Orang berburu kekayaan, meski harus menyalahgunakan jabatan. Pembayaran pajak bisa dinegosiasikan seperti pada kasus Rafael. Namun keprihatinan terhadap masalah korupsi ini justru sepi dari pembahasan koalisi.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·3 menit baca
"Janji keadilan sosial harus dimulai dengan keberanian pemimpin berdiri di garis terdepan pemberantasan korupsi yang telah merusak sendi-sendi kehidupan bernegara,". (Sukidi Mulyadi)
Esai Sukidi, pemikir kebinekaan, itu bisa ditemukan di Harian Kompas, Kamis, 6 April 2023. Kamis sore seusai saya ibadat Kamis Putih, Sukidi mengirim pesan WhatsApp. Isinya gambar seorang wanita dengan latar esai Sukidi di Harian Kompas. “Semoga pemikiran panjenengan dipedomani capres-capres yang akan datang.” Saya membalas pesan kepada Sukidi. “Kepada siapa pesan itu mau ditujukan.” Ia menjawab, “Kepada pemimpin yang mendaku pemimpin wong cilik tapi meninggalkan wong cilik,”.
Percakapan berhenti. Sukidi, doktor dari Harvard University itu, dalam perjalanan ke Jepang untuk menghadiri beberapa undangan ceramah. Jemaat memenuhi Gereja Katedral untuk Misa Kamis Putih pertama. Misa dipimpin Romo Yohanes Maryono SJ. Dalam khotbahnya, Romo Maryono mengungkapkan kegelisahan dengan banyaknya penyelenggara negara yang tidak setia pada sumpah jabatannya. Kini mereka berurusan dengan hukum. Sumpah untuk mengabdi pada bangsa dan negara ternyata, ya, hanya sumpah biasa, sekadar ritual prosedural.
Berburu kekayaan seakan menjadi model zaman now. Kebergelimangan harta dianggap sebagai kesuksesan. Uang seakan menjadi Tuhan masa kini. Gejala itu tampak dari kasus Rafael Alun Trisambodo yang kini ditahan KPK. Orang-orang zaman now, boleh jadi sedang mengalami kemunduran atau kebangkrutan moral. Seorang bisa bersuara keras mengecam pihak lain. Namun, ia sendiri berlumuran dengan korupsi.
Romo Maryono menyinggung kiprah Menteri Pekerjaan Umum Sutami. Empat belas tahun, Sutami menjadi menteri untuk dua presiden, Soekarno dan Soeharto. Sutami pernah menjabat Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik pada era Soekarno. Meski menjabat menteri pekerjaan umum, Sutami hidup di rumah yang atapnya bocor. Selain atap rumah yang bocor, PLN pernah mencabut listrik di rumahnya karena Sutami kekurangan uang untuk membayar listrik.
Kisah serupa bisa ditemukan pada proklamator Mohammad Hatta yang tetap menjaga integritas pribadinya. Pada zaman kekinian masih tersisa orang seperti hakim agung Artidjo Alkostar yang tetap hidup sederhana. Atau Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso yang sangat lurus. Atau polisi Seladi yang menolak makan uang suap dan lebih memilih menjadi pemulung sampah. Pemulung sampah tetap dijalaninya sampai kini. Tokoh-tokoh itu tetap komit pada janji Soekarno, “Tak ada kemiskinan di era kemerdekaan.”
Kini tokoh-tokoh demikian justru makin sepi. Orang berburu kekayaan, meski harus menyalahgunakan jabatan. Ketukan vonis hakim yang seharusnya ditujukan untuk Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi keuangan yang maha kuasa. Pembayaran pajak bisa dinegosiasikan dengan kantor konsultan pajak sebagaimana dilakukan Rafael.
Tapi mengapa isu strategis itu justru sepi dari pembahasan koalisi. Apakah itu koalisi besar atau koalisi kecil? Mengapa tak ada koalisi partai yang dipersatukan dengan nilai atau semangat anti korupsi? Mengapa isu anti korupsi, isu ketidakadilan sosial, tak muncul dari politisi selain perburuan kekuasaan semata. Boleh jadi terjadi alienasi antara politisi dengan rakyat kebanyakan? Namun gagasan itu tetap harus tulus. Bukan lain di kata, lain yang dilakukan. Dalam sejarah politik kontemporer, ada partai yang mengatakan, “katakan tidak pada korupsi” tapi ya korupsi juga.
Seyogyanya koalisi atau calon presiden 2024 bisa mengidentifikasi masalah bangsa dan bagaimana menyelesaikannya. Guru Besar Filsafat Driyarkara Prof Dr Franz Magnis Suseno dalam talkshow Bisnis Talk di Jakarta, pekan lalu, mengidentifikasi lima tantangan global.
Pertama, dunia sedang dikuasai ideologi neoliberalisme. Umat manusia terpecah antara winner dan looser. Di Indonesia, bisa disaksikan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin tertinggal.
Dunia terbagi antara negara yang bisa menarik modal dan akan maju terus. Sementara sejumlah negara Afrika berpotensi menjadi failed state. “Neoliberalisme membusukkan demokrasi dan oligarki,” kata Romo Magnis.
Akibat dari praktik neo-liberalisme, muncul ketelantaran dan keputusasaan. Gelombang pengungsi terjadi di sejumlah tepat. Cepat atau lambat akan menjadi masalah besar bagi dunia.
Tantangan ketiga adalah ekstrimisme ideologis-agamis. Di sejumlah negara Afrika, banyak negara kacau. Keamanan tak terjamin. Aparat keamanan tak bisa lagi mengelola wilayahnya. Kegagalan demokrasi, kegagalan menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, bisa memunculkan kekerasan, intoleransi, eksklusivisme, dan terorisme.
Tantangan keempat adakah keambrukan lingkungan hidup alami. Jika sampai tahun 2030 pembatasan kenaikan suhu udara pada 1,5 derajat Celsius tak tercapai, malapetaka global tak terhindarkan.
Tantangan kelima adalah perkembangan artificial intelligence. Apakah perkembangan articial intelligence akan memperbesar kesenjangan sosial atau seperti apa. Dan, bagaimana dengan manusia itu sendiri.
Di dalam negeri, tantangannya tak kalah banyak. Sikap intoleran yang masih jadi masalah besar, perwujudan keadilan sosial yang kian jauh dari cita-cita dan praktik korupsi yang kian merajalela. Di tengah ancaman korupsi, elite malah menjawabnya dengan melemahkan pemberantasan korupsi. Ada menteri yang justru melarang operasi tangkap tangan. Ada politisi yang mengatakan, makan uang ilegal kecil-kecil, tidak apa-apa. Itu sikap permisif. Padahal, korupsi adalah tantangan paling serius karena korupsi itu membusukkan segalanya.
Suara-suara Sukidi, Franz Magnis, bisa jadi menjadi suara-suara sepi di pinggiran. Jauh dari pembahasan koalisi untuk merebut kekuasaan. Padahal, suara-suara sepi adalah peringatan dini akan bahaya jika korupsi terus dibiarkan merajalela. Koalisi memang baru memikirkan bagaimana meraih kekuasaan tanpa memikirkan bagaimana nasib republik yang terus diserang virus korupsi.
Sebagai warganegara, Romo Magnis, memberi imbauan pendek. "Kita jangan ikut korupsi. Titik. Tak perlu banyak penjelasan. Korupsi adalah ancaman terbesar bagi negara dan bangsa. Jangan kita menjadi bagian dari pembusukan Indonesia,".