Kaum wong cilik kecewa berat jika upaya penundaan pemilu sunguh-sungguh nyata. Kecerdasan batin dan pikiran mereka atas keharusan para penyelenggara negara untuk taat konstitusi terasa diempaskan dan dicampakkan.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·3 menit baca
Wacana penundaan Pemilu 2024 muncul lagi. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk menunda Pemilu 2024 setelah mengabulkan gugatan perdata yang diajukan Partai Prima. Ini kenyataan atau drama? Atau ini ”drama” yang (akan) dijadikan kenyataan? Begitu tanya kaum wong cilik dan orang-orang biasa.
Putusan kontroversial PN Jakarta Pusat tersebut menyengat banyak pihak, bukan hanya para pakar hukum, tokoh politik, melainkan juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Ia menganggap putusan PN Jakarta Pusat itu ”salah kamar”. Mahfud menyarankan KPU untuk melawan putusan itu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kaum wong cilik bukan komunitas besar yang mengidap penyakit mental apolitik. Dengan kepekaan perasaan dan kecerdasan batinnya, mereka punya cara niteni atau menandai setiap gejala politik yang muncul di negeri ini, termasuk yang terkait dengan putusan PN Jakarta Pusat itu. Dari situ, lahirlah monolog kecil kaum wong cilik di dalam lintang pukang persoalan politik di negeri ini. Penulis pun merekam dan menuliskannya dalam esai ini.
Dalam tabung ingatan, kaum wong cilik mencatat, isu penundaan pemilu adalah isu lama yang berkali-kali digoreng oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Ketika mendapatkan tekanan publik, isu itu mereda dan ”menghilang”. Namun, ketika tekanan mereda, ia muncul kembali.
Isu tersebut ibarat virus yang pura-pura mati ketika kena vaksin, tetapi muncul lagi ketika vaksin itu melemah. Wajar jika publik menengarai ada ”permainan” di balik isu penundaan pemilu. Di alam demokrasi, ”kecurigaan” itu sah-sah saja karena demokrasi selalu terbuka bagi tawar-menawar gagasan dan persepsi atas persoalan. Ini sama sahnya dengan berbagai pihak yang gigih meniupkan isu penundaan pemilu. Akhirnya, undang-undang dan konstitusilah yang menentukan benar dan salahnya.
Monolog pun berlanjut. Jika benar bahwa munculnya putusan PN Jakarta Pusat itu merupakan cara untuk menggoreng kembali isu penundaan Pemilu 2024, ini harus dijadikan alarm bahaya. Konstitusi dan demokrasi terancam. Di situ ada upaya kelompok kepentingan untuk memperpanjang masa kekuasaan karena kekuasaan itu manis dan nikmat. Banyak cara ditempuh, termasuk ”mengakali” hukum. Jika satu cara gagal, akan dipakai cara-cara yang lain.
Keprihatinan, tangis, dan luka secara nasional wajib pecah jika memang ada pihak-pihak yang sengaja ”main drama” demi menyukseskan agenda politik penundaan Pemilu 2024. Rakyat mengelus dada. Benarkah sedang terjadi degradasi karakter oknum-oknum tertentu penyelenggara negara kita? Bukankah semestinya mereka itu orang-orang kuat yang tahan godaan kekuasaan?
Jika benar bahwa munculnya putusan PN Jakarta Pusat itu merupakan cara untuk menggoreng kembali isu penundaan Pemilu 2024, ini harus dijadikan alarm bahaya.
Rakyat pun tahu, mereka juga termasuk orang-orang pinunjul (berkemampuan dan bernilai lebih) yang paham betul mendagingkan nilai-nilai konstitusi. Mereka pun mampu menjaga marwah negara dan martabat bangsa karena mereka sejatinya punya kapasitas sebagai pendekar konstitusi. Karena itu, sudah semestinya mereka selalu mampu mengangkat kaum wong cilik yang tenggelam dalam lautan lumpur kemiskinan dan penderitaan.
Praktik tiranik
Kaum wong cilik paham segala cara mengakali konstitusi pasti berbuah keburukan bagi penyelenggaraan negara dan kehidupan bangsa. Ini berpotensi membuka jalan bagi ”praktik-praktik tiranik”, baik secara kelembagaan, kelompok, maupun personal.
Sudah semestinya para penyelenggara negara berkapasitas negarawan sangat paham bahwa luka politik, sosial, dan sejarah yang digoreskan otoritarianisme rezim Orde Baru belum sepenuhnya kering. Masih rakyat dibuat luka? Selain itu, cara-cara mengakali konstitusi juga merusak kebudayaan dan peradaban bangsa yang sudah dibangun dalam waktu yang sangat panjang.
Sebutir demi sebutir kebudayaan dan peradaban bangsa disusun dan dibangun secara kolektif oleh bapak-bapak/ibu-ibu bangsa dan para penerusnya. Mereka bekerja keras, penuh komitmen, ketekunan, dan kesabaran sangat tinggi.
Dalam peradaban itu terkandung politik. Politik yang berkeadaban tinggi meniscayakan dan mewajibkan semua pelaku konstitusi untuk selalu konsisten mewujudkan nilai-nilai konstitusional. Selalu menjadikan ideologi negara (Pancasila), etika, moral, norma, dan hukum sebagai basis pijakan
Tentu menjadi keprihatinan yang sangat mendalam jika kebudayaan dan peradaban itu koyak-moyak hanya karena ulah pihak-pihak atau kelompok kepentingan yang haus kekuasaan.
Dalam konteks bernegara, kaumwong cilik selalu tahu diri atas posisinya. Karena merasa sebagai orang kecil, mereka bisa menerima ”jatah” rezeki sosial-ekonomi-politiknya yang kecil. Mereka tak terlalu menuntut tinggi-tinggi. Cukup dipenuhi hak-hak dasar: pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, pangan, papan, sandang, dan ruang-ruang budaya yang memungkinkan mereka bisa mengembangkan diri. Tak masalah jika selama ini isu kesejahteraan berbasis ”adil” dan ”makmur” hanya menjadi buih-buih wacana. Bagi mereka, yang penting hidup cukup, damai, nyaman, dan berbudaya.
Kaum wong cilikpaham para penyelenggara negara selalu ”kerepotan” untuk membagi kue kesejahteraan secara adil karena kelompok-kelompok besar dan kuat senantiasa menuntut jatah yang lebih banyak. Dengan demikian, hanya remah-remah kue yang dibagikan untuk kaum wong cilik. Di tengah kehidupan yang belum ramah keadilan, kaum wong cilik selalu menghargai segala upaya pemerintah demi membahagiakan rakyat.
Miskin secara material sudah menjadi realitas rutin bagi wong cilik, mereka sudah terlatih untuk menderita dan selalu ”konsisten” dengan deritanya. Namun, kaumwong cilik menjadi kecewa berat jika upaya penundaan pemilu itu sunguh-sungguh nyata. Kecerdasan batin dan pikiran mereka atas keharusan para penyelenggara negara untuk taat pada konstitusi terasa diempaskan dan dicampakkan.
Monolog kecil itu buru-buru ditutup dengan kalimat kunci: semoga berbagai pihak yang mengaku sebagai para penyelenggara negara dan politisi, yang suka bermain gimmick itu, tidak meneruskan ambisinya untuk menunda Pemilu 2024.