Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait sengketa Partai Prima dan KPU dibilang putusan absurd, tidak masuk akal, oleh pakar hukum. Makna ”absurd” pada putusan pengadilan rupanya berbeda dengan pada karya seni.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·2 menit baca
Ada teater absurd. Ada pula putusan absurd. Lihatlah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas sengketa Partai Prima dengan Komisi Pemilihan Umum, yang secara tersirat berujung pada ”penundaan pemilu”.
Kontan banyak pakar hukum berkomentar kritis. Salah satunya A Ahsin Thohari dalam artikel ”Badut Keadilan” (Kompas, 14/3/2023): ”Kita masih belum tahu betul apakah terbitnya putusan absurd ini murni disebabkan perilaku tidak profesional hakim atau disebabkan faktor eksternal....”
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kata absurd yang kemudian berkembang jadi terminologi lebih dulu diintroduksi oleh dunia seni, khususnya seni lukis dan drama. Ada lukisan absurd (abstrak). Ada pula drama/teater absurd. Secara harfiah KBBI memaknai absurd sebagai ’mustahil’, ’tidak masuk akal’.
Di dalam putusan itu tidak ada pijar-pijar filosofis yang mencerahkan publik.
Kita pun bisa menemukan makna yang lebih luas dalam filsafat, yakni absurdisme. Ini adalah paham atau aliran yang didasarkan pada kepercayaan bahwa usaha manusia untuk mencari arti kehidupan akan berakhir dengan kegagalan dan bahwa kecenderungan manusia untuk melakukan hal itu sebagai suatu yang absurd.
Di Eropa, konsep absurdisme berisi pemikiran bahwa pada hakikatnya tidak ada makna di dunia ini selain yang dibuat manusia itu sendiri. Termasuk di dalam kenihilan makna yang terkait dengan amoralitas atau ketidakadilan.
Karya naskah drama/teater yang memuat gagasan absurdisme, antara lain, Menunggu Godot (Samuel Beckett) yang pada awal 1970-an dipentaskan WS Rendra di Yogyakarta. Kreativitas Rendra itu membuat drama beraliran absurd semakin dikenal publik. Dalam sastra Indonesia, novelis Iwan Simatupang merupakan sosok penting. Karyanya yang fenomenal, antara lain, Merahnya Merah, Ziarah, Kering, dan Koong.
Jika putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang secara substansial memerintahkan KPU untuk ”menunda pemilu” disebut absurd, makna absurd yang tepat adalah ’tidak masuk akal’ (KBBI). Pakar hukum menganggap putusan itu mengandung cacat hukum alias ”salah kamar”. Wajar jika ia justru mengundang kecurigaan tentang adanya kemungkinan ”permainan” politik, di mana pihak yang berkepentingan mencoba memperjuangkan agenda memperpanjang kekuasaan.
Meski disebut absurd, putusan kontroversial seputar ”penundaan pemilu” tidak terkait dengan eksistensialisme seperti di dalam karya seni yang mengusung absurdisme. Di dalam putusan itu tidak ada pijar-pijar filosofis yang mencerahkan publik. Yang diusung justru semangat destruktif (merusak) konstitusi.
Ini sangat berbeda dengan karya seni beraliran absurd yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran melalui keindahan dan kecemerlangan gagasan. Juga kecerdasan sudut pandang di dalam menafsir dan memaknai manusia yang dikepung silang sengkarut persoalan dan tumpang tindih nilai-nilai. Semuanya tidak mudah diurai. Namun, manusia toh tetap menjalaninya: memasuki lorong-lorong absurditas kehidupan. Bukan hanya hasilnya yang penting, melainkan juga proses dan penemuan berbagai makna dan nilai.
Putusan pengadilan disebut absurd karena keganjilan atau antinalar yang dipamerkan. Pengadilan semestinya memberikan kepastian hukum yang berbasis pada kebenaran material. Lebih ideal jika ia juga bersandar pada etika, moral, dan norma. Selalu dituntut ideal karena setiap putusan hukum berdampak pada kehidupan manusia, bangsa, dan negara. Jika putusannya bersifat absurd (aneh, ganjil, dan tidak masuk akal), hukum tidak lagi jadi peranti penegak keadilan, tetapi perusak tatanan. Absurd tapi nyata. Bahaya.