Kampung Adat Baru di IKN?
Masyarakat adat di wilayah pembangunan IKN tidak menolak IKN, tetapi menolak digusur dari kampung halamannya. Perlu ada terobosan hukum, misalnya dengan membangun kampung-kampung adat baru sebagai bagian integral IKN.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam pemindahan ibu kota negara ke Nusantara, nama baru ibu kota negara itu, adalah soal keberadaan masyarakat adat (Bappenas, 2019).
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersikap kritis soal ini. IKN adalah proyek genosida budaya, tulis Arman Muhammad, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM AMAN (Media Indonesia, 14 Oktober 2022).
Masalah masyarakat adat ini bak duri dalam daging: ”kecil, menyakitkan, dan bisa menimbulkan infeksi yang berkepanjangan”.
Baca juga: Menjaga Marwah Indonesia Sentris IKN
Minoritas di kampung sendiri
Secara administratif, kawasan IKN mencakup 51-53 desa/kelurahan yang tersebar pada enam kecamatan. Di desa/kelurahan itu terdapat warga dari suku-bangsa yang sangat beragam, baik ”asli” maupun pendatang.
Khusus di ”zona inti” IKN, menurut beberapa sumber, bahkan, hanya di Kelurahan Pamaluan dan Desa Binuang (pemekaran dari Kelurahan Mentawir) yang benar-benar mayoritas berasal dari suku Balik, suku yang mendaku sebagai penduduk asli di daerah itu. Di dua kelurahan lainnya, Mentawir dan Meridan, dua perkampungan tua Suku Balik lainnya, jumlah mereka sudah sangat minoritas. Tidak sampai 10 persen dari total jumlah penduduk.
Berdasarkan catatan yang ada, keseluruhan wilayah Kecamatan Sepaku saat ini awalnya merupakan empat wilayah kelurahan. Empat wilayah ini merupakan bagian dari wilayah Kota Balikpapan, meskipun karekteristik sosio-demografis Kelurahan Mentawir, Meridan, Pamaluan, dan Sepaku itu menunjukkan karakteristik perdesaan.
Program transmigrasi memang telah mengubah struktur ruang dan komposisi demografi di kawasan IKN.
Belakangan, status yang semula disyukuri itu malah membawa petaka. Dalam 40 tahun terakhir (1986-2022), empat kelurahan itu telah mekar menjadi empat kelurahan dan 11 desa. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 57/TH-Pem/1968, tanah seluas 30.000 hektar diubah statusnya dari kawasan hutan menjadi kawasan permukiman transmigrasi (dengan status lahan sebagai alokasi penggunaan lain/APL). Kawasan hutan yang dilepaskan itu telah berkembang menjadi 11 desa.
Malangnya, pusat-pusat permukiman dan perladangan/perkebunan yang dihuni oleh suku Balik di keempat kelurahan itu justru tidak termasuk ke dalam agenda perubahan status kawasan hutan (Kusumawardhani, 2022).
Program transmigrasi memang telah mengubah struktur ruang dan komposisi demografi di kawasan IKN. Warga dari kelompok etnik Balik (dari daerah lain), serta Paser, Kutai, dan dari sub-sub etnik Dayak lainnya di 11 desa saat ini, umumnya datang ke kawasan itu juga melalui program transmigrasi (transmigrasi lokal), selain ada juga yang datang secara sukarela.
Jatuh tertimpa tangga
Perbedaan status kawasan berdampak langsung kepada aspek legalitas tanah. Saat ini status legal tanah yang berada di desa sudah banyak yang berupa sertifikat hak milik (SHM). Sementara status tanah di kelurahan dengan sendirinya tidak demikian. Tidak sedikit yang tidak memiliki alas hak sama sekali, kecuali sejarah pengusaannya saja. Orang Balik, dengan demikian, ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Perbedaan alas hak menentukan nilai ganti rugi yang dapat diterima. Meskipun tidak/belum pernah menjadi sumber persengketaan terbuka, secara diam-diam hal ini telah menimbulkan kecemburuan yang bersifat laten.
Seiring proses pengadaan tanah untuk proyek IKN, di mana banyak lahan/tanah yang dikuasai penduduk terpaksa dilepaskan karena akan digunakan oleh proyek IKN, kecemburuan itu mulai terwujud ke dalam pernyataan yang eksplisit. Laporan Badan Riset dan Inovasi Nasional (2022) mencatat, seiring waktu, tensi hubungan antara kelompok etnik yang berbeda itu telah meningkat.
Baca juga: Ganti Rugi Lahir Batin Masyarakat Lokal Terdampak IKN
Selain berpotensi memicu konflik, persoalan ini setidaknya bisa menjadi sumber citra negatif atas niat baik pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara. Oleh sebab itu, hal ini perlu dipikirkan jalan keluarnya secara serius.
Laporan Bappenas (2019) telah merekomendasikan bahwa rencana pembangunan IKN bisa menjadi momentum penyelesaian berbagai masalah pertanahan yang telah terjadi sejak puluhan tahun lalu itu.
Perlu terobosan
Agar penderitaan suku Balik ini tidak berlanjut, perlu dicarikan kebijakan-kebijakan terobosan yang dapat memenangkan hati dan kepentingan mereka. Toh, sudah ada kebijakan pasca-reformasi yang mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, termasuk yang ada dalam kawasan hutan.
Merujuk kepada konstitusi (UUD 1945), khususnya Pasal 28i ayat (3), suku Balik dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat cq masyarakat tradisional. Maka, negara wajib mengakui dan melindungi hak-hak konstitusionalnya.
Hal ini bukan berarti tanah/lahan yang pernah digarap para pendahulu suku Balik yang saat ini berada di kawasan hutan dan hak guna usaha (HGU) bukannya tidak ada.
Dari cerita para tokoh-tokoh suku Balik, saat ini tanah-tanah yang secara empiris mereka kuasai berasal dari warisan para pendahulu yang mereka sebut setuwon (secara harafiah berarti adalah orang yang pertama kali membuka daerah permukiman dan perladangan yang bersangkutan). Ke depan, tanah-tanah yang dikuasai itu juga akan diwariskan kepada anak-anak (laki-laki) mereka.
Merujuk kepada Soemardjono (2019), tanah-tanah adat yang sedemikian rupa dikategorikan sebagai tanah adat/tanah komunal yang bersifat privat. Hal ini bukan berarti tanah/lahan yang pernah digarap para pendahulu suku Balik yang saat ini berada di kawasan hutan dan hak guna usaha (HGU) bukannya tidak ada. Apalagi, berbagai artefak (benda-benda dan/atau jejak budaya material dari masa lalu), menurut beberapa informan, masih dapat ditemukan.
Sebagaimana banyak dilaporkan media massa, persoalan tanah, termasuk nasib kelanjutannya sebagai tempat tinggal dan tempat mencari penghidupannya, memang menjadi salah satu persoalan yang menonjol. Mulai dari proses sosialisasi rencana penggunaan tanah oleh proyek yang tidak terbuka, nilai ganti rugi, bahkan hingga rencana penggunaan tanah dan nasib mereka pasca-pelepasan hak. Gelap!
Kampung adat baru?
Kebijakan land freezing (larangan peralihan hak atas tanah) dan pemburuan rente harga tanah oleh para spekulan telah menyulitkan para pihak yang telah bersedia melepaskan haknya kepada IKN untuk mendapatkan tanah pengganti. Kecuali, mendapatkan tanah pengganti yang jauh dari kampung halamannya.
Menurut beberapa tokoh adat suku Balik dan pendampingnya, yang realistis saat ini adalah mengakui tanah-tanah (adat) yang secara efektif masih dikuasai/dimanfaatkan. Itu berarti tanah yang secara sosial-historis dapat dibuktikan keabsahan penguasaan secara adat dapat ditingkatkan alas haknya menjadi sertifikat hak milik (SHM) individual ataupun komunal.
Memang perlu terobosan hukum. Otorita IKN bisa berperan aktif dalam pengadaan lahan (UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Nusantara, Pasal 16 ayat 4). Peraturan Pemerintah No 19/2021 jo Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pun dapat digunakan. Pasal 76 jelas mengatur soal tanah pengganti dan/atau permukiman kembali sebagai bentuk kompensasi.
Baca juga: Tentang Satu Masa Depan Nusantara
Toh, hasil rapat bersama yang ditandatangani oleh 90-an warga suku Balik, pertengahan Maret 2023, menyatakan bahwa mereka menolak digusur dari kampung halamannya! Tidak menolak IKN.
Maka, saatnya pengelola IKN bisa menjawab tantangan itu. Misalnya dengan membangun kampung-kampung adat baru sebagai bagian integral IKN, tentu atas kesepakatan bersama.
Dengannya, tuduhan IKN telah/akan merugikan masyarakat adat, setidaknya mulai dipikirkan jalan keluarnya.
R Yando Zakaria, Antropolog, Fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KASRA) dan Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (Pustaka)