Jakarta bolehlah nanti disebut ”megapolis” atau ”megapolitan”, tetapi jangan ”megalopolitan”. ”Megalo”, seperti ”mega”, juga berarti ’besar’ atau ’besar sekali’. Namun, konotasinya negatif.
Oleh
L WILARDJO
·2 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Lanskap Kota Jakarta dengan hunian padat penduduk dan deretan gedung bertingkat terlihat dari kawasan Tanah Abang, Jakarta, Minggu (26/3/2023).
Dalam artikel ”Apa Kabar Jakarta” (Kompas, 9/3/2023), Irfan Ridwan Maksum membayangkan akan menjadi seperti apa Jakarta jika ibu kota RI itu telah dipindah ke IKN Nusantara di Kaltim. Ia juga menyarankan penataannya secara administratif sebagai kota sangat besar yang sekarang pun sudah memenuhi derajat di atas ”metropolitan” menurut Bank Dunia (1995).
Sebagai Guru Besar Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, tentulah Irfan tahu bagaimana bekas Provinsi DKI Jakarta itu harus ditata pemerintahannya. Tulisan ini merupakan tanggapan saya atas artikel opini itu, yang terpumpun pada segi bahasa dan tata nama bekas DKI itu dan bagian-bagiannya.
Metropolitan ialah adjektiva yang bersesuaian dengan nomina metropolis. Metropolis berarti ’ibu kota’ (meter = ibu, polis = kota). Namun, kata metropolitan sekarang juga sudah lazim dipakai sebagai nomina. Dengan kata lain, metropolitan telah menjadi padanan (sinonim) metropolis, dan bahkan telah menggusur metropolis dan menggantikannya.
Megaloman atau megalomania berarti orang yang mengalami kelainan jiwa dan merasa dirinya sangat hebat, melebihi orang-orang lainnya.
Dengan adanya IKN Nusantara nanti, Jakarta bukan lagi ibu kota NKRI. Bentuk penggabung metro oleh Irfan diganti dengan mega atau megalo. Mega, selain sebagai kata yang berarti ’awan’, sebagai bentuk penggabung juga berarti ’juta’ dan dilambangkan dengan aksara murda (capital letter) M; misalnya, MW berarti megawatt (= 1.000.000 watt). Dalam pewayangan—epos Ramayana—putra mahkota Alengkadiraja, Raden Indrajit, juga disebut Raden Megananda karena ia diciptakan Gunawan Wibisana dari segumpal mega (awan).
AP PHOTO/MICHEL EULER
Pemain tim sepak bola Argentina, Lionel Messi, tersenyum setelah menerima penghargaan pemain terbaik FIFA di Paris, Perancis, akhir Februari 2023. Ia layak menyandang sebutan megabintang, tidak hanya bagi Argentina, tetapi juga bagi dunia.
Sebagai bentuk penggabung, mega juga berarti ’besar’ atau ’amat besar’. Lionel Messi dapat dianggap sebagai megabintang sepak bola asal Argentina.
Konotasi negatif
Jadi, bolehlah Jakarta nanti disebut megapolis atau megapolitan, tetapi jangan megalopolitan. Megalo, seperti mega, juga bentuk penggabung dan juga berarti ’besar’ atau ’besar sekali’. Namun, konotasinya negatif. Dalam psikologi, megaloman atau megalomaniaberarti orang yang mengalami kelainan jiwa dan merasa dirinya sangat hebat, melebihi orang-orang lainnya.
Adolf Hitler pada masa kediktatoran Nazi di Jerman (1933-1945) dapat dianggap sebagai seorang megalomania. Ia mengangkat dirinya sebagai ”Der Fuehrer” (Sang Pemimpin) dan berambisi membuat Jerman ueber Alles in der Welt (melebihi semua negara lain di seluruh dunia).
Jakarta nanti akan kehilangan predikat ”DKI” (daerah khusus ibu kota)-nya, tetapi dapat tetap bertahana (berstatus) sebagai provinsi dan dipimpin seorang gubernur. Sebutannya tidak lagi ”metropolitan DKI Jakarta”, tetapi—barangkali— ”megakota Jakarta” atau ”Jakarta Raya”. Mengurutkan megapolitan dan—di bawahnya—metropolitan, seperti disarankan Irfan, tidak ”pas”. Sebab, mega (= besar/besar sekali) dan metro (= ibu, penggal depan dari ibu kota) tidak menunjukkan urutan peringkat pemerintahan atau luasnya wilayah.
Bekas ”Provinsi DKI Jakarta” hanya kita hapus ”DKI”-nya sehingga menjadi ”Provinsi Jakarta”, dan kepala daerahnya tetap kita sebut gubernur. Lima dari enam bagiannya kita sebut kota, yakni Jakpus, Jakut, Jaktim, Jaksel, dan Jakbar, yang masing-masing dipimpin kepala daerahnya, yakni wali kota (mayor). Adapun bagiannya yang keenam, yakni Kabupaten Kepulauan Seribu, tidak perlu kita ubah sebutannya.