi juga berperan besar dalam proses kembalinya Suriah ke pangkuan Liga Arab. Delegasi Suriah untuk pertama kalinya sejak 2013 akan menghadiri KTT Liga Arab di Jeddah. Ini menunjukkan kembalinya Suriah secara resmi ke Liga Arab. Tanpa ada lampu hijau dari Arab Saudi, sulit membayangkan Suriah bisa kembali ke Liga Arab.
Ada anekdot mutakhir di dunia Arab, yaitu ”semua harus melalui ibu kota Riyadh”. Ini menunjukkan Arab Saudi kini sedang memimpin dunia Arab, seperti halnya Mesir memimpin dunia Arab pada era 1950-an dan 1960-an. Meski kantor Liga Arab berada di kota Kairo, keputusan besar terkait dunia Arab kini berada di kota Riyadh.
Ke depan, Arab Saudi bisa menggandeng Liga Arab untuk turut menyelesaikan isu-isu besar dunia Arab, khususnya yang terbaru adalah isu perang saudara di Sudan. Isu Sudan diberitakan menjadi salah satu agenda utama KTT Liga Arab di Jeddah.
Di saat yang sama, delegasi dua pihak yang berperang di Sudan saat ini sedang berunding di kota Jeddah dengan mediasi Arab Saudi. Di kota Jeddah pula terdapat markas besar Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), di mana Sudan juga menjadi anggotanya.
Maka, kota Jeddah yang menjadi tuan rumah KTT Liga Arab dan markas besar OKI di bawah kepemimpinan Arab Saudi diharapkan bisa menjadi titik tolak gerakan menuju solusi di Sudan yang bisa mengakhiri perang saudara di negara itu.