Hoegeng, Kapolri Antisuap yang Diberhentikan Soeharto
Hingga kini, Hoegeng masih jadi sosok polisi teladan yang belum tergantikan. Ia adalah perwujudan polisi yang sederhana, antisuap, dan tidak silau dengan kemewahan. Negeri ini merindukan pejabat publik seperti Hoegeng.

Kepala Polri (1968-1971) Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso.
Peristiwa penjemputan warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, Ismail Ahmad, oleh Kepolisian Resor Kepulauan Sula memunculkan keprihatinan. Sebab, guyonan mengenai polisi jujur itu bukanlah hal baru bagi publik.
Kompas mencatat, dalam diskusi bertajuk ”Dekonstruksi dan Revitalisasi Keindonesiaan” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Jakarta, Kamis, 31 Agustus 2006, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid mengungkapkan guyonan itu.
Ketika itu, Gus Dur mengatakan, di Indonesia hanya ada tiga polisi yang tidak bisa disuap. Pertama, mantan Kepala Polri almarhum Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Kedua, patung polisi dan ketiga adalah polisi tidur. Gus Dur menilai, pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah saat itu bersifat tebang pilih.
Guyonan itu sebenarnya merupakan ajakan untuk mawas diri. Sebab, sosok Jenderal Hoegeng yang dimaksudkan bukanlah pribadi sembarangan. Sebenarnya, seperti apa sosok Jenderal Hoegeng tersebut?

Berintegritas
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, mengenang Hoegeng sebagai sosok polisi teladan. Pada 1956, Hoegeng ditugaskan sebagai Kepala Reserse Kriminal di Sumatera Utara. Tugas itu menjadi ujian berat bagi polisi karena di sana dikenal dengan penyelundupan.
Hoegeng disambut secara unik. Setiba di Medan, rumah pribadi dan mobil telah disediakan beberapa cukong judi. Namun, Hoegeng menolak dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas. Tak mau menyerah, para cukong itu pun kemudian memenuhi rumah dinas Hoegeng dengan beragam perabot rumah tangga.
Hoegeng disambut secara unik. Setiba di Medan, rumah pribadi dan mobil telah disediakan beberapa cukong judi. Namun, Hoegeng menolak dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas.
Karena kesal, Hoegeng pun mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi. Para pemberi itu tetap bergeming. Perabot itu akhirnya dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan. Maka, gemparlah Kota Medan karena ada seorang kepala polisi tidak mempan disogok. Kisah itu dituturkan Asvi Warman Adam dalam tulisannya di Kompas pada 1 Juli 2004.

Chris Siner Key Timu dari Kelompok Kerja Petisi 50, dalam tulisannya di Kompas, 15 Juli 2004, menuturkan, kejujuran Hoegeng membawa konsekuensi bagi hidupnya sehari-hari. Sekali waktu, setelah berhenti dari Kepala Polri dan pensiunnya masih diproses, Hoegeng tidak tahu apa yang masih dapat dimakan oleh keluarga karena di rumah sudah kehabisan beras.
Di pagi keesokan harinya ternyata ada yang mengantarkan beras dan kebutuhan lain ke rumahnya. Ternyata itu adalah kiriman dari almarhumah Ibu Nani Sadikin, istri Pak H Ali Sadikin.
Chris Siner menuturkan, ketika Presiden Soekarno menunjuk Hoegeng menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi, sehari sebelum pelantikannya Pak Hoegeng meminta istrinya, Ibu Merry, untuk menutup toko kembang. Alasannya, keesokan harinya dia akan dilantik menjadi Dirjen Imigrasi. Adapun toko kembang yang terletak di Jalan Cikini itu adalah usaha ibu Merry untuk menambah pendapatan sehari- hari.
Menurut Chris Siner, ketika ibu Merry menanyakan hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembangnya, Pak Hoegeng menjawab, ”Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.” Ibu Merry pun memahami dan menutup toko kembangnya.

Karena ditugaskan ke Imigrasi, Pak Hoegeng membawa sebuah mobil Jeep dinas. Ketika Sekretariat Negara (Setneg) memberi lagi satu mobil dinas, Pak Hoegeng menolak. Alasannya, dia hanya membutuhkan satu mobil dinas untuk tugasnya. Sementara Jeep yang dia bawa dari kepolisian adalah juga milik negara sehingga itu sudah cukup baginya.
Demikian pun ketika menjadi Menteri Iuran Negara, Hoegeng diminta Setneg untuk pindah dari rumah di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah yang berlokasi di jalan protokol. Namun, Hoegeng menolaknya. Alasannya, rumah yang ditempatinya sudah cukup representatif dan negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya.
Katanya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan.
Kejujuran dan integritas Hoegeng semasa hidupnya tidak hanya menyentuh, tetapi juga mengajak orang untuk mawas diri. Mantan Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman mengaku menitikkan air mata saat membaca buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis wartawan Kompas, Suhartono.

Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Sutarman.
”Saya terus terang menitikkan air mata membaca kisah itu,” ujar Sutarman dalam acara peluncuran buku, 17 November 2013. Dan membaca kisah polisi Hoegeng seakan melihat sosok pejabat dari zaman yang sama sekali berbeda. Sebagai contoh, Hoegeng tak pernah meminta tasnya dibawakan ajudan. Dia menenteng sendiri tasnya.
Sebagai Kapolri, Hoegeng tiba-tiba berada di lapangan mengatur lalu lintas. Protes anaknya malah dijawab, ”Apakah kalian malu kalau Papi sebagai Kapolri harus mengatur lalu lintas?” Anak-anak pun terdiam.
Sebagai Kapolri, Hoegeng tiba-tiba berada di lapangan mengatur lalu lintas. Protes anaknya malah dijawab, ”Apakah kalian malu kalau Papi sebagai Kapolri harus mengatur lalu lintas?” Anak-anak pun terdiam.
Saat Didit, putranya, ingin melamar menjadi taruna TNI AU, Hoegeng enggan memberikan surat izin. Dia khawatir surat izinnya memuluskan putranya menjadi taruna.
Hoegeng dan keluarga pun bukanlah pejabat bergelimang harta. Saat pensiun, ia menerima uang pensiun Rp 1,2 juta. Bahkan, Hoegeng sempat ingin menjual sepatunya, tetapi sulit laku karena sepatunya bukan sepatu bermerek (Kompas, 18/11/2013).

Mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso hadir pada upacara peringatan Hari Bhayangkara ke-36, Kamis (1/7), di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta.
Diberhentikan oleh Soeharto
Meski demikian, kejujuran dan integritas itulah yang membuat Hoegeng kehilangan jabatannya. Chris Siner menuturkan, saat menjadi Kapolri, Hoegeng berencana menangkap seorang penyelundup besar.
Namun, karena sang penyelundup tersebut diketahui punya backing dari Cendana, Hoegeng ingin menyampaikan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto. Yang membuatnya kaget adalah ketika Hoegeng sampai di Cendana untuk menyampaikan maksudnya, orang yang direncanakan ditangkap oleh kepolisian itu ternyata sedang berbincang-bincang dengan Soeharto.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng ditawari menjadi duta besar di salah satu negara Eropa. Namun, tawaran itu ditolaknya. Dia beralasan tidak memiliki keterampilan yang mesti dimiliki seorang duta besar.
Rupanya peristiwa itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kepala Polri oleh Presiden Soeharto. Alasan yang dikemukakan Soeharto adalah untuk regenerasi. Namun, yang aneh, pengganti Hoegeng adalah Mohammad Hassan yang lebih tua darinya. Hoegeng pun berhenti dari jabatan Kepala Polri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya berlangsung tiga tahun.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Kepala Polri, Hoegeng ditawari menjadi duta besar di salah satu negara Eropa. Namun, tawaran itu ditolaknya. Dia beralasan tidak memiliki keterampilan yang mesti dimiliki seorang duta besar.

Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (18/6/2020).
Menurut Jusuf Kalla, Hoegeng yang menjadi Kepala Polri pada 1966-1971 telah menjadikan ketegasan, kejujuran, dan kesederhanaan sebagai satu kesatuan kualitas seorang pemimpin. Gejala ”hukum rimba” yang terjadi di Indonesia, menurut Kalla, akibat absennya ketegasan, kejujuran, dan kesederhanaan pemimpin.
”Tegas itu menjadi ikon Hoegeng. Tentu untuk bisa tegas perlu berwibawa, wibawa lahir dari kejujuran. Kalau mau jujur, harus hidup sederhana, menikmati kesederhanaan,” katanya.
Tegas itu menjadi ikon Hoegeng. Tentu untuk bisa tegas perlu berwibawa, wibawa lahir dari kejujuran. Kalau mau jujur, harus hidup sederhana, menikmati kesederhanaan.
Riwayat hidup
Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Menurut Asvi Warman Adam, nama pemberian ayahnya adalah Imam Santoso, waktu kecil ia sering dipanggil bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi bugeng, akhirnya berubah jadi hugeng. Meskipun demikian, setelah dewasa bahkan sampai tua, ia tetap kurus.
Hoegeng menjabat Kepala Polri tahun 1968-1971 dan sebelumnya menjabat Kepala Reserse Kriminal Kepolisian Sumatera Utara tahun 1956-1959. Tahun 1968, Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo. Hoegeng meninggal pada 14 Juli 2004 dalam usia 83 tahun.

Tangkapan layar unggahan Ismail Ahmad (41), warga Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, di Facebook pada Jumat (12/6/2020). Di kantor polisi, ia membacakan permintaan maaf lantaran mengunggah guyonan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gusdur.
Tentang pemeriksaan Ismail Ahmad karena unggahannya di media sosial, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku Utara Inspektur Jenderal Rikwanto menyatakan telah menegur Kapolres Kepulauan Sula dan jajarannya. Rikwanto mengakui anggotanya keliru dalam mencerna informasi.
”Itu bukan masalah dan bukan masuk kategori yang perlu (diberi) atensi oleh kepolisian. Jadi sudah saya tegur (Kapolres),” kata Rikwanto.
Baca juga : Penjemputan Ismail Ahmad Dikritik
Anggota Ombudsman RI, Adrianus Eliasta Meliala, mengatakan, lelucon mesti dipahami sebagai lelucon, termasuk lelucon mengenai polisi jujur. Meski secara normatif tidak ada yang salah dengan pemeriksaan yang dilakukan polisi. Namun, ketika masyarakat atau orang itu diperiksa, persepsi negatif sudah muncul.
”Lelucon harus dipandang secara khas, jangan serius. Apalagi dikaitkan dengan peran polisi. Tantangan Polri yang besar dewasa ini menuntut Polri untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya, bukan membuat orang antipati,” kata Adrianus.

Foto bersama usai viat apel di lapangan Promoter Ditlantas PMJ, Sabtu (24/11/2018)
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan, Polri perlu mereformasi diri agar dapat membentuk sosok seperti Jenderal Hoegeng. Meskipun tantangan dan godaannya besar, kepolisian masih memiliki kesempatan.
Secara struktural, kepolisian mesti mereformasi dirinya, mulai dari sistem perekrutan, pembinaan, dan pengawasan. Yang juga sangat penting, pimpinan Polri mulai dari pucuk tertinggi harus menjadi teladan dan memenuhi kriteria sebagaimana sosok Jenderal Hoegeng.
”Jenderal Hoegeng itu sosok yang muncul karena standar kepolisian saat itu memang tinggi. Semua pimpinan kepolisian harusnya mencapai standar Hoegeng itu,” kata Neta.
Jenderal Hoegeng itu sosok yang muncul karena standar kepolisian saat itu memang tinggi. Semua pimpinan kepolisian harusnya mencapai standar Hoegeng itu.
Peristiwa yang menimpa Ismail Ahmad menyiratkan pesan besarnya harapan publik kepada institusi kepolisian. Masyarakat berharap munculnya sosok-sosok ”Hoegeng” berikutnya.
Baca juga : Polisi Jujur Bukan Hanya Jenderal Hoegeng, Jangan Berkecil Hati…