Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran Ubah Peta Timur Tengah
Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran tak hanya bisa mengubah peta geopolitik-keamanan di Timur Tengah, tetapi juga bisa menghentikan konflik di sejumlah negara. Namun, AS dan Israel tak akan tinggal diam.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran dengan mediasi China yang diumumkan di Beijing, Jumat, 10 Maret lalu, merupakan perkembangan kejutan terbesar terkait isu Timur Tengah pada kuartal awal 2023. Bisa disebut ini perkembangan out of the box dalam isu Timur Tengah saat ini.
Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran ini setara dengan peristiwa besar di Timur Tengah dalam beberapa dekade terakhir, seperti revolusi Iran tahun 1979, kesepakatan damai Mesir-Israel di Camp David tahun 1979, kesepakatan Oslo antara Palestina dan Israel tahun 1993, musim semi Arab tahun 2010-2011, dan Visi Arab Saudi 2030 yang mengantarkan terjadinya revolusi sosial budaya di negeri itu.
Hubungan Arab Saudi-Iran memang sering pasang surut sejak revolusi Iran 1979. Pemimpin Revolusi Iran Imam Khomeini kerap menggemakan slogan ekspor revolusi. Arab Saudi dengan sistem monarki mutlaknya sering waswas melihat Iran pascarevolusi 1979.
Puncak ketegangan hubungan Arab Saudi-Iran terjadi saat Arab Saudi memutus hubungan diplomatik dengan Iran pada Januari 2016 menyusul serangan massa Iran terhadap kantor Kedubes Arab Saudi di Teheran dan kantor Konsulat Arab Saudi di Mashhad. Massa Iran memprotes langkah Arab Saudi mengeksekusi mati tokoh Syiah di Arab Saudi, Sheikh Nimr al-Nimr.
Dengan mediasi China, Arab Saudi-Iran sepakat membuka kembali hubungan diplomatik kedua negara dengan mengoperasikan lagi kantor kedubes dan konsulat dalam waktu dua bulan ke depan. Arab Saudi-Iran bahkan juga sepakat menghidupkan lagi kesepakatan keamanan kedua negara yang ditandatangani pada 2001, kerja sama ekonomi, investasi, budaya, olahraga, serta kepemudaan dan teknologi yang disepakati tahun 1998.
Rekonsiliasi di Beijing itu merupakan kejutan terbesar saat ini. Sebab, Arab Saudi-Iran selama ini dikenal sebagai musuh bebuyutan yang menganut kebijakan luar negeri saling bertarung, baik militer, intelijen, maupun politik di berbagai tempat, seperti di Yaman, Irak, Suriah, Lebanon, bahkan sampai ke Afrika.
Pertarungan Arab Saudi-Iran pun tidak terbatas di luar perbatasan kedua negara tersebut, tetapi juga terlibat dalam intervensi urusan dalam negeri masing-masing. Arab Saudi sering menuduh Iran terlibat dalam mendukung dan menyuplai dana kepada kelompok oposisi Syiah yang berbasis di Arab Saudi bagian timur. Sebaliknya, Iran menuduh Arab Saudi mendukung dan menyuplai dana kepada kelompok oposisi Sunni di Iran, khususnya di kota Ahvaz, Provinsi Khuzestan.
Keamanan Teluk Persia
Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran itu tentu akan mengubah secara signifikan peta geopolitik dan keamanan di Timur Tengah saat ini dan saat mendatang.
Wujud dari perubahan tersebut, antara lain, adalah akan semakin dekatnya pewujudan aspirasi Iran tentang konsep keamanan di kawasan Teluk Persia yang harus dikontrol oleh negara-negara kawasan Teluk Persia sendiri. Konsep keamanan Iran ini bertujuan mengurangi peran dan kehadiran militer asing, khususnya militer AS, di kawasan Teluk Persia.
Iran adalah negara yang paling gusar dengan kehadiran militer Barat, khususnya AS, di Teluk Persia.
Namun, masih ditunggu persetujuan Arab Saudi atas konsep keamanan Iran tersebut. Jika Arab Saudi setuju, negara-negara Arab Teluk lain yang lebih kecil pasti ikut setuju. Apabila kelak Arab Saudi setuju atas konsep keamanan Iran tersebut, inilah yang sesungguhnya menjadi perubahan peta Timur Tengah pascarekonsiliasi Arab Saudi-Iran.
Jika konsep keamanan Iran itu bisa terwujud, ketegangan di Timur Tengah secara umum dan di kawasan Teluk Persia akan menurun. Seperti dimaklumi, hubungan tegang Arab Saudi-Iran selama ini merupakan andil terbesar dalam suhu ketegangan di Timur Tengah beberapa dekade terakhir.
Peran AS pada gilirannya tidak diperlukan lagi di kawasan Teluk Persia. Kehadiran berbagai pangkalan militer AS di kawasan itu selama tiga dekade terakhir, persisnya sejak invasi Irak ke Kuwait tahun 1990, adalah untuk menangkal bahaya ancaman rezim Saddam Hussein di Irak dan ancaman rezim Mullah di Iran.
Rezim Saddam Hussein sudah tumbang tahun 2003. Namun, negara-negara Arab Teluk masih ketakutan terhadap ancaman Iran yang jadi dasar alasan terus bertahannya berbagai pangkalan AS di negara-negara Arab Teluk sampai saat ini. Pascarekonsiliasi Arab Saudi-Iran seharusnya ketakutan itu akan sirna. Akan menjadi kejutan besar kelak jika rekonsiliasi Arab Saudi-Iran disusul oleh terwujudnya konsep keamanan Iran di kawasan Teluk Persia.
Tentu ini tidak mudah karena akan ditentang oleh AS dan Israel. AS dan Israel akan berusaha dengan segala cara agar konsep keamanan Iran tidak terwujud di Teluk Persia.
Ini juga yang membuat posisi Arab Saudi akan menjadi sulit. Bagaimana pun, Arab Saudi harus menjaga hubungan baik dengan AS. Ini tantangan tersendiri bagi Riyadh. Arab Saudi harus bermain cantik di banyak kaki: AS, China, dan Iran.
Akhiri konflik
Selain itu, rekonsiliasi Arab Saudi-Iran juga diharapkan bisa berandil mengakhiri perang saudara di Yaman serta menurunkan ketegangan politik di Lebanon dan Irak. Arab Saudi dan Iran terlibat perang langsung di Yaman sejak 2015. Maka, sangat diharapkan kelompok Houthi loyalis Iran, yang menguasai ibu kota Sana’a, bersedia melakukan rekonsiliasi dengan kelompok-kelompok lain di Yaman untuk mengakhiri perang saudara di negeri itu.
Bahkan, ada kemungkinan salah satu tujuan Arab Saudi bersedia melakukan rekonsiliasi dengan Iran adalah untuk mengakhiri perang di Yaman yang melelahkan dan menguras biaya besar bagi Arab Saudi.
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) tampaknya ingin semua energi Arab Saudi kini terfokus mengimplementasikan Visi Arab Saudi 2030 yang butuh dana sangat besar. Kini, sangat ditunggu, Arab Saudi-Iran bekerja sama untuk mengakhiri perang di Yaman. Mengakhiri perang di Yaman pasti jauh lebih mudah apabila ada kerja sama dua negara itu.
Rekonsiliasi Arab Saudi-Iran diharapkan juga membantu mencairkan ketegangan politik di Lebanon. Arab Saudi selama ini dikenal pendukung kubu Sunni, sedangkan Iran pendukung kubu Syiah di Lebanon. Kubu Kristen di Lebanon juga terpecah antara loyalis Iran dan loyalis Arab Saudi. Kekosongan jabatan presiden sejak berakhirnya masa jabatan Presiden Michel Aoun pada 30 Oktober 2022 pun bisa segera terisi dan parlemen Lebanon bisa segera memilih presiden baru pascarekonsiliasi Arab Saudi-Iran.
Di Irak pun, hubungan kekuatan Syiah yang mayoritas dan kekuatan Sunni yang minoritas bisa lebih baik dan bahkan terbangun kerja sama mereka pascarekonsiliasi Arab Saudi-Iran. Mayoritas kekuatan politik Syiah di Irak adalah loyalis Iran. Adapun Sunni adalah loyalis Arab Saudi dan dunia Arab.
Sebaliknya, rekonsiliasi Iran-Arab Saudi secara geostrategis akan sangat merugikan Israel. Konsep geopolitik dan keamanan Israel dengan bentuk aliansi Israel-Arab untuk melawan dan mengucilkan Iran akan gagal total pascarekonsiliasi Arab Saudi-Iran. Bahkan, nilai strategis Abraham Accord tahun 2020 dengan mediasi AS menyusut tajam pascarekonsiliasi Arab Saudi-Iran.