Korupsi yang masih saja terjadi di kala rakyat mengalami kesusahan akibat pandemi merupakan ancaman terbesar bagi persatuan bangsa. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat masih belum sepenuhnya tercapai.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 menguji negara ini untuk mengukur kekuatan dan kelemahan sebagai sebuah bangsa yang beradab. Semangat solidaritas dan kedermawanan telah teruji sehingga membawa bangsa ini mampu bertahan. Namun, di sisi lain, segelintir elite justru menghancurkan benteng kekuatan itu dengan sikap koruptif yang seakan tak pernah habis.
Dengan berapi-api, rohaniwan dan Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno menyinggung kasus korupsi yang masih saja terjadi di kala rakyat mengalami kesusahan akibat pandemi. Baginya, itu baru merupakan ancaman terbesar bagi persatuan bangsa, bukan ideologi atau yang lain-lain.
”Kok bisa, kok tidak malu, masih memperkaya diri dengan mencuri dari bantuan sedikit yang disediakan bagi mereka yang membutuhkannya. Busuk itu,” tegas pria yang akrab disapa Romo Magnis ini melalui video yang diputar dalam Kongres Kebangsaan ”Ikhtiar Memperadabkan Bangsa”, Kamis (28/10/2021), di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Pada kesempatan itu, hadir sejumlah pejabat tinggi negara dan perwakilan organisasi kemasyarakatan dalam kongres tersebut. Presiden Joko Widodo pun ikut memberikan sambutan melalui telekonferensi video.
Korupsi yang dimaksud Romo Magnis belakangan memang sangat fatal, apalagi sampai melibatkan langsung pejabat setingkat menteri, yakni bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara. Di pemerintahan daerah, Komisi Pemberantasan Korupsi juga mengungkap ada kasus korupsi bantuan sosial yang melibatkan kepala daerah, sebut saja bekas Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna.
Di tengah situasi kritis itu, Romo Magnis coba mengingatkan para peserta kongres pada masa 93 tahun silam ketika ratusan pemuda mampu membuktikan sesuatu yang luar biasa dan belum tentu berhasil dirampungkan oleh bangsa lain. Dengan berbagai budaya dan latar belakang, mereka mampu menyatukan semuanya menjadi satu bangsa Indonesia.
Solidaritas bangsa ini yang seharusnya dijaga sampai sekarang, bukan perbuatan yang seakan-akan mementingkan perutnya sendiri. Sebab, ia menyebut, setidaknya 50 persen masyarakat saat ini kehidupannya belum aman sejahtera, bahkan 10 persen masih terjerumus ke dalam kemiskinan absolut. Adanya pandemi lalu semakin mengancam mereka masuk ke dalam jurang kemiskinan yang lebih serius lagi.
”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat masih belum tercapai. Maka, sekarang saatnya kita membuktikan bahwa janji-janji Pancasila bukan omong kosong. Kita tidak boleh membiarkan 50 persen anak bangsa tenggelam,” ucap Romo Magnis.
Solidaritas bangsa ini yang seharusnya dijaga sampai sekarang, bukan perbuatan yang seakan-akan mementingkan perutnya sendiri.
Menakar kekuatan dan kelemahan
Ketua Umum Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo berpandangan, krisis pandemi sungguh menjadi batu uji untuk menakar kekuatan dan kelemahan negara sebagai satu bangsa. Setidaknya, ada tiga ranah yang ia petakan.
Pertama, ranah mental-kultural. Ia melihat, ada sisi positif yang terpancar di tengah masyarakat, yakni semangat gotong royong. Charities Aid Foundation World Gving Index 2021 menegaskan hal tersebut di mana Indonesia dinobatkan kembali sebagai negara paling dermawan di dunia.
Namun, ada pula sisi negatif yang terlihat, terutama dalam dunia politik. Menurut Pontjo, di tengah pandemi ini, tindak tanduk elite kurang memiliki empati terhadap suasana masyarakat yang dirundung kemalangan.
”Dengan kata lain, sabuk ketahanan nasional kita bersumber pada kemampuan kita merawat nilai-nilai Pancasila di tingkat masyarakat, sedangkan titik kerawanan nasional kita ditimbulkan oleh tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam dunia politik. Politik sebagai teknik mengalami pemutakhiran, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran,” tutur Pontjo.
Pernyataan Pontjo ini semakin ditegaskan oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Ma’mun Murod. Menurut Ma’mun, kompromi-kompromi politik selama ini justru telah menghancurkan bangsa itu sendiri. Tata kelola negara menjadi buruk. Negara pun menjadi abai pada kesejahteraan rakyatnya.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Rukka Sombolinggi pun mencontohkannya secara lebih konkret. Di tengah pandemi, DPR dan pemerintah malah melahirkan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggapnya sebagai suatu tindakan tidak beradab. Sebab, dengan undang-undang tersebut, korporasi semakin mudah mengeruk dan merusak rumah bersama, bumi Nusantara.
”Semua itu demi kepentingan segelintir elite yang dibungkus dengan bahasa indah, yaitu kepentingan publik dan pembangunan Indonesia. Ini menciptakan ketidakadilan terhadap sesama anak bangsa. Saatnya kita kembali ke peradaban Nusantara, akui, hormati, dan pulihkan hak-hak masyarakat adat dengan segera,” kata Rukka.
Di tengah pandemi, DPR dan pemerintah malah melahirkan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggapnya sebagai suatu tindakan tidak beradab. Sebab, dengan undang-undang tersebut, korporasi semakin mudah mengeruk dan merusak rumah bersama, bumi Nusantara.
Membagi peran
Pakar Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif mengatakan, berbagai studi sosiologi politik dan sosial ekonomi menunjukkan kesenjangan sampai level tertentu bisa ditolerir. Sebab, tanpa adanya derajat kesenjangan, tak ada insentif bagi meritokrasi.
Namun, kesenjangan yang dibiarkan terlalu lebar juga tidak baik. Sebab, itu bukan hanya mengancam bagi si miskin, melainkan juga berbahaya bagi si kaya sehingga menimbulkan polarisasi sosial yang tajam, prasangka, saling tidak percaya (mutual distrust). ”Yang ujungnya, bisa bukan saja yang miskin bermasalah, melainkan yang kaya juga ditarik ke bawah,” ucapnya.
Yudi juga mengingatkan, tata kelola negara yang baik selalu memberikan peran-peran secara proporsional, mana yang harus digarap oleh negara, komunitas, dan dunia usaha. Semua elemen itu tidak bisa saling menegasikan satu sama lain.
”Itulah cara bekerjanya gotong royong sehingga secara keseluruhan disatukan visi bersama membentuk negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Itu yang menjadi concern, jalan baru kebangkitan Indonesia di masa yang akan datang,” kata Yudi.
Ketua MPR Bambang Soesatyo menambahkan, sejarah pun telah membuktikan mustahil bangsa ini dapat membangun peradaban tanpa semangat kebersamaan. Semangat ini harus terus menjiwai dan menjadi sumber inspirasi bagi seluruh anak bangsa.
Presiden Jokowi pun menegaskan, satu dan persatuan merupakan kata kunci dalam berbangsa dan bernegara. Terlebih di tengah pandemi Covid-19, menurut Presiden, solusinya bukanlah solusi individual, melainkan solusi bersama.
”Pandemi mengajarkan kita tentang pentingnya saling mengingatkan, saling membantu, dan saling mendisplinkan. Artinya, pandemi juga mengajarkan moralitas dan etika tentang keseimbangan antara kebebasan individu dengan stabilitas sosial dan kepentingan bersama,” ucap Presiden.