Erdogan Isyaratkan Susun Konstitusi Baru untuk Perpanjang Kekuasaan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengisyaratkan penyusunan konsitusi negara yang baru. Tindakan ini diduga untuk melanggengkan kekuasaannya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
ANKARA, SELASA — Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengisyarakatkan perlunya mengadopsi aturan konsitusional yang baru. Partai Keadilan dan Pembangunan atau AKP yang berkuasa dan sekutunya, Aliansi Rakyat, bisa mulai bekerja untuk menyusun konstitusi baru.
Pekerjaan itu dimulai kurang dari empat tahun setelah perombakan konstitusi yang telah memberikan tambahan kekuasaan pada Erdogan sebagai presiden.
Isyarat Erdogan itu oleh sebagian pihak dibaca sebagai cara presiden berusia 66 tahun itu untuk memperpanjang masa pemerintahannya.
Erdogan telah memerintah Turki, baik sebagi perdana menteri ataupun presiden, sejak 2002. Dia, yang didukung oleh AKP dan Aliansi Rakyat, mendorong perubahan konstitusi pada 2017 untuk mengubah sistem pemerintahan, dari parlementer ke sistem presidensial.
Konsekuensinya, jabatan perdana menteri ditiadakan dan hal itu memperkuat kendali Erdogan atas negara berpenduduk 83 juta orang itu.
Di bawah konstitusi baru, Erdogan memenangi pemilihan presiden tahun 2018, dari kemungkinan dia bisa berkuasa selama dua periode sebagai presiden atau hingga tahun 2028, dengan catatan dia terpilih kembali pada pemilu parlemen dan presiden tahun 2023.
Isyarat untuk mengubah konstitusi muncul setelah Erdogan memimpin rapat kabinet, Senin (1/2/2021), selama empat jam. Erdogan mengajukan gagasan untuk menulis konstitusi baru menggantikan konstitusi lama yang telah digunakan Turki sejak 1982. Kostitusi lama dirancang setelah kudeta militer.
"Jelas bahwa sumber masalah Turki adalah bahwa konstitusi selalu ditulis oleh para pemberontak," kata Erdogan dalam pidato yang disiarkan televisi secara nasional.
”Mungkin sudah waktunya bagi Turki untuk membuka kembali perdebatan tentang konstitusi baru. Jika mencapai pemahaman bersama dengan mitra (koalisi yang berkuasa), kami dapat mengambil tindakan untuk konstitusi baru di masa depan,” katanya.
Erdogan menambahkan, penyusunan konstitusi baru harus dilakukan secara transparan dan teks yang disepakati harus diserahkan kepada keinginan rakyat.
”Tidak peduli seberapa banyak kita berubah, tidak mungkin kita menghapus tanda-tanda kudeta dan pengawasan yang telah dimasukkan ke dalam semangat konstitusi,” ujarnya. Erdogan juga menyatakan kekesalannya setelah upayanya itu gagal karena oposisi utama tidak bisa berkompromi.
Pernyataan Erdogan muncul beberapa minggu setelah pemimpin MHP Devlet Bahceli menyarankan perubahan konstitusional untuk melarang Partai Demokrat Rakyat Rakyat (HDP) pro-Kurdi karena separatisme, sebuah langkah yang dikutuk HDP sebagai upaya untuk membungkam enam juta suara.
Bahceli telah lama menjadi pengkritik sengit HDP dan, seperti Erdogan, menuduhnya terkait dengan militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang telah memerangi pemberontakan berusia 36 tahun di Turki tenggara. HDP membantahnya.
”Mengerjakan konstitusi bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan di bawah bayang-bayang kelompok yang terkait dengan organisasi teroris (PKK) dengan orang-orang yang ikatan mental dan emosionalnya putus,” kata Erdogan, Senin, tanpa menyebutkan secara spesifik.
Erdogan tidak pernah kalah dalam pemilihan. Akan tetapi, popularitasnya telah memudar sejak dia melakukan tindakan keras setelah kudeta yang gagal pada 2016.
Pemenjaraannya terhadap lawan politik dan serangannya terhadap kebebasan sipil mengiringi masalah perekonomian Turki selama beberapa tahun terakhir, termasuk nilai tukar lira yang menukik tajam, termasuk penghapusan tabungan rakyat.
Tindakan-tindakan itu telah merusak dukungan terhadapnya dari pemilih kelas pekerja yang merupakan bagian dari basis politik Erdogan. Sejumlah analis menyatakan masalah ekonomi ini terjadi karena Erdogan dan kabinetnya salah dalam mengelola keuangan negara.
Oposisi politik Turki telah mendorong Erdogan untuk mempercepat pemilihan umum dengan alasan bahwa dia telah kehilangan kepercayaan publik. Kelompok hak asasi manusia dan sekutu Barat Turki telah mengkritik apa yang mereka lihat sebagai peningkatan otoritarianisme dan ancaman terhadap supremasi hukum di bawah Erdogan.
Otoritas Turki telah menolak tuduhan tersebut dengan mengatakan tindakan itu diperlukan untuk keamanan nasional.
Soner Cagaptay, Direktur Program Turki di Institut Washington, mengatakan, pernyataan Erdogan adalah pengakuan pertamanya bahwa ia mungkin tidak akan memenangi pemilihan berikutnya yang diadakan di bawah sistem presidensial yang baru.
Menurunnya peluang itu, menurut Cagaptay, membuat Erdogan memilih mengambil langkah pemisahan para penentangnya melalui perang budaya, memilih berada di kiri atau kanan.
”Turki adalah negara yang didominasi sayap kanan (di mana Erdogan akan) mencoba membangun mayoritas baru,” cuit Cagaptay. (AFP/REUTERS)