Tidak banyak yang mencatat dan mengapresiasi bahwa dalam pidatonya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri justru melontarkan kejutan yang sangat penting artinya bagi keberlangsungan demokrasi dan masa depan bangsa ini.
Oleh
Rizal Sukma
·3 menit baca
Menjelang pidato Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di peringatan Hari Ulang Tahun Ke-50 PDI-P pada 10 Januari 2023, berbagai spekulasi berkembang. Sejumlah politikus mengindikasikan bahwa akan ada kejutan dari Megawati.
Banyak pihak menduga kejutan itu berupa pengumuman dari Megawati mengenai calon presiden dari PDI-P dalam Pemilihan Umum 2024. Dugaan makin menguat setelah Ketua DPR yang juga Ketua DPP PDI-P Puan Maharani menyatakan bahwa nama calon presiden yang akan diusung oleh PDI-P sudah ada di tangan Megawati (Kompas, 9/1/2023).
Namun, Ketua Umum PDI-P ternyata tidak mengumumkan capres yang akan diusung PDI-P. Reaksi, dugaan, spekulasi, dan berbagai analisis bermunculan. Misalnya, sebagian pengamat menduga Megawati belum bisa memilih siapa yang akan ditunjuk. Bahkan, ada yang menduga Megawati sendiri berkeinginan untuk maju sebagai capres.
Jagat diskusi dan perdebatan mengenai pencapresan kembali ramai meskipun pemilu masih setahun lagi. Namun, semuanya tentu saja masih spekulatif belaka.
Siapa dan kapan PDI-P akan mengumumkan capresnya sebenarnya tidak terlalu penting pada saat sekarang. Ada hal lain yang lebih penting dan strategis yang hampir luput dari perhatian banyak pihak. Tidak banyak yang mencatat dan mengapresiasi bahwa dalam pidato tersebut, Megawati justru melontarkan kejutan yang sangat penting artinya bagi keberlangsungan demokrasi dan masa depan bangsa ini. Hanya dengan kalimat pendek yang lugas, “Kalau sudah dua kali, ya, maaf, ya, dua kali (Kompas, 10/1/2023).“ Dengan kalimat pendek itu, Megawati telah menempatkan dirinya sebagai penjaga demokrasi.
Penegasan Megawati menjadi penting dalam konteks masih ada lontaran narasi dan usulan mengenai perlunya masa jabatan presiden yang melebihi dua periode, melebihi dua kali lima tahun. Hal itu ditempuh baik melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945, perpanjangan masa jabatan selama 2-3 tahun setelah 2024, maupun melalui penundaan pemilu.
Seperti yang ditegaskan Megawati, proses membangun demokrasi harus dilakukan secara berkelanjutan dan konsekuen, “Kalau sudah mau Pemilu 2024, mbok, ya, sudah dijalankan dengan baik.“ Mega juga mengingatkan, “Apa mau kita uji coba terus-menerus, enggak ada habis-habisnya.“
Pernyataan Megawati yang tegas menolak berbagai usulan untuk mengubah lama masa jabatan presiden juga menjadi sangat penting dalam konteks berbagai kecemasan publik mengenai kemunduran demokrasi belakangan ini. Para pengusul penambahan masa jabatan presiden tampaknya lupa bahwa pembatasan masa jabatan adalah syarat utama dalam menjaga agar Indonesia tidak kembali jatuh ke lubang otoritarianisme. Pembatasan masa jabatan presiden, yang merupakan amanat Reformasi 1998, dilakukan untuk mengoreksi model sistem politik sebelumnya yang memungkinkan kekuasaan terpusat hanya pada satu sosok individu, yaitu presiden.
Megawati memahami betul arti penting pembatasan masa jabatan bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Megawati, bersama Abdurrahman Wahid dan Amien Rais, adalah bagian dari perjuangan demokrasi 1998 yang ikut meletakkan dasar-dasar demokrasi serta menata demokrasi Indonesia pasca-otoritarianisme.
Pembatasan masa jabatan presiden, di samping kesepakatan mengenai pemilihan presiden secara langsung, merupakan salah satu hasil terpenting dari penataan tersebut. Jadi, tidak mengherankan Megawati bersikap tegas untuk menjaga hasil-hasil perjuangan dan penataan demokrasi itu.
Kita berharap setelah penegasan dari Megawati tak ada lagi yang pura-pura tidak tahu, tidak malu, dan terus saja melontarkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Tidak perlu lagi mencari-cari alasan pembenar untuk memperpanjang masa kepresidenan.
Bagi sebagian orang, berkuasa mungkin sebuah kenikmatan sehingga ingin diperpanjang. Padahal, nikmat yang sebenarnya adalah bagaimana meninggalkan kekuasaan itu dengan baik, dengan legacy yang memberi manfaat bagi seluruh rakyat, bangsa, dan negara.
Hanya, terkadang beda sekali sikap antara pejuang demokrasi dan penikmat demokrasi. Pejuang demokrasi akan membatasi kekuasaan untuk menjaga demokrasi. Sementara para penikmat demokrasi mudah tergoda untuk memperpanjang kekuasaan, yang pada gilirannya akan membawa kemunduran bagi demokrasi. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat—politisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), ormas keagamaan, media, dan mahasiswa—perlu bersama-sama menjaga demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah ini.