Amerika Serikat tidak bisa lagi melihat Arab Saudi seperti dua atau tiga dekade lalu. Kesejahteraan yang diraih Arab Saudi sekarang berkat perdagangan dengan Asia Timur, bukan dengan dunia Barat.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Kesepakatan normalisasi hubungan Arab Saudi-Iran dengan mediasi China pada 10 Maret 2023 menunjukkan kekuatan pengaruh China di Timur Tengah saat ini, khususnya di Arab Saudi. Isu kekuatan hubungan China-Arab Saudi terakhir ini menjadi semakin menarik mengingat Arab Saudi secara historis memiliki hubungan yang sangat kuat dengan AS.
Ada dua faktor terjalinnya hubungan historis AS-Arab Saudi tersebut. Pertama, tercapainya kesepakatan keamanan dengan imbalan minyak antara AS dan Arab Saudi. Kesepakatan itu tercapai antara Raja Arab Saudi Abdul Aziz dan Presiden AS Franklin D Roosevelt di atas kapal perang USS Murphy di Terusan Suez, Mesir, pada 14 Februari 1945. Transaksi itu menghasilkan komitmen AS menjamin keamanan Arab Saudi dengan imbalan jaminan suplai minyak dari Arab Saudi ke AS.
Kedua, keberpihakan Arab Saudi kepada AS pada masa Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, dengan dalih bahwa ideologi komunis yang diadopsi Uni Soviet merupakan ancaman terhadap eksistensi monarki di Arab Saudi.
Tentu AS merasa kurang nyaman melihat semakin kuatnya hubungan China-Arab Saudi terakhir ini, mengingat AS-China kini terlibat pertarungan cukup sengit di berbagai belahan dunia ini. Maka, pastinya kini juga ada persaingan AS-China di Arab Saudi, seperti halnya di belahan dunia lainnya.
Presiden AS dan China sama-sama mengunjungi Arab Saudi pada tahun 2022. Presiden AS Joe Biden mengunjungi Arab Saudi pada Juli 2022. Adapun Presiden China Xi Jinping mengunjungi Arab Saudi pada 8-9 Desember 2022.
AS tentu tidak mungkin bisa mendepak China dari Arab Saudi. Dengan kata lain, AS harus menerima fakta bahwa geopolitik dan ekonomi saat ini telah berubah total. AS tidak bisa lagi melihat Arab Saudi seperti dua atau tiga dekade lalu. Sebaliknya, Arab Saudi juga tidak bisa melihat AS seperti dua atau tiga dekade lalu.
Perubahan geopolitik dan ekonomi, yang mendorong hubungan China-Arab Saudi, itu semakin kuat. Selanjutnya, AS harus menerima kenyataan bahwa China menjadi saingannya di Arab Saudi. Sebaliknya, Arab Saudi harus bermain dua kaki antara China dan AS karena Riyadh tidak bisa memilih salah satu dari China dan AS.
Arab Saudi masih butuh AS soal keamanan karena sebagian besar persenjataan Arab Saudi masih dipasok dari AS. Selain itu, AS masih punya banyak pangkalan militer di kawasan Arab Teluk, seperti Pangkalan Armada V di Bahrain dan Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar.
Namun, kepentingan ekonomi Arab Saudi terbesar terakhir ini bersama China, bukan dengan AS. Perdagangan Arab Saudi terbesar saat ini dengan Asia Timur, khususnya China. Ekspor terbesar minyak Arab Saudi kini ke Asia Timur, terutama China, bukan ke AS dan Eropa.
Ekspor minyak Arab Saudi ke empat negara Asia saja, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, dan India, pada tahun 2020 mencapai 66 persen dari keseluruhan ekspor minyak Arab Saudi ke seluruh dunia. China kini menjadi importir minyak terbesar dari Arab Saudi. China saat ini mengimpor minyak lebih dari 3 juta barel per hari dari Arab Saudi dan negara Arab Teluk lain.
Impor Arab Saudi dari China pada tahun 2021 mencapai 20 persen dari keseluruhan impor Arab Saudi dari seluruh dunia. Adapun nilai impor Arab Saudi dari AS pada tahun 2021 hanya sekitar 10 persen yang didominasi senjata dan produk teknologi canggih, dari keseluruhan impor Arab Saudi. Neraca perdagangan China-Arab Saudi tahun 2021 mencapai sekitar 67 miliar dollar AS.
Arab Saudi melihat China dan Asia Timur sebagai mitra strategisnya di masa depan seiring dengan bergulirnya megaproyek Visi Arab Saudi 2030. Arab Saudi menyadari bahwa dunia ke depan semakin mengembangkan energi hijau dan mengurangi ketergantungan pada minyak.
Uni Eropa sudah mencapai kesepakatan bahwa semua kendaraan yang terdaftar di Eropa harus bebas dari emisi karbon pada tahun 2035 untuk mencegah polusi dan sekaligus membangun lingkungan hijau. Arab Saudi pun menyadari harus segera melakukan diversifikasi sumber ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada pendapatan dari minyak sebelum terlambat. Itulah, antara lain, pemikiran di balik Arab Saudi meluncurkan Visi 2030 dengan visi diversifikasi sumber ekonomi pada tahun 2016 lalu.
Arab Saudi juga melihat bahwa untuk menyukseskan Visi Arab Saudi 2030, mereka kini sangat tergantung pada Asia Timur, khususnya China, mengingat perdagangan terbesar Arab Saudi saat ini dengan China. Kesejahteraan yang diraih Arab Saudi sekarang berkat perdagangan dengan Asia Timur, bukan dengan dunia Barat.
Kesejahteraan yang diraih Arab Saudi sekarang berkat perdagangan dengan Asia Timur, bukan dengan dunia Barat.
Semua faktor ini ada di balik Arab Saudi membuka pintu selebar-lebarnya kepada China. Semua faktor ini pula di balik Arab Saudi luluh menerima mediasi China untuk normalisasi hubungan dengan musuh bebuyutannya, Iran, pada 10 Maret 2023.
Fakta baru tentang geoekonomi di Arab Saudi dan juga Timur Tengah membuka arena persaingan AS-China di Arab Saudi. Ini tentu tidak mudah bagi Arab Saudi. Arab Saudi harus mengantisipasi kemungkinan terburuk, yakni muncul kemarahan AS. Misalnya, AS memberi persyaratan sedemikian rupa kepada Arab Saudi untuk mendapatkan persetujuan penjualan senjata canggih buatan AS ke Arab Saudi.
Karena itu, Arab Saudi mulai tampak melakukan diversifikasi sumber persenjataan canggih yang selama ini sangat tergantung pada AS. Bahkan, Arab Saudi mulai mengimpor senjata dari China yang jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 386 persen dalam beberapa tahun terakhir ini. Arab Saudi terakhir ini juga mulai mengembangkan industri militernya di dalam negeri dengan bantuan sumber daya manusia dan teknologi dari sejumlah negara maju, seperti Perancis, Inggris, Rusia, China, dan Korea Selatan.
Sejak Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) memangku jabatan sebagai putra mahkota pada tahun 2017, kebijakan luar negeri Arab Saudi semakin cenderung ingin independen, yang secara historis sangat pro-Barat, khususnya AS. Arab Saudi, misalnya, memilih netral dalam isu perang Rusia-Ukraina dan menolak bujukan AS agar memihak Ukraina.
Di bawah kepemimpinan MBS itu pula, Arab Saudi berubah wajah, yakni Arab Saudi yang lebih otonom. Wajah baru Arab Saudi itu dimanfaatkan oleh China untuk semakin bercokol di negeri itu dan mampu bersaing dengan AS.