Pemakaian kata ”maneh” oleh seorang guru kepada Ridwan Kamil dalam media sosial dianggap tak pantas. Urusan kepantasan itu masuk dalam wilayah rasa bahasa karena berkaitan dengan etika dan estetika secara konvensional.
Oleh
Tendy K Somantri
·2 menit baca
Saya punya seorang sahabat yang berasal dari Jawa Timur. Usianya beberapa tahun lebih tua daripada saya. Suatu waktu, kami mengobrol melalui Blackberry Messenger. Percakapan itu sudah lama terjadi, tetapi masih membekas pada benak saya.
Di tengah percakapan—karena merasa berada dalam situasi akrab—saya menggunakan kata kowe sambil bergurau. Sungguh, saya tidak menduga reaksinya. Dia marah. ”Kamu tahu apa arti kowe? Hati-hati, kamu bicara!” Terasa sekali kemarahannya. Biasanya dia memanggil saya dengan sebutan kang sebagai bentuk rasa hormatnya, tetapi tidak pada saat itu. Tentu saja, saya segera meminta maaf.
”Otak bahasa” saya langsung bekerja melakukan perbandingan dengan bahasa Sunda, bahasa ibu saya. Ah, mungkin kata kowe itu sepadan dengan kata maneh, yang berada pada tingkat kata kasar. Biasanya, kata itu hanya digunakan dalam situasi komunikasi akrab pada tingkat sosial yang setara atau pada tindak komunikasi seseorang kepada lawan bicara yang tingkatnya lebih rendah.
Urusan kepantasan itu masuk dalam wilayah rasa bahasa yang bersifat relatif karena berkaitan dengan etika dan estetika secara konvensional.
Dulu, kata kasar seperti maneh digunakan oleh menak (ningrat) saat berkomunikasi dengan cacah (awam), yang harus diladeni dengan bahasa lemes (halus). Cacah tidak dapat menggunakan kata maneh (kasar) atau anjeun (sedang). Mereka harus menggunakan kecap lemes (kata halus) untuk orang kedua, yaitu salira. Feodal? Mungkin ya, undak usuk dalam bahasa Sunda merupakan peninggalan zaman feodal. Lalu, mengapa dipertahankan?
Undak usuk bahasa Sunda dipertahankan oleh masyarakat Sunda untuk menjaga adat sopan santun. Kini, penggunaan undak usuk tidak lagi berkaitan dengan dikotomi cacah dan menak, tetapi berdasarkan hubungan tingkat sosial ke tingkat sosial lain, seperti anak dan orang tua, murid dan guru, atau anak buah dan atasan. Namun, sering terjadi karena kebiasaan dan keakraban, kata kasar seperti maneh digunakan kepada orang yang bertingkat sosial lebih tinggi.
Banyak orang menganggap kata maneh masuk dalam kategori sedeng (sedang) karena sering digunakan dalam situasi komunikasi akrab. Anggapan itu juga muncul karena ada kata yang lebih kasar, sia, yang biasanya digunakan dalam ekspresi marah (makian).
Situasi komunikasi seperti itulah yang terjadi ketika seorang guru di Cirebon, M Sabil Fadhillah, berkomentar dengan menggunakan kata maneh dalam media sosial Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Sabil dianggap tidak pantas menggunakan kata maneh saat berkomunikasi dengan gubernur karena tingkat sosial yang berbeda, baik berdasarkan usia maupun kepangkatan.
Jika saat itu Sabil merasakan keakraban, dia sebaiknya menggunakan akang sebagai sebutan akrab dan hormat. Apalagi, Gubernur Ridwan Kamil punya sebutan akrab ”Kang Emil” yang dapat digunakan dalam situasi komunikasi akrab.
Kowe dan maneh sepadan juga dengan kata kamu dalam bahasa Indonesia. Dalam situasi komunikasi akrab, kamu biasa digunakan oleh orang-orang yang bertingkat sosial setara. Namun, kamu juga ternyata tidak biasa digunakan saat berkomunikasi dengan orang yang dihormati kendati dalam situasi santai. Tidaklah pantas, misalnya, seorang mahasiswa menggunakan kata kamu saat berbicara dengan rektor.
Urusan kepantasan itu masuk dalam wilayah rasa bahasa yang bersifat relatif karena berkaitan dengan etika dan estetika secara konvensional. Sebagai contoh, kata dahar yang berarti ’makan’ disepakati sebagai bahasa halus dalam bahasa Jawa, tetapi menjadi bahasa kasar pada masyarakat Sunda. Oleh karena itu, seperti kata sahabat saya, berhati-hatilah saat berkomunikasi.
Tendy K Somantri, Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas Bandung