Persoalan masyarakat adat di Ibu Kota Negara yang baru perlu dicermati. Mereka merupakan kelompok yang paling rentan. Jika tidak ada kebijakan yang melindunginya, bukan tidak mungkin mereka akan tergusur.
Oleh
R YANDO ZAKARIA
·4 menit baca
Ibu Kota Negara yang baru merupakan wujud perubahan peradaban Indonesia dengan menghadirkan konsep pembangunan Indonesia sentris. Pembangunan dan angka perekonomian daerah yang tinggi nanti tidak lagi hanya terpusat di Pulau Jawa. Demikian disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat sosialisasi bertajuk ”Ibu Kota Nusantara, Sejarah Baru Peradaban Baru” di Jakarta (18 Oktober 2022).
Sekitar dua tahun sebelumnya, Fahry Ali, seorang pengamat politik, mengatakan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) akan jadi awal era post-Java. Peta politik dan kekuasaan di Tanah Air yang semula berpusat pada tradisi dan gagasan kebudayaan Jawa yang bersifat elitis akan menjadi lebih bersifat kerakyatan yang egaliter (Koran Sindo, 19 September 2029).
Sementara itu, penulis berpandangan bahwa impian tersebut hanya akan terwujud jika IKN Nusantara mampu mewujudkan dirinya sebagai ibu kota yang inklusif (sosial dan lingkungan). Itu hanya bisa jadi kenyataan jika persoalan-persoalan ketidakkeadilan yang pernah dan masih berlangsung di kawasan itu dapat ditangani dengan baik (Kompas, 31 Agustus 2022).
Kajian Bappenas (2019) menunjukkan bahwa terdapat tiga isu sosial yang penting. Masing-masing masalah identitas dan kebudayaan; masalah tanah dan kepemilikan lahan; serta masalah kesempatan bekerja dan berusaha. Dua masalah pertama berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat adat.
Temuan Bappenas sejalan dengan klaim Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Menurut AMAN, dampak paling nyata tentu saja soal keberlanjutan hidup masyarakat adat itu (Media Indonesia, 14 Oktober 2022).
Klaim tersebut tidak berlebihan. Saat ini saja populasi masyarakat adat yang ada di kawasan IKN, menurut sumber yang layak dipercaya, hanya tersisa 2 persen. Sebuah berita melaporkan warga suku Balik yang mengklaim diri sebagai penduduk asli kawasan itu hanya sekitar 100 keluarga.
Saat ini saja populasi masyarakat adat yang ada di kawasan IKN, menurut sumber yang layak dipercaya, hanya tersisa 2 persen.
Populasi masyarakat adat yang jauh lebih besar tentu yang berada di luar kawasan IKN. Dalam jangka panjang, jika tidak ada kebijakan yang melindunginya, bukan tidak mungkin akan tergusur pula.
Masalah pertanahan di Kalimantan Timur sudah jadi persoalan akut sejak lama. Klaim hak ulayat tumpang tindih dengan perizinan hak pengusahaan hutan (HPH), hutan taman industri (HTI), dan hak guna usaha (HGU), pertambangan, taman hutan raya (tahura), serta transmigrasi. Belum lagi hasil pendudukan oleh pihak-pihak tertentu lainnya. Belakangan fenomena spekulasi tanah juga meningkat dan kebijakan daerah untuk mengatasi persoalan ini sepertinya belum mempan (BRIN, 2021).
Kelompok warga yang paling rentan tentu saja adalah masyarakat adat. Warga asal program transmigrasi ataupun kaum migran yang datang secara sukarela ke kawasan itu telah melindungi penguasaan tanahnya dengan sertifikat hak milik (SHM).
Masyarakat adat paling banter hanya memegang surat keterangan tanah. Tidak sedikit yang hanya berupa bukti ”tanam tumbuh” (kondisi de facto semata). Perbedaan alat bukti ini menentukan tinggi-rendahnya biaya ganti rugi. Ini jadi faktor pemicu kecemburuan antarwarga.
Amanat konstitusi
Menurut Bappenas, pembangunan IKN bisa menjadi momentum penyelesaian berbagai masalah pertanahan yang terjadi sejak puluhan tahun lalu itu. Masyarakat memiliki harapan adanya perbaikan regulasi pertanahan agar persoalan-persoalan yang ada dapat teratasi.
Rekomendasi Bappenas tersebut valid. Menurut Kusumawardhani (2022), lemahnya aspek legalitas kepemilikan/penguasaan atas tanah, terutama dari komunitas adat, dan kurangnya sosialisasi dalam mencapai kesepakatan pelepasan hak mengindikasikan situasi eksklusi tanah di masa depan. Eksklusi ini akan berdampak pada karakteristik populasi di kawasan itu di masa depan. Fenomena ”orang miskin kota” cq IKN Nusantara bukan tidak mungkin terjadi.
Meski konstitusi tidak mengenal terma masyarakat adat (indigenous peoples), terdapat tiga pasal yang mengandung pesan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Pasal 18B Ayat (2) menyebut terma masyarakat hukum adat; Pasal 28i Ayat (3) menyebut masyarakat tradisional, dan sampai pada tingkat tertentu, juga terkandung pada Pasal 32.
Ketiga pasal ini mengandung original intended (niat asali) yang berbeda. Pasal 18B Ayat (1) dan (2) mengatur soal subyek hak dalam urusan pemerintahan; Pasal 28i Ayat (3) mengatur hak-hak tradisional sebagai HAM; sedangkan Pasal 32 memerintah Negara melaksanakan pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak tradisional yang melekat pada masing-masing subyek hak yang bisa saja mengampu hak yang berbeda. Dengan demikian, adalah keliru jika ada yang mengatakan ketiga pasal itu saling bertumpang tindih.
Masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional adalah dua konsep yang ”serupa tetapi tidak sama”. Masyarakat hukum adat merupakan salah satu bentuk struktur masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1979), bentuk-bentuk kolektiva manusia itu adalah dimulai dari satuan yang lebih besar hingga yang lebih kecil, adalah negara; sukubangsa (ethnic groups); desa atau/atau komunitas (village or community) kelompok-kelompok kekerabatan; dan berbagai bentuk kategori sosial, golongan sosial, kelompok sosial, dan hingga perkumpulan yang terbentuk oleh suku atau lebih kepentingan bersama para anggotanya. Misalnya, yang berdasarkan kesamaan agama tertentu, ras, atau ciri-ciri pembeda dan/atau kepentingan lainnya.
Sementara masyarakat tradisional, sebagaimana disebutkan Dasgupta (tt), adalah suatu kategori/jenis masyarakat yang dibentuk berdasarkan orientasi nilai dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional. Namun tidak berlaku sebaliknya.
Langkah ke depan
Agar dapat disusun kebijakan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan masa lalu sebagaimana telah diurai di atas, atau setidak-tidaknya tidak membuatnya lebih buruk saat IKN terwujud nanti, ada beberapa hal yang harus dipahami. Siapa masyarakat adat di kawasan IKN itu? Bagaimana kondisinya sekarang? Apakah hak-hak konstitusionalnya masih dapat dilaksanakan? Hak-hak konstitusional yang seperti apa yang dapat dipenuhi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendesak untuk dijawab bersama-sama. Sebab, hal-hal yang kurang kondusif mulai terjadi. Para pihak yang mendaku sebagai tokoh masyarakat adat mulai memperdebatkan siapa yang paling absah disebut sebagai masyarakat adat itu. Terdapat silang pendapat apakah suatu komunitas adat tertentu sejatinya merupakan bagian dari kelompok etnik yang dominan di kawasan itu. Baik bagian (Dayak) Paser maupun (Dayak) Kutai. Atau suatu kelompok etnik yang berdiri sendiri?
Selain itu, derasnya arus pembangunan di kawasan itu sejak 50 tahun yang lalu betapa pun telah mengubah corak kehidupan ”penduduk asli” yang ada. Perubahan itu bisa saja berakibat pada hilangnya hak-hak konstitusionalnya karena tidak kompatibel lagi dengan berbagai peraturan perundang-undangan terkait pengakuan hak masyarakat adat.
Jika itu yang terjadi, kebijakan afirmatif apa yang bisa dan perlu diupayakan?
Persoalan masyarakat adat di IKN ini, dengan demikian, perlu dicermati lebih jauh. Jika tidak begitu, salah-salah urus, marwah IKN sebagaimana dipesankan oleh Presiden Jokowi dan pengamat politik yang dikutip dalam bagian awal tulisan ini tidak akan tercapai. Setidaknya akan tercederai.