Jika enam partai oposisi di Turki berhasil sepakat mengajukan satu calon presiden dan jadi mengumumkannya pada 13 Februari nanti, hal itu merupakan terobosan baru dalam sejarah politik Turki.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Sebelum gempa dahsyat mengguncang pada Senin (6/2/2023), pentas politik Turki kembali diramaikan oleh isu pemilu presiden dan pemilu parlemen yang akan digelar dalam satu hari secara bersamaan pada 14 Mei 2023. Gempa bermagnitudo 7,8 itu menelan korban jiwa lebih dari 18.000 orang di Turki hingga Jumat (10/2/2023) serta mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan permukiman warga dalam skala masif.
Perhatian di Turki untuk sementara ini terfokus pada upaya penyelamatan dan pemulihan dari gempa. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dilaporkan meninjau lokasi-lokasi gempa di 10 provinsi yang terdampak.
Mengingat peristiwa gempa ini terjadi sekitar tiga bulan menjelang pemilu, menarik untuk dicermati, apakah upaya penanganan bencana bakal menjadi sorotan, terutama oleh partai-partai oposisi, dan menjadi isu utama dalam kampanye.
Seperti dilaporkan, partai-partai oposisi cepat menuding Erdogan, yang menjabat sebagai presiden sejak 2014 dan sebelumnya sebagai perdana menteri sejak 2003, tidak pernah memperhatikan risiko kebencanaan di Turki sehingga tidak pernah ada mitigasi.
Sebelum gempa melanda Turki, isu pemilu sering menjadi isu berita utama media-media di negara itu dan menjadi isu perbincangan publik Turki di mana pun mereka berada. Hal ini lantaran pergelaran pemilu sudah sangat dekat, yakni sekitar tiga bulan lagi.
Atmosfer politik Turki pun semakin seru dan tegang. Kubu oposisi, yang terdiri dari enam partai politik atau yang dikenal juga dengan sebutan ”Enam Meja”, akan mengumumkan calon tunggal presiden mereka pada hari Senin, 13 Februari, nanti.
Enam partai politik tersebut juga kerap disebut koalisi keumatan. Mereka terdiri dari Partai Rakyat Republik (CHP) pimpinan Kemal Kilicdaroglu yang beraliran sosial demokrat atau tengah-kiri, Partai Kebaikan (IYI) pimpinan Meral Aksener yang beraliran liberal konservatif, Partai Saadet (SP) pimpinan Temel Karamollaoglu yang beraliran Islamis kanan, Partai Demokrat (DP) pimpinan Gultekin Uysal yang beraliran tengah-kanan, Partai Demokrasi dan Progresif (DPP) pimpinan Ali Babacan, serta Partai Masa Depan (FP) pimpinan Ahmet Davutoglu.
Publik Turki pun kini menunggu-nunggu, siapa gerangan calon tunggal presiden dari kubu oposisi tersebut untuk melawan Presiden Erdogan pada pemilu presiden 14 Mei nanti?
Jika enam partai oposisi itu berhasil sepakat mengajukan satu calon presiden dan jadi mengumumkannya pada 13 Februari nanti, hal itu merupakan terobosan baru dalam sejarah politik Turki. Jika skenario tersebut terjadi, kubu oposisi memiliki peluang untuk bisa mengalahkan atau minimal bisa bersaing secara ketat dengan Erdogan yang mendominasi panggung politik Turki selama dua dekade terakhir ini.
Skenario calon tunggal dari kubu oposisi sebelum ini selalu gagal terwujud, yang membuat Erdogan selalu tampil tanpa saingan berarti dalam setiap pemilu.
Skenario calon tunggal dari kubu oposisi sebelum ini selalu gagal terwujud, yang membuat Erdogan selalu tampil tanpa saingan berarti dalam setiap pemilu. Terakhir adalah pemilu presiden tahun 2018 ketika Erdogan saat itu menang telak lantaran kubu oposisi terpecah belah dan setiap partai politik mengajukan calon presiden sendiri-sendiri.
Pada pemilu presiden 2018, CHP mencalonkan wakil ketuanya, Muharrem Ince, sebagai presiden; SP mencalonkan ketuanya, Temel Karamollaoglu; IYI mencalonkan ketuanya, Meral Aksener. Di luar koalisi keumatan itu, masih ada Partai Rakyat Demokratik (HDP) yang berbasis massa kaum Kurdi dengan mengajukan daftar calon legislatif dan presiden sendiri. HDP mencalonkan ketuanya, Selahattin Demirtas, yang masih meringkuk di penjara sejak tahun 2016 sebagai presiden.
Masih ada lagi Partai Patriotik (Vatan) yang mengajukan ketuanya sebagai calon presiden, yaitu Dogu Perincek.
Karena itu, para pendukung kubu oposisi sangat berharap pemilu parlemen dan pemilu presiden pada 14 Mei nanti menjadi tonggak sejarah baru di pentas politik Turki dengan bersatunya kubu oposisi dalam menghadapi hegemoni Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Seperti diketahui, Erdogan dan AKP telah berkuasa di Turki sejak tahun 2002.
Rencana kubu oposisi mengumumkan calon tunggal presiden pada 13 Februari nanti bersamaan dengan satu tahun terbentuknya ”kubu Enam Meja”—sebutan untuk kubu oposisi yang terdiri dari enam partai politik—pada 13 Februari 2022. Bulan Februari ini, kubu Enam Meja itu sudah berusia satu tahun. Mereka telah berhasil melahirkan dokumen yang disebut ”Dokumen Kesepahaman tentang Kebijakan Politik Bersama”.
Dokumen tersebut berisi kesepakatan kubu oposisi untuk mengganti sistem presidensial ke sistem parlementer dan mengurangi wewenang presiden menjadi jabatan kehormatan atau simbolis saja. Dokumen itu juga berisi kesepakatan tentang penguatan demokrasi, kebebasan, penegakan negara hukum, reformasi ekonomi, dan perbaikan kebijakan luar negeri yang banyak kesalahan.
Dokumen itu terdiri dari 244 halaman, 9 bab, dan 75 judul yang berisi 2.300 tujuan bersama. Dokumen tersebut menjelaskan prinsip-prinsip kinerja enam partai politik yang tergabung dalam kubu Enam Meja dalam bidang hukum, keadilan, pemberantasan korupsi, keterbukaan, ekonomi, manajemen pemerintahan, kepegawaian, pendanaan, pendidikan, kebijakan sosial, kebijakan luar negeri, pertahanan, keamanan, imigrasi, pelatihan, dan proses digitalisasi.
Namun, yang terpenting dan utama dari sekian banyak tujuan bersama kubu oposisi itu adalah pergantian sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer demi semakin kuatnya budaya demokrasi, keterbukaan, lembaga hukum yang independen, dan prinsip negara sekuler. Tujuan utama tersebut akan segera diwujudkan setelah kubu oposisi memenangi pemilu parlemen dan pemilu presiden pada 14 Mei nanti.
Seperti diketahui, Erdogan mengganti sistem parlementer ke sistem presidensial lewat referendum rakyat pada tahun 2017. Saat itu tokoh-tokoh kubu oposisi dan sebagian tokoh AKP menolak keras tindakan Erdogan mengganti sistem parlementer ke presidensial. Salah satu tokoh AKP yang menolak keras tersebut adalah Ahmet Davutoglu dan Ali Babacan. Davutoglu pernah menjabat menteri luar negeri, sedangkan Ali Babacan menjabat menteri keuangan dalam pemerintahan Presiden Erdogan.
Davutoglu dan Babacan memilih keluar dari AKP. Davutoglu lalu mendirikan Partai Masa Depan (FP), sementara Babacan mendirikan Partai Demokrasi dan Progresif (DPP). Kini FP dan DPP menjadi bagian inti dari kubu Enam Meja.
Publik Turki kini sangat penasaran, siapa yang dipilih oleh kubu Enam Meja untuk maju sebagai calon tunggal presiden dari kubu oposisi untuk melawan Erdogan. Siapakah dia, apakah Davutoglu, Ali Babacan, atau Kemal Kilicdaroglu? Kita tunggu tanggal 13 Februari nanti.