Netanyahu Pimpin Pemerintahan Berhaluan Paling Kanan dalam Sejarah Israel
Benjamin Netanyahu kembali ditunjuk sebagai Perdana Menteri Israel. Pemerintahan Netanyahu kali ini dinilai mengkhawatirkan karena terdiri atas koalisi partai-partai ultranasionalis dan garis keras.
JERUSALEM, JUMAT — Pemerintahan berhaluan paling kanan dan beraliran garis keras dalam sejarah Israel kini berkuasa. Benjamin Netanyahu resmi kembali menjadi Perdana Menteri Israel dan memimpin pemerintahan paling kanan dalam 74 tahun sejarah Israel. Pemerintahan Netanyahu dilantik di parlemen Israel, Knesset, di Jerusalem, Kamis (29/12/2022).
Pada pemerintahan kali ini, Partai Likud pimpinan Netanyahu membentuk koalisi dengan partai-partai ultra-ortodoks dan ekstrem kanan, seperti partai Zionisme Religius dan Partai Kekuatan Yahudi. Ada kekhawatiran baik di dalam maupun luar negeri bahwa koalisi pemerintahan Netanyahu ini akan memperparah konflik dengan Palestina, khususnya terkait perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan pembatasan hak-hak kelompok minoritas.
Menepis kekhawatiran tersebut, Netanyahu berjanji akan tetap mengupayakan perdamaian, menjamin semangat toleransi, dan melindungi hak-hak sipil.
Baca juga : Netanyahu dan Koalisi Sayap Kanan Diprediksi Memenangi Pemilu Israel
Netanyahu (73), saat dilantik sebagai PM Israel, Kamis (29/12/2022), berusaha menenangkan rakyat sejak koalisi yang dipimpinnya memperoleh suara mayoritas di parlemen hasil pemilihan umum pada 1 November lalu. Akan tetapi, keberadaan dua partai yang tergabung dalam koalisinya itu membuat khawatir banyak pihak. Kedua partai itu diketahui selama ini menentang upaya pendirian negara Palestina, kelompok minoritas Arab, dan hak-hak LGBTQ.
Ketika berbicara pada sidang di Knesset, Netanyahu menyatakan, upaya mengakhiri konflik Arab-Israel akan menjadi prioritas utamanya, diikuti dengan upaya menghentikan program pengembangan nuklir Iran dan meningkatkan kapasitas militer Israel. Untuk membantu dalam bidang kebijakan luar negeri, Netanyahu memilih mantan Menteri Intelijen Israel Eli Cohen, yang menjadi arsitek perjanjian normalisasi antara Israel dan beberapa negara Arab, menjadi menteri luar negeri.
Ketika berbicara di parlemen, Netanyahu berjanji akan mengatasi masalah meningkatnya biaya hidup dan menyuarakan harapan untuk ”memperluas lingkaran perdamaian” dengan negara-negara Arab serta melanjutkan perjanjian normalisasi yang dimediasi oleh Amerika Serikat dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Maroko.
”Pemerintahan ini akan memulihkan pemerintahan, perdamaian, dan keamanan pribadi bagi warga Israel. Saya mendengar keluhan dari oposisi tentang ’akhir negara’, ’akhir demokrasi’. Kalah dalam pemilihan bukanlah akhir dari demokrasi. Ini inti dari demokrasi,” kata Netanyahu. Saat berpidato, ia dicemooh oleh lawan-lawan politiknya dengan teriakan, ”Lemah! Lemah!”
Terlepas dari susunan mayoritas kabinet sayap kanan yang sangat konservatif, dengan sejumlah anggota kerap melontarkan komentar anti-LGBTQ, parlemen memilih Amir Ohana, seorang loyalis Netanyahu yang secara terbuka mengaku gay, untuk menjadi ketua parlemen.
Buruk bagi kawasan
Bagi Palestina, pemerintahan baru Netanyahu memudarkan harapan adanya titik terang dalam persoalan pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat. Partai Likud pimpinan Netanyahu mengatakan, pemerintahannya akan memperluas permukiman di tanah yang mereka klaim sebagai hak eksklusif dan tak bisa terbantahkan bagi orang-orang Yahudi.
”Ini eskalasi yang berbahaya dan berdampak buruk pada kawasan,” kata Nabil Abu Rudeineh, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Baca juga : Kemenangan Koalisi Netanyahu Kobarkan Kebangkitan Ekstrem Kanan di Israel
Demi mewujudkan ambisi kembali memimpin pemerintahan, Netanyahu diduga ”terpaksa” menandatangani kesepakatan dengan partai-partai garis keras setelah partai-partai berhaluan liberal tidak mau mendukung pemerintahannya. Mereka tak mau mendukung Netanyahu yang tengah menjalani proses peradilan dalam kasus suap, korupsi, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan. Semua dakwaan itu dibantah Netanyahu.
Netanyahu sudah menjabat sebagai PM lebih lama dari siapa pun dalam sejarah Israel. Ia berkeyakinan, semua tuduhan dan kasus itu bermotif politis. Netanyahu memimpin Israel mulai dari tahun 1996 hingga 1999 dan 2009 hingga 2021.
Pada Juni 2021, Netanyahu digulingkan oleh koalisi sayap kiri, tengah, dan partai-partai Arab yang dipimpin politisi sayap kanan Naftali Bennett dan mantan pembawa berita televisi Yair Lapid. Menyusul kemenangannya pada pemilu 1 November lalu, Netanyahu menggalang pembicaraan dengan partai-partai ultra-ortodoks dan ekstrem kanan, di antaranya partai Zionisme Religius pimpinan Bezalel Yoel Smotrich dan Partai Kekuatan Yahudi pimpinan Itamar Ben-Gvir. Kedua pemimpin partai ultranasionalis garis keras ini selama ini dikenal kerap mengeluarkan komentar yang menghasut tentang Palestina.
Baca juga : Permusuhan Abadi Iran-Israel
Ben-Gvir bahkan pernah memasang foto di rumahnya berupa foto seorang pria bersenjata yang membantai jemaah Palestina. Smotrich kini akan mengambil alih kebijakan permukiman Israel di Tepi Barat, sementara Ben-Gvir akan menjadi menteri keamanan nasional yang memiliki kewenangan dan kekuasaan atas polisi yang beroperasi di Tepi Barat, wilayah pendudukan yang dikontrol Israel sejak 1967.
Sekutu dekat gelisah
Netanyahu menggambarkan dirinya dalam otobiografinya baru-baru ini sebagai ”orang yang konservatif, tetapi jelas tidak ekstrem”. Persekutuannya dengan partai-partai ekstrem kanan garis keras kemungkinan besar akan memberi banyak tantangan. Bahkan, sekutu terdekat Israel pun mulai gelisah.
Presiden AS Joe Biden, Kamis, seperti kembali mengingatkan Israel bahwa Netanyahu adalah ”temannya”. Akan tetapi, meski teman, Biden akan tetap menentang kebijakan apa pun dari Israel yang mengancam konsep solusi dua negara dengan Palestina.
Meski berteman dengan Netanyahu, Biden akan tetap menentang kebijakan apa pun dari Israel yang mengancam konsep solusi dua negara dengan Palestina.
”Saya berharap bisa bekerja sama dengan PM Netanyahu, yang sudah menjadi teman saya selama beberapa dekade, untuk bersama-sama mengatasi banyak tantangan dan peluang yang dihadapi Israel di Timur Tengah, termasuk ancaman dari Iran,” sebut Biden dalam pernyataan tertulisnya.
Baca juga : Lahirnya Kultur Politik Baru di Israel
Ketika Netanyahu membentuk koalisi, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan, pemerintahan Biden akan menilai kabinet Netanyahu berdasarkan kebijakan yang dibuat dan bukan dari sisi kepribadian orang yang membentuk pemerintahannya. Washington berharap, pemerintahan Netanyahu mendorong moderasi dan segera mengadakan pertemuan dengan para menlu negara-negara Arab yang mengakui Israel.
Tiga negara Arab, yakni UEA, Bahrain, dan Maroko, menormalisasi hubungan dengan Israel pada tahun 2020 dalam kesepakatan yang disebut Abraham Accords. Ini dianggap sebagai puncak capaian Netanyahu. Biden menyatakan, AS sedang berupaya untuk mempromosikan kawasan yang semakin terintegrasi, makmur, dan aman serta memberi manfaat bagi seluruh rakyatnya.
Dari Moskwa, Presiden Rusia Vladimir Putin juga menyatakan menyambut baik terpilihnya kembali Netanyahu. Putin berharap, pemerintahan Netanyahu akan melanjutkan kerja sama yang kuat di berbagai bidang dengan Rusia demi kepentingan rakyat serta memastikan perdamaian dan keamanan di Timur Tengah.
”Di Rusia, kami sangat menghargai kontribusi pribadi dan jangka panjang Israel untuk memperkuat hubungan persahabatan antara kita,” sebut Putin dalam pesan tertulis kepada Netanyahu.
Baca juga : Kecohan Pesawat Nirawak di Medan Perang, dari Taktik Israel hingga Perang Ukraina
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, Februari lalu, Israel mengambil sikap hati-hati terhadap Rusia dan berusaha untuk menjaga posisi netral. Israel secara khusus menekankan hubungan khusus antara kedua negara itu karena Israel menampung lebih dari 1 juta warga yang berasal dari bekas Uni Soviet. Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan siap untuk kerja sama yang konstruktif dengan Israel untuk ”menjernihkan iklim di Timur Tengah dan kancah internasional secara umum”.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy juga mendoakan melalui cuitan di Twitter agar Netanyahu ”sukses menuju kesejahteraan dan keamanan Israel”. Ia menulis, Ukraina siap bekerja sama memperkuat ikatan kedua negara serta menghadapi tantangan bersama untuk mencapai kemakmuran dan kemenangan atas kejahatan. Sampai sekarang, Israel belum memberikan pasokan persenjataan ke Ukraina meski Zelenskyy sudah memintanya berulang kali.
Terancam
Para analis mengatakan, Netanyahu menawarkan konsesi yang luas kepada kelompok ekstrem kanan dengan harapan ia akan memperoleh kekebalan yudisial atau pembatalan persidangan korupsinya. Untuk ”imbal baliknya”, kelompok Ben-Gvir akan menguasai Tepi Barat. Ben-Gvir sudah beberapa kali mendatangi kompleks Masjid Al-Aqsa di Jerusalem, situs paling suci ketiga dalam Islam yang juga dianggap tempat paling suci bagi pemeluk Yahudi dengan nama Temple Mount.
Di bawah status quo sejarah, warga non-Muslim dapat mengunjungi kompleks Masjid Al-Aqsa, tetapi tidak boleh berdoa di sana. Masyarakat Palestina akan melihat kunjungan seorang menteri Israel yang aktif bertugas ke situs itu sebagai provokasi. ”Jika Ben-Gvir sebagai menteri pergi ke Al-Aqsa, hal itu akan memicu konflik,” kata Basem Naim, pejabat gerakan Hamas, yang menguasai Jalur Gaza.
Hamas dan Israel pernah berperang pada Mei 2021. Pada Agustus tahun ini, kelompok pejuang Palestina lain di Gaza dan Israel terlibat saling menembak dengan roket dan rudal selama tiga hari.
Sedikitnya 600.000 warga Yahudi tinggal di sekitar 140 permukiman yang dibangun sejak pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jerusalem Timur pada tahun 1967. Sebagian besar masyarakat internasional menyatakan permukiman itu ilegal menurut hukum internasional, meski Israel membantahnya.
Di kawasan itu juga terdapat sekitar 100 pos terdepan atau permukiman kecil yang dibangun tanpa otorisasi Pemerintah Israel. Dalam kesepakatan koalisi dengan partai Zionisme Religius, Netanyahu setuju untuk melegalkan pos terdepan. Ia juga berjanji mencaplok Tepi Barat sambil ”memilih waktu dan menimbang semua kepentingan nasional dan internasional negara Israel”.
Mitra koalisi Netanyahu juga menolak gagasan solusi dua negara untuk penyelesaian konflik Palestina-Israel. Padahal, solusi dua negara hingga saat ini menjadi formula perdamaian yang didukung komunitas internasional. Dengan formula tersebut, diharapkan berdiri negara Palestina merdeka di Tepi Barat, berdampingan dengan Israel, dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina.
Baca juga : 1.200 Penduduk Palestina Bersiap Hadapi Penggusuran Paksa
Mantan PM Israel Yair Lapid, yang kini memimpin oposisi, kepada parlemen mengatakan bahwa ia menyerahkan Israel kepada pemerintahan baru dalam kondisi ”sangat baik dengan perekonomian yang kuat dan kemampuan pertahanan yang lebih baik”. ”Usahakan untuk tidak menghancurkannya. Kami akan segera kembali,” kata Lapid. (REUTERS/AFP/AP)