Korupsi di daerah tak cukup diatasi dengan upaya teknis-administratif seperti membangun sistem yang lebih kebal dari korupsi. Yang lebih penting, membangun komitmen politik untuk mematuhi dan menjaga sistem itu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Korupsi di daerah seperti benang kusut yang tak kunjung terurai di negeri ini. Butuh komitmen politik untuk menjalankan semua rekomendasi guna mengatasinya.
Kompas pada Senin (13/3/2023) menyebutkan, ada empat langkah yang perlu dilakukan untuk menekan korupsi di daerah, yaitu regulasi, digitalisasi, edukasi, dan remunerasi. Empat hal itu hasil diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leader Community, pekan lalu, di Menara Kompas, Jakarta.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (tengah) didampingi Pemimpin Umum Harian Kompas Lilik Oetama (lima dari kiri) berfoto bersama wali kota dan wakil wali kota yang hadir pada diskusi Kompas Collaboration Forum bertema ”Good Governance dan Pembelajaran Upaya Anti Korupsi”, di Menara Kompas, Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Dari sejumlah kasus yang terungkap, pola korupsi di daerah sebenarnya relatif tak berubah. Umumnya terjadi dalam lelang barang dan jasa, lelang jabatan, dan pemberian izin.
Selama ini, sejumlah upaya telah dilakukan untuk menekan korupsi di tiga bidang itu. Digitalisasi, misalnya, sudah dilakukan di banyak daerah dalam pengadaan barang dan jasa. Mekanisme penawaran terbuka telah dijalankan dalam pengisian jabatan. Perizinan juga diperketat. Tunjangan kinerja telah diberlakukan untuk sejumlah posisi. Namun, ada sinyalemen, sejumlah upaya untuk mengatasi korupsi itu selalu dicari celahnya. Korupsi pun terus terjadi.
Dalam sejumlah persidangan perkara korupsi, memang terungkap ada korupsi yang dipicu persoalan administratif atau awalnya tak ada niat untuk korupsi. Namun, mayoritas kasus korupsi dipicu persoalan ekonomi dan politik. Mengumpulkan uang untuk persiapan pilkada atau membayar utang biaya pilkada yang telah lewat sering terungkap di persidangan sebagai penyebab korupsi. Kebijakan di daerah sering kali juga dibelokkan terutama untuk pemenangan pilkada, bukan semata untuk kesejahteraan masyarakat.
Kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada 2015 menunjukkan, biaya pemenangan pilkada tidak sedikit. Untuk mengikuti pemilihan bupati/wali kota, dibutuhkan Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar. Sementara untuk pemilihan gubernur, butuh Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Biaya itu jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji rata-rata kepala daerah yang sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.
Mahalnya biaya politik ini, sesuai temuan Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2020, membuat sekitar 84 persen kepala daerah dibiayai pemodal untuk maju dalam kontestasi pilkada (Kompas, 13/3).
Sekitar 84 persen kepala daerah dibiayai pemodal untuk maju dalam kontestasi pilkada.
Terlalu melompat jika untuk mengatasi korupsi di daerah, lalu muncul ide menghapus pilkada langsung. Ini karena pilkada langsung juga berdampak positif, seperti berhasil memunculkan kepala daerah berkualitas dan memberi sumbangan dalam kaderisasi kepemimpinan nasional.
Tantangan saat ini adalah bagaimana agar pilkada langsung lebih optimal lagi memberi dampak positif. Adapun dampak negatifnya, seperti memicu korupsi di daerah, dapat ditekan.
Untuk itu, tak cuma dibutuhkan upaya teknis-administratif seperti membangun sistem lebih kebal dari korupsi. Yang lebih penting, membangun komitmen politik untuk mematuhi dan menjaga sistem itu. Selama politik dan kekuasaan di negeri ini masih lebih dilihat sebagai ladang guna memperoleh keuntungan materi, butuh upaya lebih keras guna membangun komitmen itu. Namun, jangan sampai kehilangan harapan.