Citra dan identitas Indonesia sebagai negara demokrasi yang terbentuk dengan susah payah dan merupakan hasil kerja keras semua elemen masyarakat semestinya tidak dirusak dengan perilaku buruk segelintir pejabat.
Oleh
Rizal Sukma
·3 menit baca
SALOMO TOBING
Rizal Sukma
Selama masa pemerintahan Orde Baru, para pengamat dan masyarakat internasional pada umumnya menyebut Indonesia sebagai negara authoritarian developmentalist, yakni negara di mana pemerintahnya membangun legitimasi politik berdasarkan hasil pembangunan ekonomi, dengan menerapkan prinsip otoritarianisme dalam menjalankan kekuasaan. Identitas ini melekat selama lebih dari tiga dekade, sampai mundurnya Presiden Soeharto pada 1998.
Pasca-kejatuhan Orde Baru, salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana memformulasikan serta memproyeksikan identitas dan citra yang positif di panggung internasional. Berbagai persoalan besar di dalam negeri membuat masyarakat internasional ragu bahwa Indonesia sedang memasuki masa transisi demokrasi. Indonesia hanya dilihat sebagai negara yang sedang mengalami transisi dari otoritarianisme. Namun, pada saat itu masih sulit menduga apakah transisi itu akan bergerak menuju demokrasi atau malah akan kembali ke otoritarianisme baru.
Tidak sedikit kalangan yang menduga bahwa Indonesia akan mengalami masa instabilitas dan krisis yang panjang. Bahkan, ada yang memprediksi bahwa Indonesia akan tercerai-berai dan menjadi producer of instability di kawasan. Pecahnya berbagai konflik, baik konflik etnis, konflik agama, maupun separatisme bersenjata di beberapa daerah, memperkuat persepsi negatif mengenai Indonesia di mata dunia internasional.
Mahasiswa se-Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan Presiden Soeharto mundur.
Serangan terorisme bom Bali pada Oktober 2002, setahun setelah serangan teroris di New York, Amerika Serikat, semakin memperumit tantangan yang dihadapi Indonesia. Munculnya kelompok-kelompok terorisme yang mengatasnamakan agama, pada saat Indonesia sedang mengalami transisi dari otoritarianisme yang sulit, dikhawatirkan akan menjadi masalah baru bagi kawasan. Sebagian pengamat asing berkeyakinan bahwa Indonesia tidak akan bisa menjadi negara demokrasi. Terlalu banyak permasalahan yang harus diselesaikan untuk bisa keluar dari krisis serta bergerak ke arah transisi dan konsolidasi demokrasi. Tak sedikit yang berpendapat bahwa Indonesia akan kembali menjadi negara otoritarian.
Namun, Indonesia kembali membuktikan dirinya sebagai bangsa yang memiliki ketahanan yang andal. Dalam waktu yang relatif singkat, didorong oleh tekad untuk melakukan reformasi dan menjadi negara demokrasi, Indonesia berhasil keluar dari krisis. Stabilitas dalam negeri menjadi pulih kembali dan ekonomi mulai membaik, diikuti dengan reformasi militer, desentralisasi dan otonomi daerah, pemilu bebas dan adil, sistem multipartai, serta kebebasan media.
Karena berbagai capaian penting itu, demokrasi tidak hanya menjadi aset bagi pemulihan kehidupan ekonomi dan politik, tetapi juga menjadi identitas internasional Indonesia. Indonesia lantas dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Citra ini pula yang membuat Indonesia bisa kembali berperan aktif dengan penuh rasa percaya diri di panggung internasional. Dunia menghargai dan bahkan menjadikan Indonesia sebagai contoh dari transisi demokrasi yang berhasil dengan baik.
Namun, persepsi internasional mengenai identitas Indonesia sebagai negara demokrasi ternyata tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang langgeng. Sekarang ini, identitas demokrasi ini mulai tergerus oleh dua masalah serius.
Pertama, kembalinya diskusi dan perbincangan mengenai kualitas dan kebakaan (durability) demokrasi Indonesia. Hal ini didorong oleh menguatnya penilaian dan persepsi mengenai regresi atau kemunduran demokrasi Indonesia.
Kedua, citra dan identitas demokrasi Indonesia tercoreng, bahkan terancam oleh eskalasi korupsi. Laporan Transparency International mengenai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022, misalnya, menunjukkan memburuknya korupsi di Indonesia. Peringkat Indonesia turun ke posisi ke-110 dari 180 negara. Padahal, pada 2021, Indonesia berada pada posisi ke-96. Belakangan ini, persepsi itu diperburuk oleh berbagai skandal yang diduga melibatkan pejabat Kementerian Keuangan. Apabila tren ini berlangsung terus, dikhawatirkan kepercayaan publik terhadap demokrasi, sebagai sistem yang menjanjikan pemerintahan yang bersih, akan semakin tergerus.
Citra dan identitas Indonesia sebagai negara demokrasi terbentuk dengan susah payah dan merupakan hasil kerja keras semua elemen masyarakat. Kita wajib menjaga agar citra positif itu tidak dirusak oleh perilaku buruk segelintir pejabat dan sebagian kecil anggota masyarakat. Penegakan hukum, terutama terhadap praktik-praktik yang merusak demokrasi, seperti korupsi dan antitoleransi, menjadi hal yang perlu diberikan prioritas. Upaya untuk menghadirkan kesejahteraan akan berjalan dengan lebih baik dalam sistem demokratis dan tidak koruptif.