Berdasarkan UUD 1945, pemilu harus dilaksanakan lima tahun sekali. Jadi, Pemilu 2024 tak bisa ditawar. Karena itu daripada berdebat soal putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lebih baik fokus ke persiapan Pemilu 2024.
Oleh
AYON DINIYANTO
·3 menit baca
Isu penundaan pemilihan umum (pemilu) sebenarnya sudah membosankan publik. Membosankan karena isu tersebut merupakan isu yang sering muncul dan sulit untuk diwujudkan. Terlebih keputusan tentang waktu penyelenggaraan pemilu sudah ditentukan. Tahapan pemilu juga sedang berjalan.
Namun, siapa menyangka? Isu penundaan pemilu kembali muncul. Kali ini bukan dari elite politik, tetapi dari pengadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara mengejutkan mengeluarkan putusan menghebohkan, putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Putusan tersebut memang belum berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena masih ada upaya hukum lain. Tetapi hal ini perlu didiskusikan, karena bisa saja secara mengejutkan menjadi inkracht.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Salah satu amar dalam putusan tersebut, secara tidak langsung menyatakan ‘penundaan pemilu’. Salah satu amar dimaksud, lengkapnya menyatakan “Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari”.
Artinya, tergugat dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membatalkan pelaksanaan tahapan pemilu yang ada saat ini. Kemudian diulang lagi dari awal dengan kurun waktu sekitar 2 tahun.
Bola panas
Kalimat dalam amar tersebut adalah “lebih kurang”. Jika mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lebih kurang artinya “kira-kira”. Kalau kira-kira 2 tahun 4 bulan 7 hari setelah pengucapan putusan tanggal 2 Maret 2023, maka pemilu terlaksana pada 9 Juli 2025 atau dalam rentan tahun 2025.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan tersebut seperti melempar ‘bola panas’ kepada KPU. Mengapa melempar ‘bola panas’? Pemilu merupakan hal yang sangat penting. Negara demokrasi membutuhkan adanya pemilu sebagai salah satu pilar dan instrumen. Belum lagi, pemilu melibatkan seluruh komponen, bahkan seluruh rakyat dalam negara. Tidak heran jika kemudian isu-isu dalam pemilu menjadi panas, karena banyak melibatkan masyarakat luas. Apalagi tahapan pemilu sedang berlangsung.
Isu pemilu dapat menjadi ‘bola panas’ yang menggelinding liar, jika tidak diselesaikan. Termasuk penundaan pemilu yang dapat menjadi ‘bola panas’ dan liar. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusan tersebut seolah sedang melempar ‘bola panas’ kepada KPU. Lihat saja bunyi amar dalam putusannya yang berbunyi “Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)”. Artinya KPU dapat terlebih dahulu melaksanakan putusan tersebut.
UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Tetapi di sisi lain, KPU harus melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai sebuah konstitusi. Ini merupakan ‘lemparan bola panas’. Jika tidak ada jalan penyelesaian yang tepat, dapat menimbulkan persoalan serius. Tentu kita sepakat bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi di Indonesia. Artinya perintah dari hukum tertinggi harus dilaksanakan.
UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Artinya pemilu harus dilaksanakan lima tahun sekali, tanpa terkecuali. Jika pemilu sebelumnya tahun 2019, maka pemilu yang akan datang tahun 2024. Itu sudah tidak bisa ditawar.
Lantas, bagaimana KPU sebagai penyelenggara pemilu menyikapi? Menuruti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau melaksanakan amanat konstitusi? Menuruti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan mengesampingkan konstitusi sama saja dengan melawan konstitusi. Tindakan melawan konstitusi jelas merupakan tindakan inkonstitusional. Dampaknya, penyelenggaraan pemilu tidak sah dan tidak mempunyai konstitusionalitas. Pejabat atau pemimpin yang lahir dari proses inkonstitusional, maka tidak sah kedudukannya.
Tepat jika KPU tetap melaksanakan amanat konstitusi. Menyelenggarakan pemilu secara rutin (lima tahun sekali). Terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus dikesampingkan dalam konteks pemilu. Seperti yang telah diulas oleh berbagai pakar hukum. Bahwa putusan tersebut merupakan putusan perdata, sehingga sengketanya adalah terkait perdata (antar orang). Akibat yang ditimbulkan juga kepada pihak yang bersengketa secara perdata, bukan kepada publik.
Pemilu merupakan hukum publik. Proses penyelesaian sengketa (hasil) pemilu dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK). Terlebih putusan MK bersifat akhir (final) dan berlaku untuk semua (erga omnes). Itupun, MK tidak mempunyai kewenangan untuk menunda pemilu. Mengingat tidak ada satu lembaga di Indonesia yang diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk menunda pemilu.
Akhiri isu
Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa penundaan pemilu hanya dapat dilakukan dengan cara konstitusional dan non konstitusional. Penundaan pemilu dengan cara konstitusional, nampak sulit untuk dilakukan karena harus mengubah UUD 1945. Menggunakan cara non konstitusional tentu berisiko sangat besar.
Jika benar terjadi penundaan pemilu, maka demokrasi sudah tidak dijalankan. Mengapa demikian? Penulis dalam dalam artikel berjudul “Penundaan Pemilihan Umum di Negara Hukum: Kajian Demokrasi Konstitusional” menyatakan bahwa penundaan pemilu di Indonesia untuk saat ini bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional. Karena tidak ada satu norma dalam konstitusi yang mengatur tentang penundaan Pemilu (Diniyanto, 2022).
Indonesia memang negara demokrasi, tetapi demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi konstitusional. Demokrasi yang pelaksanaannya tidak seenak sendiri, melainkan demokrasi yang pelaksanaannya berdasarkan konstitusi. UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Jimly Asshiddiqie (2005) menyebut sebagai demokrasi konstitusional atau constitutional democracy.
Daripada mewacanakan penundaan pemilu yang tidak ada ujung dan hasilnya, lebih baik fokus kepada pelaksanaan tahapan pemilu yang sedang berlangsung saat ini. KPU fokus melaksanakan tahapan pemilu agar berjalan lancar dan berkualitas. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ketat dalam mengawasi tahapan pemilu, sehingga tidak ada kecurangan.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tegas dan adil dalam menindak kesalahan penyelenggara Pemilu. Begitu juga dengan masyarakat yang aktif berpartisipasi dan mengawasi dalam tahapan Pemilu. Semua itu perlu dilakukan untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai amanat konstitusi.
Ayon Diniyanto, Dosen Hukum Tata Negara UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan