Kurikulum bukan satu-satunya instrumen untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Apabila kita fokus ke pengadaan, kesejahteraan, dan peningkatan kualitas guru, lebih dari separuh masalah pendidikan kita akan terselesaikan.
Oleh
CATUR NURROCHMAN OKTAVIAN
·4 menit baca
Di Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei yang telah berjalan beberapa dekade, kita perlu merenungkan kembali dan merefleksikan dunia pendidikan kita. Perjalanan dunia pendidikan yang terhitung sudah cukup panjang tersebut nyata telah melukiskan wajah peradaban bangsa ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Hal terpenting yang perlu kita renungkan, bagaimana progres peningkatan kualitas pendidikan kita saat ini? Bagaimana posisi kualitas pendidikan kita dibandingkan negara-negara di tingkat regional dan dunia? Bagaimana wajah dunia pendidikan kita akan dilukiskan di masa depan?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, tidak cukup sekadar dibahas dalam diskusi-diskusi panjang di meja-meja seminar dan diulas di kolom opini media. Perlu ada keseriusan pihak eksekutif, legislatif, dan semua pemangku kepentingan dunia pendidikan untuk duduk, bekerja sama, dan berkolaborasi bebas dari kepentingan politik apa pun. Fokus utamanya adalah mengedepankan pendidikan sebagai kepentingan publik di atas kepentingan pribadi ataupun golongan.
Kita mungkin lebih sering membandingkan antara kualitas pendidikan nasional dan kualitas pendidikan di negara maju seperti Finlandia atau Korea Selatan, tetapi tidak membandingkan bagaimana kualitas kebijakan pendidikannya. Bagaimanapun, kualitas pendidikan tidak akan terlepas dari kebijakan yang diambil pihak eksekutif dengan dukungan politik dari legislatif. Bagaimana kebijakan pendidikan dapat berkualitas apabila pengambilan kebijakan sepertinya bersifat trial and error dan tidak didukung pemikiran konstruktif berbasis data empiris serta tidak berkesinambungan?
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, lagi-lagi kurikulum yang dipersoalkan. Menurut penulis, keliru apabila kita berpikir kualitas pendidikan dapat ditingkatkan dengan membongkar pasang kurikulum hampir setiap pergantian menteri pendidikan. Tidak ada yang salah memang dengan pergantian kurikulum, hanya saja apakah pergantian kurikulum itu sudah sesuai kebutuhan guru dan siswa di lapangan, ataukah hanya untuk memenuhi keinginan semata?
Kurikulum bukanlah satu-satunya instrumen untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jadi, jangan selalu bertumpu kepada kurikulum untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebenarnya apabila kita fokus kepada pengadaan, kesejahteraan, dan peningkatan kualitas guru, maka lebih dari separuh masalah pendidikan kita akan terselesaikan.
Kurikulum bukanlah satu-satunya instrumen untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jadi, jangan selalu bertumpu kepada kurikulum untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Arah pendidikan nasional harus dipandu dengan peta jalan pendidikan nasional yang menjaga kesinambungan kebijakan pendidikan. Peta jalan pendidikan nasional akan menjadi panduan yang menuntun siapa pun pengambil kebijakan pendidikan kita kelak.
Dengan adanya kesinambungan kebijakan melalui peta jalan pendidikan, maka tidak ada lagi pemeo ”ganti menteri, ganti kurikulum”. Karena kurikulum bukanlah obat jitu untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita. Dibutuhkan pengambilan kebijakan pendidikan yang tepat menyasar untuk menyelesaikan masalah sebenarnya dari stagnannya kualitas pendidikan kita, yaitu pada perbaikan tata kelola guru secara komprehensif dari hulu hingga hilir.
Untuk mengatasi karut-marut dunia pendidikan kita, mau tidak mau, suka atau tidak, memerlukan adanya politik pendidikan. Perlu pengkajian kembali mengenai anggaran 20 persen untuk pendidikan dalam APBN kita, yang nyatanya tersebar di berbagai lembaga kementerian, dan tidak fokus menyasar untuk peningkatan kesejahteraan dan kompetensi guru.
Harus diakui secara jujur, guru masih menjadi profesi kelas dua. Guru belum menjadi profesi yang bergengsi di masyarakat setara dengan profesi lain yang lebih menjanjikan masa depan lebih baik. Mereka yang akhirnya terjun menekuni profesi ini mungkin karena tidak mendapatkan pekerjaan lain sesuai bidangnya.
Saat ini pun perekrutan guru aparatur sipil negara (ASN) hanya dengan skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang kesejahteraannya tidak seperti PNS yang memiliki jaminan hari tua dan pensiun. Hal tersebut makin menjauhkan generasi muda potensial yang hebat untuk menekuni profesi guru.
Profesi guru tidak diberikan tunjangan semewah aparat pajak yang tengah disorot publik akhir-akhir ini meskipun memiliki tugas yang mahaberat dan strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya mereka yang ”nekad” dan memiliki jiwa pengabdian tinggi sebagai pendidik yang menekuni dunia pendidikan.
Kurangnya perhatian pemerintah dalam kesejahteraan, pelindungan, dan peningkatan kompetensi mengakibatkan profesi guru kerap termarjinalkan, kurang dihargai, dan kian tergerus martabatnya.
Bayangkan saja, ada kasus orangtua yang tega mencukur rambut seorang guru karena kesal atas perlakuannya yang mendidik kerapian anaknya. Ada lagi kasus guru di Lampung yang dimutasi ke tempat yang jauh hanya karena tidak menghadiri acara yang diselenggarakan pejabat daerah. Bahkan, ada pula salah satu guru di Jawa Barat yang dipecat dari yayasan tempatnya bertugas hanya karena mengomentari akun media sosial salah satu pejabat meski kasusnya sudah dianggap selesai.
Dari kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa profesi ini rentan mendapat perlakuan tidak pantas dari oknum pejabat dan masyarakat, serta menunjukkan rendahnya harkat martabat pahlawan tanpa tanda jasa ini. Data pelecehan terhadap profesi guru bak fenomena gunung es. Mungkin masih banyak kasus di lapangan yang tidak terungkap ke publik.
Julukan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa pun pertanda bahwa profesi ini memang tidak perlu diberi perhatian atas jasanya. Jika negara perhatian, tentu ada revisi julukan terhadap guru menjadi pahlawan yang penuh jasa. Pemerintah tentu tidak berdiam diri menghadapi merosotnya harkat martabat guru di masyarakat. Namun, para guru tentu harus bersabar menantikan kebijakan yang berpihak nyata dan berfokus pada penyelesaian masalah mendasar di seputar guru.
Kencangnya aspirasi, gagasan, dan opini yang menyuarakan pentingnya peningkatan kesejahteraan, pelindungan, dan kompetensi guru kerap hanya teronggok di ruang hampa yang sunyi dari perhatian publik.
Berbagai pemikiran, ide, gagasan, dan opini sudah banyak didiskusikan di ruang-ruang seminar, dan berserakan di kolom-kolom opini media. Namun, kapankah semua masukan didengarkan seksama dan dieksekusi implementasinya oleh pemerintah? Mari kita nantikan episode-episode berikutnya yang mungkin saja lebih berpihak kepada guru.
Guru sebagai aktor penting dalam dunia pendidikan kita sering terabaikan dan terpinggirkan. Lebih sering dijadikan obyek dibandingkan subyek dalam suatu kebijakan pendidikan. Kesejahteraan yang masih rendah, ketidakjelasan jenjang karier, serta kurangnya pelindungan dalam menjalankan tugas membuat anak bangsa yang cerdas dan berbakat, enggan melirik profesi guru.
Guru seolah dipaksa untuk selalu hidup sederhana dengan penghasilan seadanya, tetapi tidak sebanding dengan beban tugas yang sungguh tidak sederhana karena melukis wajah peradaban bangsa. Guru jangan berharap dan bermimpi Jeep Rubicon dan sepeda motor Harley akan terparkir di garasi rumah mewahnya di sebuah kawasan permukiman elite. Bagi seorang guru, memiliki status kepegawaian tetap dengan penghasilan yang cukup, dan jaminan masa depan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya serta terlindungi dalam menjalankan profesinya merupakan impian yang sangat mewah.