Di Balik Keinginan Netanyahu Mereformasi Peradilan Israel
PM Israel Benjamin Netanyahu dan kubunya salah kalkulasi saat menggulirkan keinginan mereformasi lembaga peradilan di negaranya. Meski kekuatan politik mereka kuat, publik Israel dan militer memberikan penolakan keras.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Beberapa pekan terakhir ini, Israel kisruh dengan gerakan unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota Israel, khususnya di kota Tel Aviv dan Jerusalem, untuk melawan kebijakan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang hendak mereformasi lembaga peradilan di Israel.
Netanyahu dan kubunya menyatakan, harus ada perubahan sistem peradilan di Israel yang kemudian mereka sebut sebagai proyek reformasi peradilan. Namun, kubu penentangnya menyebut proyek itu sebagai agenda yang meruntuhkan sendi demokrasi di Israel dan sekaligus menggiring negara Israel ke arah kultur diktator.
Masalah inilah yang kini melahirkan perpecahan terburuk di Israel sejak negara itu berdiri pada 1948. Bahkan, sejumlah pengamat mengungkapkan, jika dua kubu yang berseteru di Israel gagal mencapai solusi kompromi, tidak menutup kemungkinan pecah perang saudara, atau minimal krisis politik akut, di Israel.
Mengapa Netanyahu dan kubunya saat ini berani melontarkan kebijakan reformasi peradilan di Israel? Hal ini tentu lantaran Netanyahu dan kubunya kini terlalu percaya diri karena hegemoni kubu kanan di pentas politik Israel dalam beberapa dekade terakhir ini.
Kubu kanan Israel saat ini praktis tanpa saingan di pentas politik negara itu. Rivalnya, kubu kiri, sangat lemah, untuk tidak mengatakan ambruk, sejak tewasnya mendiang PM Yitzhak Rabin pada 1995.
Netanyahu sendiri sudah tiga kali menjabat PM Israel, yakni pada 1996-1999, kemudian 2009-2021, dan lalu menjabat PM lagi mulai Desember 2022 sampai saat ini.
Pada 29 Desember 2022, PM Netanyahu membentuk pemerintah koalisi yang terdiri enam partai dengan latar belakang ideologi kanan dan agama, yaitu Likud, Shas, United Torah Judaism, Religious Zionist Party, Otzma Yehudit, dan Noam. Keenam partai tersebut menguasai 64 dari 120 kursi di Knesset. Posisi mereka cukup kuat dalam pentas politik Israel saat ini. Di luar koalisi pemerintahan itu, masih ada tiga partai dari kubu kanan yang memilih berada di luar pemerintahan, yaitu Yisrael Beiteinu, National Unity, dan Yesh Atid.
Dengan demikian, begitu banyaknya jumlah partai kanan di Israel menunjukkan bahwa Israel semakin mengarah ke kanan. Kubu kanan Israel tersebut kemudian ditopang oleh kubu agama, seperti partai Shas, United Torah Judaism, dan Religious Zionist Party.
Dengan kalkulasi politik yang menunjukkan hegemoni kekuatan kubu kanan dan agama tersebut, Netanyahu dan kubunya sangat percaya diri akan bisa menggulirkankan reformasi lembaga peradilan di Israel tanpa hambatan politik berarti.
Mangapa Netanyahu harus melakukan reformasi lembaga peradilan di Israel? Ada dendam politik Netanyahu dan kubunya terhadap lembaga peradilan yang telah menyeret Netanyahu dan kubunya dengan dakwaan yang mengancamnya masuk penjara.
Seperti diketahui, Netanyahu dan lembaga peradilan Israel sudah lama berseteru. Jaksa Penuntut Umum Israel Avichai Mendelblit pada 28 Februari 2019 mengumumkan tiga dakwaan pidana terhadap Netanyahu terkait korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penerimaan suap.
Tiga dakwaan pidana tersebut merupakan kasus lama yang di kalangan media Israel dikenal dengan nama kasus 1000, 2000, dan 4000. Kasus 1000 adalah kasus Netanyahu dan istrinya menerima hadiah barang-barang berharga senilai 240.000 dollar AS dari produser film warga Israel yang bermukim di AS dan senilai 72.000 dollar AS dari pengusaha Australia. Barang mewah itu berupa berlian, sampanye, dan rokok kuba yang diterima dari 2007 hingga 2016.
Adapun kasus dokumen 2000 adalah kasus Netanyahu meminta kepada pemilik harian Yedioth Ahronoth, Arnon Mozes, memperbaiki pemberitaan terkait Netanyahu dengan imbalan Netanyahu akan menggembosi oplah harian Yisrael Hayom, media saingan Yedioth Ahronoth.
Ada dendam politik Netanyahu dan kubunya terhadap lembaga peradilan yang telah menyeret Netanyahu dan kubunya dengan dakwaan yang mengancamnya masuk penjara.
Adapun kasus 4000 adalah kasus Netanyahu memberikan fasilitas dan kemudahan kepada perusahaan media dan telekomunikasi Israel, Bezeq-Walla, dengan imbalan perusahaan media itu mengharumkan citra Netanyahu dalam pemberitaan mereka.
Selain itu, Netanyahu ingin, dengan agenda reformasi peradilan, disahkan undang-undang (UU) yang membebaskan perdana menteri Israel dari kewajiban membayar pajak dan disahkan pula UU yang mencegah penasihat hukum pemerintah bisa mengumumkan bahwa perdana menteri tidak dapat menjalankan tugasnya dan harus berhenti sebagai perdana menteri.
Netanyahu juga ingin, lewat reformasi peradilan, disahkan UU yang mengizinkan sahabatnya dalam koalisi pemerintahan, yaitu Ketua Partai Shas Aryeh Deri, bisa menjabat menteri lagi. Saat ini, Mahkamah Agung Israel melarang Deri menjabat menteri karena dituduh terlibat beberapa kasus kriminal, termasuk aksi pengemplangan pajak.
Netanyahu pada 22 Januari 2023 terpaksa memecat Deri sebagai menteri dalam negeri yang merangkap menteri kesehatan karena ada penolakan dari Mahkamah Agung atas penunjukan Deri sebagai menteri itu. Knesset Israel melalui proses politik kini tengah menggulirkan rancangan undang-undang (RUU) yang akan mengizinkan Deri menjabat menteri lagi. Namun, para politisi di Knesset khawatir, setelah disahkan Knesset, RUU itu nanti akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Melalui reformasi peradilan, Netanyahu juga menginginkan hukum syariah Yahudi menjadi sumber hukum sipil di Israel untuk memenuhi aspirasi partai-partai agama yang bergabung dalam koalisi pemerintahan. Partai-partai agama di Israel juga menaruh dendam terhadap lembaga peradilan karena mewajibkan siswa-siswa sekolah agama ikut wajib militer. Dengan reformasi lembaga peradilan itu, Netanyahu ingin membebaskan siswa-siswa sekolah agama dari wajib militer.
Kalkulasi Netanyahu dan kubunya bahwa agenda reformasi lembaga peradilan tidak menghadapi tantangan politik di Knesset adalah benar. Akan tetapi, mereka salah kalkulasi karena agenda reformasi lembaga peradilan mendapat penolakan keras dari publik Israel dan komponen-komponen penting negara Israel, terutama kalangan militer.
Netanyahu terpaksa memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada 27 Maret 2023 karena Gallant ikut menolak agenda reformasi lembaga peradilan itu. Berbagai lapisan masyarakat di Israel terus menggelar unjuk rasa dan mogok kerja, menolak agenda reformasi lembaga peradilan itu yang dianggap akan mengubur sistem demokrasi di Israel dan melanggengkan kekuasaan kubu kanan-agama.
Serikat pekerja Israel telah menyerukan mogok kerja. Banyak anggota militer memilih tidak aktif bekerja. Negara Israel pun saat ini praktis lumpuh.
Netanyahu kini dalam keadaan dilematis. Di satu pihak, ia pada Senin (27/3/2023) menyerukan dialog dengan kubu oposisi dan membekukan sementara proses agenda reformasi lembaga peradilan hingga sesi parlemen musim panas nanti. Namun, di pihak lain, ia menghadapi ancaman dari mitra koalisinya yang berhaluan radikal, seperti Aryeh Deri dan Menteri Urusan Keamanan Itamar Ben-Gvir.
Dua politisi sayap kanan itu mengancam akan meninggalkan koalisi jika Netanyahu membatalkan agenda reformasi lembaga peradilan. Inilah situasi paling sulit yang dialami Israel sejak berdirinya negara itu tahun 1948. Hingga pekan ini, episode krisis itu masih belum berakhir.