Drupadi dan Para Perempuan yang Luka
Maka, sifat sastra yang penyabar itulah yang kupilih untuk secara perlahan menegakkan benang basah di lahan patriarkisme yang mahaluas ini.
Aku menulis lakon Drupadi dalam versi berbeda. Seperti banyak lakon lain yang kutulis, sosok perempuan senantiasa menjadi subject matter, yang tak habis dieksplorasi untuk melahirkan karya-karya yang menggugat. Ya, menggugat eksistensi perempuan yang senantiasa dianggap menjadi bayang-bayang (semu) dari para lelaki di depannya. Sebagai bayang-bayang, ia boleh dianggap tidak hadir, atau sekalipun hadir, bisa saja diinjak-injak ketika kita berjalan.
Sejak lakon Gandamayu (2012), 3 Perempuan Bukan Bunga Bukan Lelaki (2015), Perempuan Dangdut (2016), Dokter Jawa (2019), Sariyem (2019), dan sekarang Drupadi (2022), saya memperlakukan perempuan sebagai ibu. Kisah-kisah ini menjadi respons terhadap realitas-faktual yang kadang jauh lebih absurd dari kisahan dalam fiksi. Contoh terbaru adalah tragedi kematian Mahsa Amini (22) di Iran.
Sungguh tak bisa dinalar, bagaimana mungkin manusia tega membunuh atas dasar alasan cara berpakaian. Pertama, harga sebuah nyawa tentu tak sebanding dengan aturan yang diciptakan oleh sebuah rezim yang sedang berkuasa. Bukan hak manusia mencabut nyawa seseorang, karena ia tak pernah menciptakannya. Kedua, ideologi kanan semakin membuktikan dirinya sebagai ideologi yang mempreteli hak-hak dasar setiap insan. Kejadian lebih ekstrem sudah kita saksikan ketika seorang ustaz yang seharusnya menanamkan moralitas kemanusiaan, justru berbuat sebaliknya. Kau pasti masih ingat, kan, kasus Herry Wirawan (36), seorang ustaz di Cibiru, Bandung, Jawa Barat, yang memerkosa 12 santri di sebuah pondok pesantren.
Jejak noda yang ditinggalkan Herry tak hanya mengoyak tubuh perempuan, tetapi juga mencabik-cabik semesta keperempuanan. Penghancuran ini menjadi nyata kepada delapan bayi yang lahir atas perbuatan itu. Pertanyaannya, bagaimana kelak menjelaskan kepada seorang anak manusia bahwa dia lahir dari rahim yang koyak oleh perbuatan bejat itu?
Deretan peristiwa serupa yang menimpa para perempuan, masih bisa diteruskan dalam daftar yang panjang. Kau pasti dengan mudah akan mengingatnya, bukan?
Hal yang paling nyata, kedua peristiwa tadi tak bisa dipahami dengan akal sehat biasa. Sungguh absurd karena keduanya mengatasnamakan ”moralitas” agama. Hal yang terjadi justru sebaliknya, ayat-ayat dalam kitab agama dijadikan alat penekan dan mengumbar nafsu berkuasa. Dalam relasi kuasa semacam ini, perempuan berhadapan dengan rezim (dan patriarkisme), yang sulit ditembus. Oleh karena itu, Mahsa tak diberi kesempatan untuk membela dirinya karena ia telah dinilai melanggar aturan yang ditegakkan oleh polisi moral di Iran.
Ada stigma terhadap perempuan sebagai makhluk yang harus diatur, karena dia lemah, dan yang mengatur itu adalah lelaki. Sejak masa klasik, stigma semacam itu tumbuh dan kemudian dipraktikkan dari zaman ke zaman. Gugatan terhadap stigma berbau patriarkisme inilah yang menjadi spirit dasarku menulis Drupadi.
Drupadi lahir dari kekecewaan Drupada, yang hanya memiliki seorang putri bersifat kelelakian bernama Srikandi. Putri sulungnya ini dianggap tidak akan mampu meneruskan kerajaan Panchala. Walau pada akhirnya kau tahu bahwa Srikandi tak lain adalah reinkarnasi dari Dewi Amba, yang kemudian membalas sakit hatinya kepada Drona.
Sebagai putri yang lahir dari kekecewaan, Drupadi tak pernah bisa menentukan nasibnya sendiri. Saat remaja, Drupada membuat sayembara untuk mencarikan Drupadi suami yang pantas untuk seorang putri. Dan itulah kekecewaan pertama Drupadi. Seorang brahmana miskin tiba-tiba memenangi sayembara. Bagaimana mungkin ia bisa hidup layak dengan seorang brahmana miskin? Ia mendapatkan gambaran peristiwa serupa sebelumnya saat Drona hanya dikenal sebagai brahmana paling miskin, walau ia bersahabat dengan seorang pangeran yang tak lain adalah Drupada.
Baca juga: Penistaan Drupadi Ikut Picu Bharatayuda
Kekecewaan akibat pelecehan paling hakiki terhadap Drupadi terjadi dalam tiga peristiwa memalukan dalam sejarah umat manusia. Pertama, setelah dimenangi Arjuna dalam sayembara di Panchala, Drupadi justru diperistri oleh kelima Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa). Para Pandawa membuat perjanjian, Drupadi berkeliling menemani satu suaminya masing-masing selama dua tahun! Kecuali, Yudistira, keempat Pandawa lainnya telah pula memiliki istri. Ada noda penduaan di situ!
Para Pandawa membuat perjanjian, Drupadi berkeliling menemani satu suaminya masing-masing selama dua tahun!
Kedua, Drupadi dijadikan taruhan di meja judi setelah Pandawa kehilangan Indraprasta. Dan kemudian Pandawa harus kehilangan harta paling berharganya, yakni Drupadi yang menjadi hak para Kurawa. Aku tidak bisa membayangkan, terbentuk dari apa hati seorang suami yang tega, setega-teganya, mempertaruhkan istrinya di meja judi. Ketiga, bahkan, ketika istrinya direbut para musuhnya di meja judi, Drupadi mengalami nasib tragis, ia ditelanjangi di depan para ksatria, termasuk kelima suaminya. Pertanyaan paling sederhananya, adakah seorang suami, apalagi jumlahnya lima orang, yang tidak melakukan apa-apa ketika melihat istrinya ditelanjangi di depan hidungnya sendiri?
Meski dalam cerita kain yang dikenakan Drupadi tak pernah habis ketika ditarik oleh Dursasana, perbuatan penelanjangan di hadapan para pembesar kerajaan tetap menjadi perbuatan biadab. Meski tatapan mata dewi dari Panchala itu mengisyaratkan permohonan perlindungan, kelima suaminya tidak berbuat apa-apa. Setelah dijambak rambutnya dan diseret, Dursasana secara bengis terus menarik kain Drupadi. Konon, karena anugerah dari Sri Kresna, kain itu terulur terus-menerus sehingga tubuh Drupadi tak pernah berhasil ditelanjangi bulat-bulat.
Kisah Drupadi yang kutulis bermula dari perasaan kecewa, tersia-sia, dan terhina dari seorang perempuan. Oleh karena itu, ia mempertanyakan eksistensi dirinya di hadapan semesta yang agung: apa karena aku perempuan sehingga semua lelaki merasa berhak merajamku dengan kekejian, lapis demi lapis.
Pentas lakon Drupadi akan dilakukan pertama kali di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Sabtu (15/10/2022) pukul 17.00 Wita, di tengah-tengah perhelatan Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2022 yang diprakarsai oleh Putri Suastini Koster. Festival ini menjadi ruang pernyataan kepada dunia bahwa sebagai entitas kultural, Bali menolak dibekukan. Bali juga bertumbuh dan menyerap kultur dunia sebagai bagian dari dirinya kini (jani).
Mungkin ini memang versi Drupadi yang tidak merunut kisah-kisah klasik yang pernah ditulis dahulu. Aku tidak mengambil teks klasik itu dan kemudian memindahkannya menjadi kisah baru. Drupadi kutempatkan sebagai semesta perempuan yang terkoyak-koyak oleh kuasa patriarkisme. Cangkang kekuasaan itu tak mungkin dibelah dalam sekali tebas, tetapi ia bisa ditaklukkan dengan tetesan air, titik demi titik, dengan penuh kesabaran.
Drupadi kutempatkan sebagai semesta perempuan yang terkoyak-koyak oleh kuasa patriarkisme.
Begitulah cara kerja air yang lembut, tetes demi tetes, untuk melubangi sebuah batu. Sastra adalah air itu. Ia bekerja di lubuk terdalam dari spirit yang membangun ekosistem hidup manusia: sekala dan niskala. Begitu ajaran yang kuterima dari para leluhur Bali.
Sekala dan niskala adalah ajaran yang mengakui bahwa semesta hidup seluruh makhluk hidup di dunia dibangun oleh realitas wadag dan realitas spirit. Hal yang menyangkut keduniawian, seperti tubuh makhluk, harta benda, jabatan dalam pekerjaan, profesi sehari-hari, kecantikan, bau busuk dan harum, dan rasa cinta, adalah bentuk-bentuk keterikatan. Seperti halnya setiap makhluk terikat oleh hal-hal di sekitar dirinya: binatang pada rumput dan manusia kepada apa saja.
Sementara realitas spirit adalah tubuh halus setiap makhluk. Bahkan semua tumbuhan dan binatang memiliki tubuh halus, yang populer disebut sebagai roh. Dalam ajaranku disebut sebagai Atman. Semua makhluk hidup memiliki Atman, yang tidak terikat. Oleh karena itu, ia terbebas dari segala ikatan walau sangat bergantung kepada Karma. Dalam hubungan kaulitas, Karma baik selalu melahirkan kebahagiaan. Begitu sebaliknya, Karma buruk akan memperpanjang penderitaan.
Maka, sifat sastra yang penyabar itulah yang kupilih untuk secara perlahan menegakkan benang basah di lahan patriarkisme yang mahaluas ini. Drupadi tidak hanya ditempatkan sebagai korban pelecehan secara fisik, tetapi semesta keperempuanan yang tercabik-cabik. Maka itu, bukan kisah yang kusampaikan, tetapi gugatan-gugatan yang kuharap melahirkan kesadaran bersama, bahwa perempuan tidak bisa semata-mata dilihat sebagai obyek, tetapi gagasan dan tindakan yang melahirkan peradaban.
Inilah kodrat sesungguhnya, jika kau dan aku menginginkan persambungan antara peradaban lalu dengan peradaban berikutnya. Generasi baru akan bertumbuh baik karena kita memperlakukan perempuan sebagai ibu. Ya, ibu segala peradaban. Dan Drupadi adalah gagasan besar yang kemudian melahirkan inspirasi pada banyak lelaki agar tak semena-mena menggunakan kekuasaannya.