Beberapa parpol, yang sebelumnya berada di papan tengah, dua tahun menjelang Pemilu 2024 ini mulai merangkak naik duduk sebagai parpol papan atas. Hal ini ditemukan pada Demokrat.
Oleh
M Toto Suryaningtyas/Litbang Kompas
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Bendera partai politik dipasang di pinggir Jalan Cinere Raya, Depok, Jawa Barat, Rabu (30/3/2022). Meskipun pemilu masih dua tahun lagi, partai politik mulai melakukan pemanasansalah satunya dengan memasang atribut partai di tempat umum.
Dua tahun jelang Pemilihan Umum Legislatif 2024, elektabilitas sejumlah parpol papan tengah mengalami pergeseran peringkat di tengah dominasi partai papan atas. Tren pilihan partai sejak 2019 menunjukkan membaiknya elektabilitas parpol secara umum meski ruang kompetisi semakin ketat.
Survei kali ini merekam komposisi dan perolehan suara partai yang relatif sama dengan survei Januari 2022 bersamaan dengan menguatnya keyakinan memilih. Hal itu terlihat dari total suara responden survei yang menjawab ”belum menyatakan pilihan” cenderung turun, kini hanya dinyatakan 16 persen. Jumlah itu hanya separuh dari rata-rata pilihan jawaban serupa pada 2020 dan 2021.
Peringkat teratas perolehan suara hasil survei kembali ditempati Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mendapat 22,8 persen suara alias sama tinggi dengan survei sebelumnya. Di peringkat berikutnya ditempati Gerindra (12,5 persen), Demokrat (11,6 persen), dan Golkar (10,3 persen).
Partai Demokrat, yang selama survei 2020-2021 merupakan penghuni peringkat papan tengah, sejak survei Januari 2022 telah bergeser naik ke papan atas (perolehan suara di atas 10 persen). Tren perolehan suara parpol ini meningkat signifikan dan capaian perolehan suara kali ini menjadi yang tertinggi diraih partai itu sejak survei Oktober 2019.
Sementara itu, di peringkat papan tengah (perolehan 3-10 persen suara), ditempati oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Perindo. Partai yang elektabilitasnya naik dibandingkan dengan survei pada Januari lalu adalah PAN, Nasdem, dan Perindo, sementara PKS sedikit turun. Adapun elektabilitas PKB relatif tetap.
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bergeser ke papan bawah dengan elektabilitas di bawah 3 persen. Meski demikian, elektabilitas sesungguhnya PPP dan PKB patut diduga lebih tinggi dengan memperhitungkan margin of error survei. Pasalnya, kedua parpol itu mempunyai basis massa yang terfokus. Misalnya, PKB yang mempunyai basis massa di Jawa Timur.
Secara umum, analisis tren sejak survei 2019 menunjukkan dinamika elektabilitas partai-partai koalisi ataupun di luar koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Tren elektabilitas Gerindra, PKB, dan Hanura tergolong stagnan dengan gejala sedikit menurun landai. Adapun Golkar, Nasdem, PAN, PPP, Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Bulan Bintang (PBB) tergolong meningkat dengan sebagian partai mendapat tren naik yang cukup signifikan. Tren elektabilitas PDI-P cenderung tetap, dengan garis tren mendatar.
Sementara itu, di kelompok partai di luar koalisi pemerintah, tren elektabilitas PKS sebenarnya meningkat landai meski terlihat turun di survei terbaru ini (5,4 persen). Adapun Partai Demokrat menunjukkan tren elektabilitas naik signifikan dan semakin mapan elektabilitasnya sejak setahun terakhir.
Respons narasi
Jika dirunut, kondisi naik dan turun elektabilitas parpol, selain soal ideologi, loyalitas konstituen, dan manajemen organisasi, tampaknya juga dipengaruhi oleh bagaimana parpol mencerminkan suara konstituen dalam menanggapi narasi di ruang publik. Dalam kondisi saat ini, di mana terdapat kecenderungan kepuasan yang menurun terhadap pemerintah, parpol yang mampu menggalang opini oposisi sebenarnya bisa mendapat manfaat elektoral dari sikap negasi publik.
Hal ini terbukti dalam hal kenaikan elektabilitas Partai Demokrat. Secara ideologi, partai ini tidak dilabeli dengan politik aliran/agama sehingga terbuka menyerap pemilih dari aras mana pun, baik pemilih nasionalis maupun pemilih Islam. Dari segi ketokohan, Demokrat masih memiliki Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono. Narasi yang dikembangkan selama ini cenderung selalu bersifat kritis terhadap pemerintah dan hal itu ternyata mampu meningkatkan elektabilitas.
Jika dilacak dari latar belakang pemilih Demokrat, kenaikan elektabilitas partai berlambang segitiga merci ini terpantau banyak ditopang oleh kenaikan suara responden di pemilih Sumatera Utara, Riau, dan Aceh. Dari segi sosial ekonomi responden, tampaknya Demokrat juga berhasil memikat pemilih dari kelas masyarakat strata bawah. Sementara dari kategori loyalitas pemilih, kenaikan suara lebih banyak diraup dari pemilih kategori swing voters.
Kondisi berbeda dialami PKS yang dalam survei ini terpantau agak menurun. Elektabilitas partai berideologi Islam ini dalam beberapa survei sebelumnya terpantau meningkat, tetapi kembali turun saat ini.
Anggota dan simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang hadir mengikuti puncak peringatan Milad Ke-20 PKS di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (29/5/2022). Acara ini dimeriahkan bazar dan pesta rakyat, hiburan musik, dan pidato kebangsaan dari tokoh PKS dan tokoh politik dari partai lain.
Jika dilacak, PKS kehilangan sebagian responden di Jawa berusia produktif, khususnya generasi Y dan X, berpendidikan dasar, dan sebagian pemilih strong voters. Alih-alih mendapat simpati, sebagian responden PKS boleh jadi menunggu respons yang lebih berbeda dari PKS.
Apalagi kini harus bersaing dengan Partai Gelora yang dipimpin mantan petinggi PKS, Anis Matta dan Fahri Hamzah, dengan ideologi yang lebih terbuka. Dalam survei ini, Partai Gelora tercatat menjadi partai baru paling difavoritkan dipilih.
Faktor klasik
Bagaimanapun, untuk unggul menjadi partai pemenang pemilu di Indonesia tampaknya masih disokong oleh kelengkapan dalam apresiasi publik terhadap hal-hal, seperti ideologi dan visi misi partai, popularitas sosok ketokohan, soliditas partai, efektivitas program, dan manajemen organisasi.
Dalam hal ini, PDI-P tercatat relatif paling tebal merata apresiasinya. Partai Gerindra sebetulnya sangat tinggi di ketokohan, tetapi cenderung minim di popularitas partai. Sementara Golkar cukup merata, tetapi kurang kuat di ideologi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana partai-partai ini akan melanjutkan pertandingan dan berkoalisi menjelang Pemilu 2024? Saat ini parpol terlihat saling menjajaki langkah partai lain, khususnya terkait dengan nama kandidat capres. Ada baiknya parpol makin cermat menghitung langkah politik agar memberi manfaat elektoral dan bukannya menurunkan elektabilitas yang sudah unggul.