Prahara Sudan
Ada sejumlah pelajaran berharga dari prahara Sudan. Kemajemukan jika tak dikelola dengan baik bisa menjadi bencana. Indonesia perlu waspada menyikapi fenomena sosial-keagamaan dan politik. Jika lengah, menjadi prahara.
Sudan, untuk kesekian kali, kembali dilanda kekerasan dan krisis kemanusiaan hebat. Antarfaksi kembali berperang dan berebut kekuasaan.
Kali ini, terhitung sejak 15 April, yang berperang adalah faksi militer Abdel Fattah al-Burhan yang berkuasa sejak 2021 melalui kudeta militer, versus rivalnya, Mohamed Hamdan Dagalo, komandan Rapid Support Forces/RSF (quwwat ad-da’m as-sari’).
RSF, sebuah organisasi paramiliter, beranggotakan ratusan ribu milisi, khususnya dari kelompok Janjawid yang ditengarai jadi salah satu aktor utama kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Darfur, Sudan Barat.
Tak pelak, akibat perang dan kekerasan ini, ratusan nyawa kembali melayang sia-sia. Harta benda kembali sirna. Ribuan lain menderita luka-luka. Khartoum dan sejumlah kota lainnya kembali porak-poranda.
Perang antarfaksi militer kali ini memperparah dan memperburuk situasi Sudan yang sudah lama mengalami krisis kemanusiaan kronis yang memakan korban jutaan jiwa, jauh dari apa yang terjadi di Palestina.
Baca juga : Sudan, Merana sejak Merdeka
Baca juga :Persaingan Dua Jenderal Kobarkan Perang Saudara di Sudan
Sejarah kekerasan
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) memperkirakan, tahun ini setidaknya 15,8 juta penduduk Sudan (lebih dari tiga kali lipat penduduk Palestina) mengalami kelaparan dan butuh bantuan kemanusiaan, 3,6 juta warga kehilangan tempat tinggal dan menjadi internally displaced people, 3,1 juta mengalami kekerasan berbasis jender, 10,1 juta mengalami krisis kesehatan, 4 juta malanutrisi, 3,7 juta tak dapat mengakses pendidikan, dan 3.8 juta anak-anak hidup telantar.
Entah sudah berapa kali Sudan yang lebih dari 90 persen berpenduduk Muslim ini dilanda perang sipil dan kekerasan brutal yang memilukan.
Sejak merdeka dari Inggris dan Mesir tahun 1956, Sudan berkali-kali mengalami kudeta militer berbuntut perang dan kekerasan, yang memakan juta- an korban. Para penguasa Sudan bisa dipastikan tampil di panggung kekuasaan melalui kudeta berdarah. Jafar Nimeiri, Omar al-Bashir, Ahmed Awad ibn Auf, dan Abdel Fattah al-Burhan, memimpin lewat kudeta militer.
Kini, Dagalo mencoba keberuntungan melalui cara dan taktik yang sama. Karena itu, tak salah jika Sudan bisa disebut sebagai ”negeri kudeta”.
Namun, harap diingat, perang dan kekerasan di Sudan bukan hanya terjadi setelah merdeka. Jauh sebelum merdeka, Sudan sudah akrab dengan perang dan kekerasan antarfaksi. Bahkan, sejak pendirian Kerajaan Kerma tahun 2500 SM, Sudan sudah menjadi ajang perebutan kekuasaan berbagai kelompok.
Sejak itu, berbagai faksi agama, politik, ideologi, dan suku terlibat saling serang, saling bunuh, dan saling balas dendam.
Berbagai suku-bangsa silih berganti berusaha menaklukkan Sudan: Nubia, Arab, Turki, Inggris, dan etnik-etnik Afrika. Berbagai rezim silih berganti menguasai Sudan: Kush, Nubia, Sennar, Turki, Mahdi, Anglo-Mesir, dan lainnya.
Berbagai kelompok ideologi dan agama (Islamisme, Salafisme, Sufisme, Sekularisme, Komunisme, Sosialisme, Pan-Arabisme, Republikanisme, dan lainnya) juga saling berusaha memengaruhi dan mengontrol Sudan.
Begitu pula aktivis parpol, kelompok separatis, dan grup milisi/paramiliter juga saling baku hantam dan berebut kekuasaan. Semua ingin memerintah, mengontrol, dan menguasai Sudan.
Entah kapan perang dan kekerasan akan berakhir. Di mana pun kekerasan rakyatlah yang jadi korban: pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, pembumihangusan, dan sebagainya.
Pelajaran berharga
Ada sejumlah pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kasus Sudan. Pertama, pluralitas atau kemajemukan jika tak dikelola dengan baik, cermat, dan hati-hati bisa berubah atau menjelma jadi bencana dan malapetaka. Sudan sangat majemuk, baik dari aspek etnis, suku, klan, agama, politik, maupun ideologi. Berbagai kelompok etnis dan suku besar tinggal di Sudan: Arab, Nubia, Beja, Fur, Nuba, Dinka, dan sebagainya.
Ini belum termasuk ratusan subsuku dan klan. Etnik Arab yang dominan di Sudan (lebih dari 70 persen) juga terpecah jadi sejumlah faksi besar, seperti Jalayin dan Juhainah; masing -masing terpecah lagi menjadi sub-sub klan yang kompleks.
Belajar dari tragedi Sudan, kita perlu lebih waspada menyikapi fenomena sosial-keagamaan dan kepolitikan serta bijak mengelola kemajemukan bangsa.
Meskipun Muslim mayoritas, mereka terpecah belah menjadi berbagai kelompok: Islamis, Salafi, Sufi, nasionalis, sekularis, tradisionalis, komunis, dan sebagainya. Tragisnya, setiap faksi agama, ideologi, politik, dan etnis atau suku ini ingin jadi penguasa.
Kedua, demi kekuasaan, pemimpin (penguasa) bisa beru bah bak bunglon dan bergabung dengan kelompok mana saja (sekalipun berseberangan ideologi) yang dipandang menguntungkan dan bisa mempertahankan/menyelamatkan kekuasaan. Watak penguasa itu pragmatis-oportunis, jauh dari idealisme yang dikampanyekan.
Nimeiri, misalnya. Awalnya seorang sekularis, sosialis, dan pan-Arabis, belakangan, awal 1980-an, bergabung dengan kelompok militan Islamis (pendukung ideologi Islamisme) yang menyebabkan perang sipil berkepanjangan. Demikian pula Omar al-Bashir, penguasa terlama Sudan yang berhasil memerintah setelah mengudeta Sadiq al-Mahdi, juga seorang pemimpin ordo Sufi, al-Ansar.
Ketiga, ideologi, agama, dan aliran apa pun yang dianut penguasa tak menjamin negara dan rakyat jadi adil, makmur, aman, damai, dan sentosa. Kelompok sekuler, sosialis, demokrat, nasionalis, Sufi, dan Islamis sudah silih berganti menguasai dan memerintah Sudan.
Tak satu pun berhasil membawa Sudan jadi negeri sejahtera, damai, dan bebas perang. Itu artinya identitas apa pun yang dianut penguasa tidak selalu berbanding lurus dengan tindakan atau perilaku mereka.
Yang diperlukan pemimpin sejatinya bukan ”identitas primordial” (agama, ideologi, etnis) yang melekat pada dirinya melainkan watak dan perilaku yang bersih, jujur, dan adil; kemauan untuk bekerja demi kemaslahatan publik; komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dan terpeliharanya keragaman.
Keempat, sistem politik-ekonomi dan hukum apa pun yang dipakai, termasuk penerapan syariat Islam secara formal yang dipaksakan pemerintah sejak awal 1980-an di era rezim Nimeiri sebelum dihapus pada 2019, hanyalah ”kendaraan/alat tunggangan” rezim penguasa guna menguasai aset ekonomi dan kekayaan negara, bukan demi menegakkan Islam atau ideologi seperti mereka propagandakan.
Belajar dari tragedi Sudan, kita perlu lebih waspada menyikapi fenomena sosial-keagamaan dan kepolitikan serta bijak mengelola kemajemukan bangsa. Jika lengah, bukan tak mungkin apa yang menimpa Sudan bisa melanda Indonesia.
Sumanto Al Qurtuby Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals