Kota Istanbul dan Generasi Muda, ”Kingmaker” Turki
Sudah menjadi kredo politik di Turki bahwa siapa yang meraih suara terbesar di kota Istanbul akan berpeluang besar meraih kemenangan dalam pemilu Turki.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Setiap menjelang pemilu, sudah menjadi tradisi bahwa publik dan para politisi di Turki selalu memberi perhatian khusus kepada kota Istanbul, kota terbesar di Turki dengan penduduk sekitar 16 juta jiwa. Selain karena faktor demografi itu, kota Istanbul juga merupakan pusat ekonomi dan budaya di Turki.
Maka, sudah menjadi kredo politik di Turki: siapa yang meraih suara terbesar di kota Istanbul akan berpeluang besar meraih kemenangan dalam pemilu itu. Bagi para politisi juga ada faktor gengsi dan psikologis jika berhasil menang di Istanbul. Menang di Istanbul berarti mendapat dukungan kaum mapan secara ekonomi dan sosial-budaya.
Namun, pada pemilu parlemen dan pemilu presiden Turki, Minggu, 14 Mei 2023, selain kota Istanbul, generasi muda juga dianggap sebagai kingmaker. Ada 5,2 juta pemilih baru dari generasi muda atau sekitar 7,5 persen dari keseluruhan pemilih Turki yang mencapai sekitar 64 juta jiwa pada pemilu kali ini.
Karena itu, calon presiden yang mendapat dukungan terbesar dari kota Istanbul dan generasi muda akan mulus melenggang menuju kursi presiden Turki mendatang. Dalam pemilu parlemen dan presiden kali ini, pemilih akan memilih 600 anggota parlemen dan ada empat calon presiden.
Empat calon presiden tersebut adalah pertama, Recep Tayyip Erdogan, capres dari Koalisi Kerakyatan. Koalisi tersebut terdiri dari tiga partai politik, yaitu Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Partai Gerakan Nasionalis (MHP), dan Partai Persatuan Besar (BBP).
Capres kedua, Kemal Kilicdaroglu, calon dari Koalisi Keumatan. Koalisi Keumatan terdiri enam partai atau juga disebut ”enam meja”, yaitu Partai Rakyat Republik (CHP) pimpinan Kemal Kilicdaroglu yang beraliran sosial demokratik/tengah kiri, Partai IYI (Kebaikan) yang beraliran liberal konservatif pimpinan Meral Aksener, Partai Saadet (SP) yang beraliran Islamis kanan pimpinan Temel Karamollaoglu, Partai Demokrat (DP) yang beraliran tengah-kanan pimpinan Gultekin Uysal, Partai Demokrasi dan Progresif (DEVA) pimpinan Ali Babacan, serta Partai Masa Depan (GP) pimpinan Ahmet Davutoglu.
Ketiga, Muharrem Ince yang dari kubu independen; dan keempat, Sinan Ogan yang juga dari kubu independen. Dari empat calon presiden tersebut, ada dua calon terkuat, yaitu Erdogan dan Kilicdaroglu.
Menurut berbagai jajak pendapat di Turki, tidak ada calon presiden yang berhasil meraih suara 50 persen plus 1 atau menang sekali putaran. Maka, diprediksi akan ada putaran kedua pada 28 Mei nanti yang hampir dipastikan menjadi pertarungan antara Erdogan dan Kilicdaroglu.
Semua calon presiden tentu sudah membaca peta kantong-kantong suara yang menentukan hasil pemilu nanti. Menurut pusat kajian politik dan ekonomi Turki, sebagian besar generasi muda yang punya hak pilih berada di Turki Tenggara yang mayoritas berpenduduk suku Kurdi dan di kota Istanbul.
Mengingat pentingnya kota Istanbul, para calon presiden biasanya menggelar kampanye terakhir di kota Istanbul. Saya masih ingat ketika meliput pemilu parlemen dan presiden Turki pada tahun 2018, Presiden petahana Erdogan dan calon presiden dari kubu oposisi saat itu, Muharrem Ince, menggelar kampanye terakhir di kota Istanbul.
Kecemasannya pun muncul atas kemampuan petahana Erdogan, apakah mampu mempertahankan jabatannya atau menang dalam pemilu 14 Mei nanti. Munculnya kecemasan itu cukup beralasan, mengingat AKP pimpinan Erdogan mengalami kekalahan dalam pemilu perebutan wali kota Istanbul tahun 2019 dari dari CHP.
Saat itu calon wali kota Istanbul dari CHP, Ekrem Imamoglu, menang tipis atas kandidat dari AKP, Binili Yildirim.
Itu pula yang melatarbelakangi di balik munculnya tuduhan dari kubu oposisi bahwa Erdogan mengirim utusan khusus menemui pemimpin Kurdi, Abdullah Ocalan, di penjaranya untuk membujuk Ocalan agar menyerukan kepada pemilih Kurdi memilih dan mendukung Erdogan. Ketua partai IYI, Meral Aksener, dalam acara wawancara dengan salah satu televisi menuduh Erdogan telah berunding dengan Ocalan dalam upaya meraup dukungan suara dari suku Kurdi.
Jika tuduhan Aksener benar, wajar kalau Erdogan terpaksa berunding dengan Ocalan untuk mendapatkan dukungan suara generasi muda Kurdi yang berdomisili di Turki tenggara dan kota Istambul. Hal itu sesuai dengan hasil survei berbagai lembagai di Turki bahwa suara generasi muda akan menentukan siapa pemenang pemilu presiden 14 Mei nanti.
Jika tuduhan Aksener benar, Erdogan benar-benar menerapkan pemeo politik bahwa tidak ada lawan atau kawan abadi dalam politik, tetapi yang abadi dalam politik adalah kepentingan. Ini berlaku pada Erdogan dan Ocalan. Di Turki, Partai Pekerja Kurdistan (PKK) pimpinan Abdullah Ocalan ditetapkan sebagai organisasi teroris dan partai terlarang.
Ini jelas bahwa PKK dan Ocalan adalah lawan di mata Erdogan dan negara Turki. Namun, menjelang pemilu 14 Mei ini, PKK dan Ocalan bisa menjadi kawan bagi Erdogan demi mendapatkan suara Kurdi, khususnya generasi mudanya.
Sebaliknya dalam pemilu 14 Mei nanti, ada kawan Erdogan yang kini menjadi lawannya, yaitu Ali Babacan, yang memimpin DEVA, dan Ahmet Davutoglu yang memimpin GP. Babacan dan Davutoglu adalah mantan orang dekat Erdogan. Babacan pernah menjadi Menteri Keuangan dan Davutoglu pernah menjabat Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan AKP pimpinan Erdogan.
Karena itu, bagi Erdogan, pemilu 14 Mei nanti cukup berat karena pasti ada suara AKP dari loyalis Babacan dan Davutoglu yang menyeberang ke kubu oposisi dan memberi suara kepada calon presiden Kemal Kilicdaroglu. Lantaran menyadari cukup berat menghadapi pemilu 14 Mei nanti, Erdogan pun bersedia berunding dengan Ocalan demi mempertahankan kekuasaannya yang digenggamnya sejak tahun 2002 atau lebih dari 20 tahun.