Menatap Masa Depan Guru
Masalah utama pendidikan di negeri ini bukanlah kekurangan jumlah guru, melainkan kesejahteraan, persebaran, perlindungan, dan kualitasnya. Guru yang berkualitas menjadi kunci penting keberhasilan pendidikan.
Tahun 2022 telah meninggalkan kita dengan menorehkan berbagai catatan plus dan minus dalam dunia pendidikan kita.
Kebisingan di ruang publik karena berbagai kebijakan pendidikan yang menuai kontroversi semoga tak terulang lagi di 2023. Sudah saatnya kita semua melakukan refleksi mendalam, dan melakukan resolusi terbaik pada tahun ini untuk menatap masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Masalah utama pendidikan di negeri ini bukanlah kekurangan jumlah guru, melainkan kesejahteraan, persebaran, perlindungan, dan kualitasnya. Menurut data pemerintah, saat ini Indonesia memiliki sekitar 3,3 juta guru. Dari jumlah tersebut, belum semuanya berstatus kepegawaian tetap dan memiliki jaminan kesejahteraan yang memadai.
Keberhasilan pendidikan bukanlah ditentukan oleh kualitas bangunan, kurikulum yang bagus, atau tersedianya sarana prasarana yang lengkap.
Guru yang berkualitas menjadi kunci penting keberhasilan pendidikan.
Guru yang berkualitas menjadi kunci penting keberhasilan pendidikan. Dengan guru yang hebat, menginspirasi, dan penuh kasih sayang, proses pendidikan tetap dapat berlangsung meskipun tidak di ruang kelas. Kurikulum yang bagus tidak akan dapat diterjemahkan dengan baik tanpa guru yang bermutu. Semua guru harus terus ditingkatkan kompetensi pedagogi dan keilmuannya dengan merata dan berkelanjutan.
Perekrutan guru
Pemerintah berupaya terus memperjelas status kepegawaian dan meningkatkan kesejahteraan guru, sejak 2021, dengan meluncurkan program pengangkatan satu juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Dari 500.000 formasi yang diajukan pemda, baru sekitar 293.000 guru lolos seleksi PPPK tahun 2021, dan mendapat formasi. Dari jumlah ini, ada 272.517 guru yang sudah diangkat dan dapat surat keputusan penempatan (paparan Kemendikbudristek pada RDP dengan DPR, 3/11/2022).
Masih ada sekitar 193.000 guru yang sudah lulus ambang batas kelulusan, tetapi belum mendapatkan formasi. Menurut pemerintah, pengangkatan guru PPPK ini akan terus berlanjut pada 2022 dan 2023. Namun, hingga menjelang akhir 2022, pemda baru mengajukan 40,9 persen dari total kebutuhan formasi tahun 2022.
Dengan karut-marut dalam perekrutan guru PPPK ini, publik seakan-akan disuguhi tontonan disharmoni komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Meski era otonomi daerah saat ini mengharuskan pendidikan menjadi kewenangan pemda, manajemen perekrutan guru tetap masih diurus pemerintah pusat, pun dengan penggajiannya.
Pertanyaannya, jika selama ini dikatakan banyak pemda kekurangan guru tetap ASN (PNS dan PPPK), mengapa pengajuan formasi masih sedikit? Apakah ada distrust pemda terhadap kebijakan pusat terutama soal penggajian?
Baca juga : Bencana Pendidikan, Krisis Guru dan Dosen PNS
Benang kusut manajemen tata kelola guru, terutama dalam perekrutan, sudah seharusnya diurai lebih cepat. Jika hal ini terus berlarut, antrean kekurangan guru tetap akan semakin panjang dengan bertambahnya jumlah guru yang pensiun, sakit, atau meninggal setiap tahunnya. Perlu gerak cepat dari pemerintah pusat dan daerah untuk menuntaskan mengingat pendidikan menjadi layanan penting dan mendasar bagi masyarakat.
Guru penggerak
Untuk meningkatkan mutu guru, pemerintah mencetuskan program pendidikan guru penggerak dalam salah satu episode Merdeka Belajar. Apabila diselisik dari tujuannya, program ini cukup bagus untuk meningkatkan mutu guru dalam memimpin pembelajaran.
Hingga 2022, Program Pendidikan Guru Penggerak sudah memasuki angkatan ketujuh dengan target sampai tahun 2024 ada 405.000 guru penggerak yang direkrut.
Guru penggerak diharapkan menjadi pemimpin pembelajaran dan diprioritaskan menjadi pemimpin di satuan pendidikan yang dikuatkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No 40/2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
Guru penggerak wajib membagikan kepada guru lain agar ilmu yang didapat melalui program ini menyebar. Guru penggerak menjadikan murid pusat pembelajaran dan mendidik sesuai kebutuhan murid.
Meski diyakini Kemendikbudristek sebagai sebuah inovasi, program pendidikan guru penggerak menimbulkan berbagai pertanyaan. Sejauh mana efektivitas anggaran yang dikucurkan dalam menjalankan program ini? Dari 3.3 juta guru yang ada, apakah target 400.000 guru sudah cukup sebagai upaya meningkatkan mutu guru dan dapat mendongkrak kualitas pendidikan lebih cepat?
Bagaimana nasib peningkatan kompetensi dan karier bagi jutaan guru lain yang tidak mengikuti program pendidikan guru penggerak? Sepertinya masih ada pekerjaan rumah bagi kementerian agar program ini berjalan secara inklusif.
Bagaimanapun hebatnya pendidikan guru penggerak yang dicetuskan, itu hanyalah sebuah program kebijakan dari menteri yang jabatannya berakhir pada 2024. Belum tentu menteri yang baru tetap akan melanjutkan program ini.
Bagaimanapun hebatnya pendidikan guru penggerak yang dicetuskan, itu hanyalah sebuah program kebijakan dari menteri yang jabatannya berakhir pada 2024.
Akan berbeda apabila peta jalan pendidikan Indonesia hingga 2045 sudah ditetapkan dan menjadi panduan utama bagi Kemendikbudristek dalam menentukan arah kebijakan bidang pendidikan.
Saatnya di 2023, peta jalan pendidikan dapat dituntaskan sehingga dapat memandu arah yang tepat bagi siapa pun pucuk pemimpin kebijakan pendidikan yang kelak ditugasi. Semoga di masa datang tidak ada lagi pemeo ”ganti menteri, ganti kurikulum”.
Masa depan guru Indonesia sepertinya masih samar jika para guru hanya menjadi obyek sebuah kebijakan pendidikan. Sudah saatnya para guru melalui organisasi profesi gurunya menjadi subyek penting dalam setiap kebijakan pendidikan.
Dengan banyak melibatkan dan mendengarkan suara para guru melalui organisasi profesi guru yang jelas rekam jejaknya, setiap kebijakan pendidikan yang diambil akan memiliki ”rasa” dan mendasarkan kebutuhan riil di lapangan.
Pendidikan berkualitas untuk semua akan terwujud apabila pengambil kebijakan pendidikan fokus menata masa depan pengelolaan guru yang komprehensif dari hulu hingga hilir. Transformasi pendidikan yang menyeluruh dan sistematis harus menyasar dua faktor, yaitu instrumen kebijakan (kurikulum sekolah, proses pembelajaran, asesmen, dan sebagainya); dan aktor pelaksana yang mengeksekusi berbagai instrumen kebijakan tersebut.
Kesejahteraan guru
Faktor instrumen kebijakan sudah banyak dilakukan oleh Kemendikbudristek walau mungkin terkesan masih berfokus pada kebijakan populis jangka pendek. Masalahnya, apakah berbagai upaya kebijakan yang dilakukan sudah menyentuh aktor pelaksana pendidikan secara merata, yaitu dengan meningkatkan kapasitas guru, tenaga teknis, kepala sekolah, pengawas, dan pejabat pendidikan daerah secara sistematis dan berkelanjutan?
Peningkatan kapasitas aktor pelaksana pendidikan melalui berbagai episode program ”penggerak” lebih bersifat ad hoc yang mungkin hanya cocok untuk sementara waktu. Ibarat obat, mungkin hanya untuk menurunkan demam atau penghilang rasa sakit, tetapi tidak mengobati dan menyembuhkan penyakit yang sebenarnya.
Student wellbeing (kebahagiaan murid) menjadi jargon penting yang diutarakan dalam berbagai kesempatan, akan tercapai dengan baik apabila teacher wellbeing pun tercapai.
Para guru perlu keluar dari berbagai persoalan penting yang membelitnya, yaitu kesejahteraan, perlindungan, dan kompetensi. Semoga di tahun mendatang, para pengambil kebijakan lebih sering mengulurkan tangan menarik mereka keluar dari berbagai persoalan tersebut dengan lebih arif dan penuh kasih sayang.
Catur Nurrochman OktavianWakil Ketua Dewan Eksekutif APKS PB PGRI, Wakil Bendahara PB PGRI, Guru SMPN 1 Kemang, Kabupaten Bogor