Ada empat narasi yang apabila terus-menerus disuarakan pada gilirannya dapat mengurangi dan menggerogoti kepercayaan publik atas manfaat dan pentingnya demokrasi.
Oleh
Rizal Sukma
·3 menit baca
SALOMO TOBING
Rizal Sukma
Sebagai sistem politik, demokrasi tentu bukan sesuatu yang bersifat abadi, permanen, atau hidup selamanya. Demokrasi bisa mati, dan umumnya kematiannya disebabkan baik oleh orang-orang yang hidup di negara demokrasi itu sendiri maupun oleh orang-orang dari negara lain. Matinya demokrasi di Myanmar setelah kudeta militer Februari 2021, misalnya, adalah contoh untuk yang pertama. Sementara apa yang terjadi atas Chile pada September 1973 ketika Jenderal Augusto Pinochet mendepak pemerintahan Salvador Allende yang terpilih melalui pemilu demokratis adalah bentuk matinya demokrasi yang kedua.
Kedua sumber penyebab matinya demokrasi, baik dari dalam maupun dari luar, tentu berinteraksi dan memengaruhi. Namun, faktor-faktor dari internal sebuah negara lebih penting dalam menentukan tingkat ketahanan sebuah demokrasi. Dan, salah satu ancaman besar bagi ketahanan demokrasi adalah meningkatnya keraguan masyarakat terhadap demokrasi. Hal ini, antara lain, disebabkan adanya empat narasi yang, apabila terus-menerus disuarakan, pada gilirannya dapat mengurangi dan menggerogoti kepercayaan publik atas manfaat dan pentingnya demokrasi (the merits of democracy).
Pertama, narasi yang mempersoalkan relevansi dan kredibilitas demokrasi. Narasi ini umumnya disuarakan di banyak negara pasca-kolonial. Setelah mendapatkan kekuasaan melalui cara-cara demokratis, para pemimpin politik terpilih lalu menuding demokrasi sebagai sistem politik yang dipaksakan kaum kolonial untuk terus melanggengkan penjajahan dengan cara-cara baru. Padahal, narasi ini hanya upaya pemimpin politik untuk membangun pembenaran atas keinginan mereka memegang kekuasaan tanpa batas—sistem otoritarianisme.
Kedua, narasi bahwa demokrasi baru bisa diterapkan setelah terpenuhinya sejumlah prasyarat berat dan sulit. Demokrasi digambarkan sebagai sebuah sistem yang sangat maju, yang hanya bisa dijalankan masyarakat yang maju pula. Narasi ini kerap mengemukakan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan dalam masyarakat yang telah makmur secara ekonomi dan tinggi secara pendidikan. Berbagai ukuran pun dilontarkan, seperti pendapatan per kapita minimal 10.000 dollar AS dan pendidikan mayoritas penduduk minimal tamat sekolah menengah atas. Demokrasi dinilai tidak cocok untuk diterapkan di masyarakat dengan tingkat pendapatan dan pendidikan di bawah itu.
Warga memasukkan surat suara ke kotak suara di Tempat Pemungutan Suara 30 Kelurahan Cibodasari, Cibodas, Tangerang, Banten dalam Pemilu 2019, Rabu (17/4/2019).
Ketiga, narasi yang menilai demokrasi sebagai sistem yang gagal menjaga stabilitas dan kemakmuran. Narasi ini kerap muncul dalam masyarakat politik (polity) yang baru saja atau sedang menjalani transisi ke demokrasi atau transisi dari otoritarianisme. Berbagai persoalan politik yang lahir bersamaan dengan runtuhnya sistem otoriter—seperti konflik komunal atau separatisme—dilihat sebagai bukti kegagalan demokrasi dalam menjamin stabilitas. Transisi ke arah demokrasi juga sering dipersalahkan sebagai penyebab krisis ekonomi, seperti inflasi yang tinggi dan meningkatnya pengangguran. Demokrasi lalu dikritik sebagai sistem yang gagal, dan dibanding-bandingkan dengan sistem lain yang dianggap lebih baik.
Keempat, narasi bahwa ada satu dua kelompok masyarakat dalam sebuah negara yang memiliki kecakapan yang lebih baik atau lebih unggul dari kelompok yang lain. Misalnya, pendapat yang mengatakan hanya pihak militer atau kepemimpinan militer yang bisa membawa negara kepada kejayaan dan kemakmuran. Demokrasi, terutama karena sistem pemilihan yang kompetitif, dianggap hanya melahirkan kepemimpinan sipil yang terpecah dan penuh persaingan yang membahayakan.
Narasi seperti ini antara lain membuka kembali wacana untuk menghapus sistem pemilihan secara langsung. Narasi seperti ini juga kerap mendasari sikap sebagian politisi sipil yang mendorong dan menarik-narik militer untuk menjalankan fungsi dan tugas yang tidak lazim dalam sebuah demokrasi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Aktivis dan sukarelawan mengikuti Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka., Jakarta, Kamis (19/9/2019). Selain menyuarakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, Aksi Kamisan ke-602 tersebut juga menyoroti sikap DPR dan pemerintah terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil.
Demokrasi dan pelaksanaannya sudah barang tentu harus, perlu, dan penting untuk dikritik. Namun, kritik dilakukan bukan untuk membunuh demokrasi, melainkan untuk menyempurnakannya. Persoalan utama bukan pada makna atau ide demokrasi itu sendiri, melainkan ada pada bagaimana demokrasi itu dipahami dan dijalankan. Di sini, terlihat bahwa empat narasi itu malah menjadi bagian dari proses membangun lingkungan yang mendukung untuk mengembalikan sistem non-demokratis.
Apabila keempat narasi itu menjadi narasi dominan, pemutarbalikan arah jarum jam dari proses konsolidasi demokrasi ke proses otoritarianisme akan menjadi lebih mudah. Hal inilah yang harus dicegah apabila kita tidak ingin mengkhianati amanat reformasi.