Saat ini, kita melihat lahirnya generasi baru yang tidak lagi memiliki memori politik aliran. Memori mereka lebih dibentuk oleh insiden-insiden ketidakadilan yang viral di medsos, terutama isu yang melukai rasa keadilan.
Oleh
ULIL ABSHAR-ABDALLA
·2 menit baca
Beberapa kali saya terlibat dalam percakapan mengenai arah politik Indonesia ke depan. Sejumlah kawan, umumnya dari generasi baby boomer atau generasi X, cemas. Kawan-kawan saya ini bertanya: apakah generasi milenial dan sesudahnya masih peduli politik? Atau mereka lebih sibuk dengan meng-issues mereka sendiri-sendiri? Apa makna partai politik bagi generasi digital ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini, jika ditelaah lebih jauh, menengarai sikap skeptis generasi ”jadul” itu terhadap komitmen politik generasi baru. Mereka, generasi lama ini, merasa bahwa ada kemerosotan dalam komitmen politik dan kepedulian terhadap arah negeri ini. Mereka cemas, jika tidak ada sesuatu yang diperbuat, keadaan akan memburuk. Politik akan menjadi kesibukan soliter di antara lingkaran sedikit elite yang menikmati kekuasaan. Mereka, para generasi lama ini, tampaknya cemas jika generasi baru cuek, apakah ini tidak membuka pintu bagi otoritarianisme baru.
Dalam kecemasan semacam ini, saya menangkap sebentuk ”kesombongan politik” generasi lama. Tetapi, tidak mengapa. Kecemasan mereka saya kira valid. Namun, saya segera disadarkan oleh perkembangan baru dalam lanskap politik di negeri ini. Perkembangan ini, di mata saya, menandai pergeseran watak politik di negeri ini, dari politik berbasis partai ke politik berbasis isu, dari party-based politics ke issue-based politics.
Saya melihat pergeseran ini karena dua kasus yang cukup mengguncang dunia warganet dalam tiga bulan terakhir. Yang pertama, kasus penganiayaan brutal atas Cristalino David Ozora pada bulan Februari. Kedua, kasus Bima Yudha Saputra yang bikin geger dunia media sosial (medsos) karena melakukan kritik atas pembangunan di daerahnya, Lampung. Kritik Bima disampaikan melalui platform yang sedang trendy di kalangan anak muda sekarang, Tiktok.
Dua kasus ini memantik kemarahan massal di dunia maya. Kasus David membuat marah publik karena ia, secara brutal, dianiaya oleh Mario Dandy, anak seorang kaya bernama Rafael Alun Trisambodo yang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Kanwil Jakarta Selatan. Selama berminggu-minggu, kasus ini menjadi trending topic di medsos, terutama di Twitter.
Kemarahan publik, di luar dugaan, berujung kepada semacam witch hunt, pemburuan terhadap pejabat-pejabat yang korup dan memamerkan kekayaannya (flexing) di dunia maya. Kemarahan publik terhadap korupsi yang merupakan kanker di negeri ini tersalurkan gara-gara kasus penganiayaan Mario ini.
Kasus Bima juga mirip. Bima, anak Lampung yang sedang menempuh studi di Australia, mengunggah kritik keras atas pembangunan di daerahnya, Lampung, melalui Tiktok. Kritik Bima ini menjadi perhatian publik karena memantik kemarahan Gubernur Lampung. Keluarganya sempat mengalami intimidasi, dan Bima dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan melakukan ujaran kebencian. Meski laporan ini dihentikan oleh pihak kepolisian, kasus ini telah menyulut kemarahan publik.
Dalam dua kasus ini warga medsos hampir secara mutlak membela David dan Bima. Mereka, di mata publik, adalah korban dari kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa. Jika kita telaah profil publik yang marah ini, tampak bahwa mereka adalah generasi baru, mereka yang oleh generasi baby-boomer dianggap ”cuek” atas ketidakadilan di negeri ini.
Dua kasus ini membalik dugaan itu. Saya melihat ada pergeseran politik. Politik tidak lagi semata-mata berbasis afiliasi partai. Di mata generasi baru, partai politik cenderung dipandang dengan skeptis dan sinis. Generasi baru ini lebih peduli kepada isu yang melukai rasa keadilan, bukan lagi kepada partai. Pergeseran politik ini, tentu saja, membuat ikatan pada partai cenderung longgar, karena publik lebih peduli kepada isu.
Bagi saya, ini perkembangan positif. Tentu saja, sebagian besar masyarakat Indonesia masih hidup dalam bayang-bayang politik partai. Afiliasi kepartaian, terutama di kalangan masyarakat yang memiliki kaitan dengan politik aliran tertentu, tetaplah penting. Akan tetapi, pada saat yang sama, kita juga melihat lahirnya generasi baru yang tidak lagi memiliki memori politik aliran itu. Memori mereka lebih dibentuk oleh insiden-insiden ketidakadilan yang ”viral” di medsos.
Yang menggembirakan ialah: protes generasi digital lewat platform medsos itu lumayan bikin ”gelagapan” pihak pemerintah yang kemudian memaksanya untuk berbenah. Jangan-jangan, inilah arah politik ke depan. Perubahan politik justru difasilitasi lewat layar kecil gawai (gadget).