Pendukung garis keras Presiden Reccep Tayyip Erdogan memeringatkan bahwa pemilu kali ini berpotensi menjadi ajang kudeta yang didukung negara-negara barat. Sementara, anak-anak muda berpotensi jadi kunci.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
Ankara, Selasa — Turki telah memulai proses pemungutan suara pemilihan umum, khusus bagi warganya yang tinggal di luar negeri. Pemilu yang bertepatan dengan 100 tahun usia Turki, dipandang banyak pihak sebagai sebuah refendum : perpanjangan masa jabatan Presiden Reccep Tayyip Erdogan atau sebaliknya, mengganti dengan pemimpin Turki yang baru.
Bagi para pendukung garis keras Erdogan, pemilu 2023 ini sangat dinanti-nanti negara-negara “musuh” yang ingin mengudeta demokrasi Turki, yang selama dua dekade terakhir dipimpin Erdogan.
Menteri Dalam Negeri Turki yang dikenal hawkish, Suleyman Soylu, mengeluarkan peringatan bahwa Washington memimpin upaya negara-negara Barat untuk melemahkan Turki melalui berbagai jajak pendapat. Pandangan Soylu merujuk pada saran Joe Biden di tahun 2019, sebelum memenangi pemilu AS, bahwa mereka harus mendorong oposisi Turki untuk menghadapi dan mengalahkan Erdogan. “14 Mei adalah upaya kudeta politik mereka,” kata Soylu.
sentimen yang sama, soal ketidaksukaan barat terhadap pemerintahan Erdogan disampaikan Erdogan sendiri. Dikutip dari laman kantor berita Turki Anadolu, Erdogan, dalam cuitannya di Twitter Jumat pekan lalu mengatakan, Turki tidak akan membiarkan politik domestiknya diarahkan oleh sebuah tulisan di media barat.
"Kami tidak akan membiarkan politik dalam negeri kami diarahkan dan keinginan nasional diombang-ambingkan oleh sampul majalah, yang merupakan alat operasional kekuatan global," cuit Erdogan.
Pernyataan Erdogan muncul setelah majalah Inggris The Economist menargetkan presiden Turki dengan sampul yang bertuliskan "Selamatkan demokrasi", "Erdogan harus pergi", "Pilih!"
Dia mengatakan, kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Turki sessuai dengan kepentingan dan cara yang dianggap Ankara adalah yang terbaik bagi semua pihak. Kebijakan luar negeri Turki di Libya, Suriah hingga membantu dunia untuk mendapatkan pasokan biji-bijian Ukraina, menurut Erdogan, seharusnya dipandang sebagai salah satu kontribusi negara itu dalam sistem internasional.
"Sebagai negara yang sejarahnya penuh dengan kemenangan gemilang, kita datang ke tempat yang layak kita dapatkan dalam sistem internasional,” ujarnya.
Survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga jajak pendapat, Metropoll, menunjukkan, dari total sekitar 65 juta warga yang memiliki hak untuk memilih, lebih dari 90 persen akan menggunakan haknya. Angka ini memperlihatkan potensi kenaikan tingkat partisipasi pemilih, dari pemilu-pemilu sebelumnya yang hanya berkisar antara 80-85 persen. Naiknya tingkat partisipasi warga tidak terlepas dari tambahan sekitar enam juga pemilih pemula, yang baru saja memiliki hak pilih pada pemilu kali ini.
Dalam kegiatan survei lainnya, hasil jajak pendapat Metropoll, dikutip dari laman CNN, memperlihatkan pada putaran pertama pemilihan yang akan berlangsung 14 Mei nanti, pemilih cenderung mendukung calon dari oposisi, Kemal Killicdaroglu (CHP) - kandidat yang diusul koalisi Enam Meja. Pada survei ini, dukungan terhadap Kilicdaroglu mencapai 42,6 persen.
Akan tetapi, hasil survei itu juga memperlihatkan bahwa Erdogan masih memiliki potensi untuk menyalip tokoh yang didukung oposisi enam partai itu. Dengan dukungan mencapai 41,1 persen, hanya terpaut sekitar 1 persen dengan pesaingnya, Erdogan dipandang bisa menyalip di tikungan, terutama jika pemilu dilaksanakan dalam dua putaran.
Pandangan Pemilih Pemula
Yunus Efe (22) tahun, yang kali ini terdaftar sebagai calon pemilih pemula, mengatakan, dia telah menjatuhkan pilihannya pada kandidat Kilicdaroglu. “Ini saatnya untuk berubah,” kata Efe.
Efe, yang masih balita ketika Erdogan mulai berkuasa pada 2003, mengatakan, dia meyakini bahwa kandidat pilihannya akan memperkuat supremasi ukum, hak asasi manusia dan kebebesan berekspresi. Dalam pandangan banyak pihak, semasa Erdogan berkuasa, tiga hal ini tidak dijamin oleh pemerintah Turki.
“Saya benar-benar prihatin dengan kebebasan berekspresi. Sebenarnya saya mengalami hal ini setiap hari tetapi kita tidak menyadarinya karena kita terbiasa hidup seperti ini,” kata Efe menggambarkan bagaimana dia berpikir dua kali sebelum menyukai atau membagikan postingan media sosial.
Efe mengatakan dia apatis tentang pemilihan dan politik "seperti banyak anak muda", tetapi sekarang bersemangat untuk memilih dan tertarik dengan janji Kilicdaroglu dan Partai Rakyat Republik (CHP), salah satu dari enam partai yang bersekutu melawan Erdogan.
“Saya pikir hak dapat dipulihkan dan keadilan dapat ditegakkan kembali,” ujar Efe.
Emre Ali Ferli (18) juga berpandangan yang sama dengan Efe. Meski sepanjang hayatnya dia hanya mengenal Erdogan sebagai sosok pemimpin Turki, dia berharap pemilu kali ini dihiasi dengan wajah yang baru.
"Ketika Presiden Erdogan pergi, anak muda akan dapat fokus pada ujian mereka dan berbicara dengan bebas,” katanya.
Di Kasimpasa, distrik kelas pekerja Istanbul tempat Erdogan bermain sepak bola di jalanan saat tumbuh dewasa, beberapa orang tidak takut berbicara menentang “putra daerahnya”.
"Erdogan harus pergi! Semua tetangga saya akan memilih dia, tapi bukan saya," kata Gokhan Celik (19).
Bilal Buyukler (24), warga lain, berusaha membela pemimpin Turki itu. Meski mengakui bahwa Erdogan bertanggung jawab atas kekacauan ekonomi Turki saat ini, termasuk inflasi yang tinggi, dia tidak melihat ada pilihan lain yang pas untuk mengembalikan masa keemasan Turki selain Erdogan.
Dukungan Erdogan telah merosot dalam beberapa tahun terakhir karena kebijakan ekonomi yang mengakibatkan kehancuran nilai mata uang dan krisis biaya hidup.
"Di masa lalu, Erdogan bisa membantu pendukung. Tapi krisis ekonomi merusak. Pendukungnya masih menyukainya, dan bahkan mencintainya, tapi mereka tidak senang harus membayar harga untuk itu," kata Seda Demiralp, ketua dari Departemen Hubungan Internasional di Universitas Isik di Istanbul.
Erdogan dinilai masih memiliki basis dukungan yang kuat di kalangan kaum konservatif dan nasionalis di pedesaan serta kelas pekerja.
Mantan Gubernur Bank Sentral Turki yang kini menjadi analis senior di Universitas Wharton Bulent Gultekin mengatakan, kebijakan ekonomi Turki saat awal Erdogan berkuasa membantu menciptakan kemakmuran karena dia terlihiat menciptakan perekomian yang inklusif. Tapi, dalam perjalanannya, hal itu menciptakan ketergantungan yang besar pada pemerintah dan tidak berkelanjutan.
"Jika Erdogan memenangkan pemilihan dan melanjutkan kebijakan ekonominya, pada satu titik tertentu hal itu akan membawa kemerosotan yang lebih dalam. Ini gambaran yang cukup gelap," katanya. (AP/AFP/Reuters)