Tiba-tiba Drupadi menemukan dirinya berada di tengah-tengah teks Sudamala. Oleh karena itu, ia menyebut dirinya sebagai ”Durpadi”, Durga yang menjelma ke dalam tubuh Drupadi.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·7 menit baca
Mari sejenak kita bayangkan seandainya Dewi Drupadi berani melawan takdirnya sebagai perempuan. Walaupun Karna berhasil membidik sasaran secara tepat dengan anak panahnya, Drupadi tetap menolaknya. Ia tidak bersedia memiliki suami anak seorang kusir kereta. Drupadi sesungguhnya juga menolak ketika seorang brahmana miskin turut serta dalam sayembara. Para ksatria yang hadir juga beramai-ramai protes, sehingga terjadi chaos di antara mereka. Namun, akhirnya seperti pada galibnya, rajalah yang berkuasa. Drupada mengizinkan brahmana miskin itu menjadi peserta. Celakanya justru si brahmana miskin itulah yang berhasil memenangi Drupadi, dewi yang lahir dari kuntum bunga teratai itu.
Begawan Byasa yang disebut-sebut sebagai penulis epos Mahabharata tentu jauh lebih berkuasa daripada seorang raja. Dengan kekuasaannya yang ”absolut”, sedemikian rupa ia mengelabui kita, para pembacanya selama berabad-abad. Bahwa ternyata brahmana miskin itu tak lain adalah seorang ksatria bernama Arjuna, yang sedang menyaru bersama keempat saudaranya. Merekalah para Pandawa, yang harus menyamar setelah menjalani masa pembuangan di tengah hutan selama 14 tahun.
Entahlah, apakah Begawan Byasa sedang merefleksi sebuah tradisi di India bagian utara tentang poliandri yang telah berlangsung ratusan abad atau kitab inilah yang jadi referensi bagi tradisi yang berlangsung sampai kini. Mahabharata ditulis 400 SM, di mana dalam salah satu parwanya (bagian) terdapat kisah Drupadi menjalani laku poliandri. Sampai kini terdapat istilah Pachi Pandawa di India, di mana mereka yang merasa keturunan Pandawa menjalani poliandri, sesuatu yang ”tidak biasa” dalam kehidupan manusia modern.
Sewaktu di zaman Mahabharata, Byasa juga memperlihatkan prilaku ini tidaklah lumrah dilakukan oleh para ksatria. Oleh sebab itu, Pandawa dicibir habis-habisan oleh para Kurawa. Bahwa prilaku poliandri tergolong penistaan terhadap derajat ksatria, lebih-lebih derajat manusia. Sayangnya, Byasa tak berlaku berimbang. Ia seolah melegitimasi para ksatria melakukan poligami setiap saat. Hitung saja berapa orang istri dari Arjuna, begitu juga dengan Bima. Ya, kan? Sampai kini, kata Arjuna itu secara linguistik mengandung kegantengan plus play boy, serta beristri lebih dari satu.
Sebagai bukti bahwa prilaku poliandri masih dianut sampai sekarang di India dilaporkan oleh situs Eva.vn. Situs itu melansir berita tentang kehidupan seorang perempuan bernama Rajo Verma (28) yang tinggal di Kota Dehradun, Negara Bagian Uttarakhand, India. Tahun 2009, ia menikah dengan Guddu, seorang lelaki di desanya. Tradisi setempat mengharuskan, jika seorang perempuan menikah dengan seorang lelaki, ia juga harus menikahi saudara. Demikianlah, Verma kemudian menikahi empat saudara Guddu, yakni Baiju (32), Sant Ram (28), Gopal (26), dan Dinesh (19). Hal yang sama terjadi pada ibunda dari Verma, yang menikah dengan tiga orang lelaki bersaudara.
Apakah bisikan Kunti yang pelan kepada Arjuna tentang ”hadiah” yang dibawa pulang oleh para Pandawa harus dibagi sama rata dan sama rasa, ”terdengar” oleh para penduduk di Kota Dehradun, itulah yang jadi pertanyaan.
”Ibunda, kami pulang membawa hadiah kebahagiaan,” kata Arjuna.
Kunti yang sedang khusyuk berdoa dan tanpa menoleh berkata, ”Bukankah sudah sering Ibu katakan, hadiah selalu harus dibagi sesama saudara,” kata Kunti. Ia berkata tanpa menoleh. Di belakang Arjuna seorang dewi sedang duduk terheran-heran. Wajahnya yang ceria mendadak jadi muram. Bagaimana mungkin ia harus dibagi-bagi seperti sepotong roti. Tetapi perkataan Kunti adalah sabda, ia menjadi ”takdir” hidup yang harus dijalani.
Sejak itulah, Drupadi harus melakoni takdir hidup sebagai seorang perempuan yang bersuamikan lima ksatria utama dalam kisah Mahabharata. Dan itulah simpul penderitaan yang seolah tak pernah berakhir baginya. Begawan Byasa sebagai representasi ”kekuasaan” lelaki, bahkan kemudian menjebloskan Drupadi ke dalam kubangan kesengsaraan yang lebih dalam.
Setelah seluruh harta, kerajaan, dan para saudara habis dijadikan taruhan, Yudistira juga mempertaruhkan Drupadi di meja judi. Ketika ia lagi-lagi dikalahkan Duryadana, sulung para Kurawa, Drupadi ditelanjangi di depan para pembesar Kerajaan Astinapura. Penghinaan itu menjadi titik paling rendah dalam kehidupan seorang perempuan. Ia tidak saja dipermalukan, tetapi dihina dan bahkan mengalami kekerasan secara seksual.
Sebagai pengarang, Begawan Byasa memang menyelamatkan Drupadi dengan mengutus Kresna, yang secara gaib membuat kain yang membebat tubuh Drupadi tak pernah habis ketika ditarik oleh Dursasana. Apakah itu sebuah ”aksi” penyelamatan atau justru penjerumusan seorang perempuan ke dalam penderitaan yang lebih dalam?
Coba kita simak lirik lagu ”Sabda Alam” dari Ismail Marzuki berikut ini:
Diciptakan alam pria dan wanita dua makhluk dalam asuhan dewata Ditakdirkan bahwa pria berkuasa adapun wanita lemah lembut manja
Wanita dijajah pria sejak dulu dijadikan perhiasan sangkar madu namun ada kala pria tak berdaya tekuk lutut di sudut kerling wanita
Lirik ini sepintas terlihat sangat memberi tempat kepada perempuan, bahwa lelaki bisa bertekuk-lutut di sudut kerling wanita. Ada yang bilang kerling itu sihir paling ampuh dari seorang perempuan. Tetapi jangan lupa ada kalimat lainnya: wanita dijajah pria sejak dulu, bahkan dijadikan perhiasan sangkar madu! Jadi, seorang Ismail Marzuki yang memuja perempuan lewat lagu lainnya: ”Wanita”, tetapi menyimpan ”kuasanya” sebagai lelaki.
Seindah mawar
semungil melati
dikau cemerlang
wanita
halus wanita
bak sutra dewangga
senyummu meruntuhkan mahkota…
Saya percaya Ismail memang mencintai istrinya, Eulis Zuraidah. Banyak lagunya yang digubah khusus buat Eulis. Ia bahkan tak melewatkan momen sedikit pun bersama istri tercintanya itu. Ismail seperti ”memilih” untuk mati di pangkuan istrinya pada 25 Mei 1958.
Kecintaan dan pemujaan semacam itu ternyata tak jua meletakkan perempuan dalam posisi yang aman. Saya menulis naskah Drupadi dan mencoba memberinya intensi untuk menggugat, bahkan melawan segala hal ikhwal yang memerosokkannya ke dalam jurang penderitaan sampai di masa akhir hidupnya. Coba bayangkan lagi, saat-saat dia membutuhkan dukungan lelaki, terutama para suaminya, sewaktu menghadapi ajal, tak satu pun dari mereka mau menolongnya.
Ketika Drupadi tersungkur di kaki Himalaya, Yudistira malah berkata:
”Kenyataan yang dia hadapi kini tak lebih dari buah karmanya. Itu karena ia tidak adil dalam mencitai kita. Ia lebih mencintai Arjuna dibanding Pandawa yang lain.”
Setelah kata-kata itu diucapkan, para Pandawa melanjutkan perjalanan menuju puncak Himalaya. Drupadi dibiarkan sekarat seorang diri menghadapi maut. Apakah karena dia perempuan, lalu para lelaki secara semena-mena memperlakukannya? Ada relasi kuasa yang sulit dihapuskan. Ia seperti cangkang yang mengeras selama berabad-abad, sejak masa klasik di zaman Begawan Byasa sampai di kehidupan kontemporer saat ini.
Coba kau bongkar-bongkar ingatanmu sekarang. Belum benar-benar hilang dalam ingatan kita tentang tindakan biadab yang dilakukan Herry Wirawan terhadap 12 santriwati di Bandung, eh sudah muncul kasus lainnya. Dua perempuan disemen dalam rumah di Bekasi, lalu ada karyawan yang harus menjalani ”staycation”, jika ingin kontraknya diperpanjang di Cikarang.
Bagaimana kau bisa menjawab kasus demi kasus yang menimpa para perempuan ini? Karena bukan ahli dan tidak mendalami ilmu tentang perempuan secara akademis, aku berusaha mencarinya dalam teks. Kau ingat kisah Sudamala, bukan?
Selain menceritakan ritual ruwatan, menyucikan diri, teks ini juga menunjukkan perlawanan seorang perempuan, dalam hal ini Durga, terhadap kekuasaan kaum lelaki. Di Setra Gandamayu, Durga memperlihatkan perlawanannya kepada Siwa, bahwa kutukan yang diterimanya sungguh-sungguh tidak adil. Ketika berwujud sebagai
Dewi Uma, ia diuji kesetiaannya untuk mencari obat berupa air susu sapi putih. Di tengah jalan, Uma bertemu seorang gembala tua dan memohon diberikan susu untuk mengobati suaminya, Siwa.
”Kau bisa memperoleh susu sapiku hanya dengan catatan apabila kau bersedia tidur denganku,” kata si Gembala.
Setelah berpikir panjang dan menginginkan suaminya segera sembuh, Uma akhirnya menerima ajakan itu. Sekali lagi, itu pun ia lakukan untuk kesembuhan suaminya.
”Aku bersedia,” katanya sambil mengangguk pelan.
Ketika membawa susu sapi putih itu ke Kahyangan, Siwa tahu bahwa Uma telah melanggar kesetiaannya sebagai seorang istri. Karena si Gembala tak lain adalah Siwa yang sedang menyamar di dunia nyata. Atas kesalahan itu, Uma dikutuk menjadi Durga dan menghuni kuburan terjorok di dunia bernama Setra Gandamayu.
Apakah kesetiaan seorang perempuan harus senantiasa diuji?
Pertanyaan itulah yang membuat Durga marah. Ia mengamuk dan ingin membunuh seluruh Pandawa, sebagai representasi kebenaran. Tiba-tiba Drupadi menemukan dirinya berada di tengah-tengah teks Sudamala. Oleh karena itu, ia menyebut dirinya sebagai ”Durpadi”, Durga yang menjelma ke dalam tubuh Drupadi. Ia adalah spirit menggugat, kekuatan untuk melawan dominasi lawan jenisnya. Cangkang kelelakian itu harus dihancurkan karena dibentuk oleh ikatan-ikatan sosial dan kultural. Ia bukanlah semacam takdir seperti dalam lagu ”Sabda Alam” dari Ismail Marzuki.
Bahwa perbedaan-perbedaan ”kodrat” yang melekat pada lelaki dan perempuan berkaitan dengan peran masing-masing. Bukan berarti lantaran itu kemudian mereka harus berpisah karena yang satu lebih unggul dan berkuasa dibandingkan yang lainnya. Tradisi, adat, kebiasaan, dan norma sosiallah yang membuat segalanya jadi berbeda. Padahal pada hakikatnya, lelaki dan perempuan hanyalah peran-peran adikodrati yang diturunkan Sang Maha Pencipta kepada makhluk ciptaannya.
Pertanyaan seperti apa karena aku perempuan, akan aku jawab lewat pentas Teater Monolog ”Drupadi”, Sabtu, 3 Juni 2023, di Gedung Kesenian Jakarta. Sampai berjumpa.