Persaingan Dua Jenderal Kobarkan Perang Saudara di Sudan
Bentrok antara militer dan paramiliter Sudan terjadi sepanjang akhir pekan kemarin. Sebanyak 97 orang tewas, termasuk 41 diantaranya adalah warga sipil. Militer menolak tunduk pada supremasi sipil.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
DV
Asap hitam mengepul dari sebuah kawasan pemukiman di Khartoum Ibu Kota Sudan, Minggu (16/4/2023). Sebanyak 97 orang tewas, termasuk 41 orang warga sipil, akibat pertempuran dua kelompok yang berseteru, yaitu Jenderal Abdel Fattah Burhan yang memimpin Angkatan Bersenjata Sudan dengan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, pemimpin kelompok Pasukan Dukungan Cepat (RSF). (AP Photo/Marwan Ali)
KHARTOUM, SENIN — Militer Sudan kembali berulah. Perseteruan Jenderal Abdel Fattah Burhan yang memimpin Angkatan Bersenjata Sudan dengan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo yang memimpin kelompok Pasukan Dukungan Cepat (RSF) telah memicu pertempuran sengit para pendukungnya. Memasuki hari ketiga, korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Serikat Dokter Sudan, dalam keterangannya, Senin (17/4/2023), menyebut, sedikitnya 97 orang tewas akibat pertempuran di seluruh Sudan. Termasuk korban adalah 41 orang warga sipil yang tewas sepanjang Minggu (16/4/2023).
Warga sipil banyak menjadi korban karena kedua kelompok yang bertempur ini merupakan orang-orang yang memiliki akses terhadap persenjataan dan amunisi. Pertempuran antara kedua kelompok ini melibatkan kendaraan lapis baja, senapa mesin dan artileri berat hingga jet tempur. Di ibu kota saja, masing-masing memiliki puluhan ribu anggota dengan persenjataan lengkap.
Pertempuran berlangsung siang dan malam. Sejumlah saksi mata melaporkan ledakan hebat di sejumlah lokasi yang diduga menjadi basis kelompok RSF di beberapa wilayah, termasuk di ibu kota.
Pertempuran juga terjadi di sekitar bandara internasional serta kantor pusat televisi negara. Di kota Omdurran, kota tetangga Khartoum, sejumlah laporan juga menyebut soal pertempuran sengit dua kubu dalam militer Sudan itu.
“Ledakan hebat dan tembakan sepanjang waktu. Di Khartoum, pertempuran dan ledakan tidak pernah berhenti,” kata Amany Sayed (38), warga Khartoum.
AP/ASHRAF IDRIS
Warga berunjuk rasa untuk menentang penahanan Perdana Menteri (PM) Sudan Abdalla Hamdok bersama para pemimpin senior oleh militer di Kota Khartoum, Sudan, Senin (25/10/2021). Hari itu Pemimpin kudeta Jenderal Abdel Fattah Burhan mengumumkan pembentukan pemerintahan baru setelah tentara menahan para pemimpin sipil.. (AP Photo/Ashraf Idris)
“Mereka saling menembak di jalanan. Ini perang habis-habisan di daerah pemukiman,” kata pembela HAM terkemuka Tahani Abass yang tinggal tak jauh dari markas militer.
Abass mengatakan keluarganya menghabiskan malam dengan berkumpul di lantai dasar rumah mereka. “Tidak ada yang bisa tidur dan anak-anak menangis dan menjerit di setiap ledakan,” katanya. Suara tembakan terdengar saat dia berbicara kepada The Associated Press.
Gambar satelit yang dianalisis oleh AP menunjukkan kolom asap hitam menutupi langit di atas bandara ibu kota. Gambar dari Maxar Technologies menunjukkan dua pesawat besar terbakar, dan empat lainnya rusak. Maskapai telah menangguhkan penerbangan ke ibu kota Sudan.
Di Nyala, ibu kota provinsi Darfur Selatan, menurut seorang pejabat militer, kedua belah pihak berjuang untuk menguasai bandara kota itu. Pejabat yang tidak mau disebut namanya itu mengatakan, pertempuran juga menyebar ke wilayah timur Sudan, termasuk Provinsi Kassala dan Al Qadarif di perbatasan dengan Ethiopia dan Eritrea. Dia mengatakan pertempuran berpusat di sekitar RSF dan pangkalan militer.
Kedua belah pihak mengisyaratkan bahwa mereka tidak mau bernegosiasi. Militer Burhan menyerukan pembubaran RSF, yang diberi label "milisi pemberontak". Sebaliknya, Dagalo dalam pernyataannya kepada jaringan televisi satelit Al Arabiya mengesampingkan negosiasi dan meminta Burhan untuk menyerah.
AP PHOTO
Pengunjuk rasa di Khartum, ibu kota Sudan, tampak memenuhi rangkaian kereta api. Foto yang diambil pada Selasa (23/4/2019) itu menunjukkan rangkaian unjuk rasa nasional yang menuntut militer menyerahkan kekuasaan kepada otoritas sipil pasca-tergulingnya Presiden Omar al-Bashir awal bulan ini.
Khalid Omar, juru bicara blok pro-demokrasi yang bernegosiasi dengan para jenderal dalam beberapa bulan terakhir, memperingatkan bahwa konflik dapat menyebabkan perang dan keruntuhan negara. Dalam serangkaian cuitan hari Minggu, Omar meminta kelompok pro-demokrasi untuk mengesampingkan perselisihan mereka untuk menemukan cara mengakhiri krisis di negara itu secepatnya.
Volker Perthes, utusan PBB untuk Sudan, mengatakan bahwa baik Burhan maupun Dagalo menyetujui jeda kemanusiaan selama tiga jam dalam pertempuran pada Minggu sore. Akan tetapi, kondisi riil di lapangan, sebaliknya. Kekerasan terus melanda ibu kota.
Ketegangan yang terjadi antara Angkatan Bersenjata Sudan dan kelompok paramiliter RSF berasal dari ketidaksepakatan kubu Dagalo yang harus meleburkan diri dengan militer Sudan sebagai bagian dari transisi politik dan demokrasi di negara itu.
Aktivis pro-demokrasi menyalahkan peran militer yang besar dalam ketidakstabilan politik di Sudan pasca berakhirnya pemerintahan Presiden Omar Hassan Al Bashir, April 2019. Pembagian pengelolaan pemerintahan transisi, oleh sipil dan militer, tidak berjalan mulus karena tidak adanya kepercayaan dari militer terhadap sipil.
Aktivis pro-demokrasi menyalahkan Burhan dan Dagalo atas pelanggaran dan berbagai tindak terhadap pengunjuk rasa di seluruh wilayah selama empat tahun terakhir, termasuk pembubaran kamp protes yang mematikan di luar markas militer di Khartoum pada Juni 2019.
Lebih dari 120 pengunjuk rasa tewas dalam insiden itu. Banyak kelompok telah berulang kali meminta pertanggungjawaban mereka. RSF telah lama dituduh melakukan kekejaman terkait dengan konflik Darfur.
FRANSISCA ROMANA NINIK WERDININGSIH
Foto Jenderal Abdel Fattah Burhan, pemimpin Angkatan Bersenjata Sudan. . (AP Photo/Hussein Malla, File)
Menyikapi kekerasan bersenjata baru yang telah membawa korban jiwa dari kalangan warga sipil, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan bahwa para pihak yang bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban jiwa harus dimintai pertanggungjawaban. Dewan keamanan PBB akan membahas krisis politik dan keamanan terbaru di Sudan pada Senin waktu setempat.
Melihat perkembangan situasi di Sudan, sejumlah organisasi regional dan diplomat angkat bicara. Ketua Komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat mendesak agar para pihak bertikai segera melakukan gencatan senjata dan kembali ke meja perundingan, tanpa syarat.
Uni Afrika juga menyebut bahwa Mahamat akan segera terbang ke Sudan untuk mendorong gencatan senjata para pihak. Sejumlah negara Arab juga mendesakkan hal serupa. Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Farhan bin Faisa Al Saud dilaporkan telah berbicara dengan Burhan dan Dagalo melalui sambungan telepon. Ia meminta mereka untuk menghentikan semua eskalasi militer.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken juga menyebut bahwa dirinya telah berkomunikasi dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Seperti halnya Arab Saudi, Blinken menyerukan semua pihak untuk menghentikan kegiatan permusuhan tanpa syarat.
Sementara itu, Program Pangan Dunia akan menghentikan operasi di Sudan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Langkah ini diambil setelah tiga staf lapangan mereka tewas akibat pertempuran antara kelompok Burhan dan Dagalo.
“Kami tidak dapat melakukan pekerjaan penyelamatan kami jika keselamatan dan keamanan tim dan mitra kami tidak dijamin,” kata Cindy McCain, Direktur Eksekutif WFP. Tiga staf operasional WFP tewas, terjebak dalam pertempuran di Kota Kebkabiya, Darfur Utara.
Lusinan orang juga tewas dan terluka sejak Sabtu di sebuah kamp pengungsi di Darfur Utara, kata Adam Regal, juru bicara badan amal Darfur. (AP/AFP/Reuters)