Pamer kemewahan, apalagi dari harta yang diperoleh secara illegal, seperti menyiram bensin di tengah kesenjangan sosial yang kian menganga. Ironisnya, sejarah menunjukkan tindakan itu terus berulang.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·3 menit baca
ILHAM KHOIRI
Budiman Tanuredjo
”Sekali lagi, saya ingin tekankan supaya ditekankan kepada bawahan kita. Jangan pamer kekuasaan, jangan pamer kekayaan, apalagi sampai dipajang-pajang di IG (Instagram), di media sosial. Itu, kalau aparat birokrasi, sangat-sangat tidak pantas.”
Presiden Joko Widodo bersuara keras dalam rapat kabinet terbatas, Kamis, 2 Maret 2023. Presiden memahami kekecewaan publik atas perilaku pamer kuasa, pamer kemewahan, yang dipertontonkan pegawai Direktur Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo. Gejala pamer kekuasaan dan kemewahan adalah gejala jamak di Tanah Air. Bukan hanya Alun, melainkan juga pesohor, politisi punya hobi pamer kemewahan. Kemewahan dianggap indikator kesuksesan. Kejujuran dianggap kemiskinan.
Saya sedang ngopi di sore hari bersama Sukidi Mulyadi dan Mustakim, produser Program Satu Meja di Bentara Budaya Jakarta. Kami berbagi keprihatinan tentang narasi negatif yang terus menerpa negeri. Baru kasus Ferdy Sambo reda. Kini, muncul Sambo Part II dengan plot cerita sama. Aktor berbeda.
Narasi pamer kemewahan bukan hal baru di negeri ini. Rekaman di Pusat Informasi Kompas sepanjang 1970-2023 tercatat ada 1.245 berita tentang ”hidup sederhana”, ”hidup mewah” dalam pemberitaan Kompas. Sejumlah karikatur Oom Pasikom yang dilukis GM Sudarta beberapa kali menggambarkan kecenderungan elite yang suka hidup mewah dan memamerkan kemewahan. Meski mewah dan tidak mewah menjadi sangat relatif.
Narasi soal kemewahan berulang. Mustakim bertanya, apakah ini involusi sejarah atau keniscayaan sejarah dan Sukidi menjawab, ”Bisa keduanya. Tapi, pertanyaan mendasarnya adalah apakah bangsa ini pernah belajar dari sejarah bangsanya.” Cerdik pandai mengatakan, ”Kemampuan kita merancang masa depan, tergantung bagaimana melihat masa lalu. Mengidentifikasi kelemahan saat ini.”
Ilustrasi. Bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo (tengah) berjalan menuju mobil setelah selesai diperiksa di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (1/3/2023). Bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo selesai diperiksa KPK. Ia diperiksa sekitar 8 jam. KPK mengklarifikasi informasi seputar enam perusahaan yang dimiliki Rafael yang dilaporkan dalam bentuk kepemilikan surat berharga dengan nominal Rp 1,55 miliar. Rafael Alun Trisambodo merupakan ayah dari Tersangka Mario Dandy yang merupakan pelaku pemukulan terhadap Cristalino David Ozora.
Ketika hujan mereda, saya kembali ke ruangan, mencoba membongkar lagi arsip lama harian Kompas. Saya menemukan pidato Presiden Soeharto dalam berita Kompas, 16 Januari 1973. Judulnya: ”Sekali Lagi, Menahan Diri”. Presiden Soeharto mengatakan, ”Mereka yang hidupnya lebih dari cukup untuk menahan diri.” Sikap menahan diri dapat menghindarkan perbedaan mencolok antara yang kaya dan yang miskin. Pada 5 Januari 1974, Presiden Soeharto kembali menyerukan, hidup berhemat, lebih wajar dan sederhana.”
Menteri era Orde Baru paduan suara menyerukan pola hidup sederhana. Panggung DPR mulai ikut dalam gendang penarasian menghindari pamer kemewahan dan anjuran hidup sederhana. Pada 21 Januari 1974 harian Kompas menulis pemandangan umum Fraksi ABRI. Dalam sidang DPR, Fraksi ABRI mengatakan, ”Dengan teladanlah, pencegahan hidup mewah akan efektif.” Lalu, Kamis, 24 Januari 1974, harian Kompas menulis, ”Lihat Bagaimana Pelaksanaannya Nanti”. Harian Kompas menulis, ”Saran hidup mewah, hidup sederhana selalu berakhir jauh dari harapan. Maka, perlu dilihat, pelaksanaan dan pengawasannya.” Itu kisah tahun 1974.
Diskursus soal anjuran hidup sederhana dan menghindari jor-joran kemewahan lama bertahan di tahun 1970-an. Pada Sabtu, 24 Juni 1974, Kompas menulis pemandangan umum fraksi-fraksi DPR dengan judul: ”Gerakan Hidup Sederhana Jangan Jadi Gerakan Hidup Munafik”. Juru bicara Fraksi PPP Soedardjo pada 24 Juni 1974 mengatakan, ”Seruan Bapak Presiden yang positif dan berorientasi kerakyatan banyak yang melanggarnya. Siapa yang suka pesta mewah di hotel mewah jika tidak direktur utama PT Negara. Siapa yang membangun rumah seharga setengah miliar jika tidak direktur utama bank milik negara. Berbicara soal pelaporan kekayaan pejabat negara, F-PPP menanyakan bagaimanakah hasil pelaporan kekayaan pejabat negara. Dan, apakah tindakan pemerintah selanjutnya.”
Membaca arsip lama tentang anjuran hidup sederhana dan larangan hidup mewah, ketaatan pelaporan kekayaan penyelenggara negara, seperti memutar jarum sejarah. Sejarah bangsa sedang diputar ulang. Pernyataan Juru Bicara PPP Soedardjo masih relevan dipertanyakan sekarang ini. Kok, masih di situ-situ saja bangsa ini. Kontroversi soal pamer kemewahan yang kini sedang dibicarakan dan ditegaskan kembali oleh Presiden Jokowi seakan merepetisi pernyataan sebelumnya.
Saya coba teruskan membaca pemandangan umum Fraksi Golkar, Djamal Ali, sebagaimana termuat di Kompas, 24 Januari 1976. Djamal Ali mengatakan, ”Gerakan hidup sederhana jangan menjadi gerakan hidup munafik, yaitu ’pada hakikatnya tetap bersemangat aji mumpung, tapi tidak dipamerkan kepada publik’.” Tujuan dari gerakan hidup sederhana adalah memperbesar motivasi rakyat dalam proses pembangunan dengan menciptakan pola hidup baru meniadakan pola konsumtif mewah menjadi lebih produktif. Gerakan hidup sederhana harus menjadi gerakan sosial yang bisa memperkuat solidaritas sosial yang bisa mengurangi penyelewengan, pelanggaran kode etik, dan korupsi. Akan tetapi, jika gerakan hidup sederhana hanya berupa gerakan munafik, masyarakat akan bereaksi dan mencemooh. Keteladanan pemimpin amat menentukan.
Berbaur – Siswa SMA Kolese De Britto Yogyakarta, Selasa (7/1/2020), tampak memiliah sampah di TPA Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur. Sebanyak 30 siswa De Britto menjalani live-in atau hidup berbaur dengan masyarakat di kawasan TPA tersebut. Mereka diharapkan belajar kejujuran dan kesederhanaan ala rakyat kecil. Pengalaman itu diharapkan akan membentuk mental dan sikap mereka kelak jika nanti menjadi pejabat. Diharapkan, mereka akan tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat lintas kelas, serta hidup sederhana dan jujur.
Pamer kemewahan, apalagi dari harta yang diperoleh secara illegal, seperti menyiram bensin di tengah kesenjangan sosial yang kian menganga. Pamer kuasa dan kemewahan menyakitkan bagi 68 persen penduduk yang tidak mampu memenuhi makanan bergizi. Pamer kemewahan menjengkelkan bagi 8,42 juta orang yang masih menganggur.
Langkah konkret perlu diambil. Kunjungan penyelenggara negara yang disertai tim persiapan, tim media, ajudan, asisten dengan rombongan besar bisa dikurangi karena itu pemborosan. Jalan hidup ”biasa-biasa saja” harus jadi way of life guna membangun solidaritas sosial ketika ketimpangan menganga. Satunya kata dan perbuatan dibutuhkan.
Menjelang malam, muncul lagi berita baru soal putusan pengadilan yang memutuskan menunda Pemilu 2024. Kegalauan bangsa ini bisa kian dalam. Entahlah, apakah ada untouchable hand sedang bermain?