Penyelenggaraan pemilu dan pengawas pemilu perlu dibenahi. Salah satunya, perlu regulasi guna memperkuat Bawaslu sebagai palang pintu pengawasan sehingga pemilu menjadi pesta demokrasi dalam makna sebenarnya.
Oleh
APRIDAR
·3 menit baca
Politik Indonesia hari-hari ini merupakan politik romantik, di mana para calon presiden lewat partai politik sedang mencoba membangun konsensus. Layaknya menemukan pasangan hidup.
Sisi lain, hari-hari ini, tahun politik dianggap warga penuh karut-marut. Gugatan elemen sipil terhadap kinerja penyelenggara, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), dapat dimaknai positif, di mana rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi dalam sistem negara demokratis menyalurkan aspirasinya. Sikap masyarakat ini patut diacungi jempol.
Sisi lain, patut pula negara ini bebenah dari sisi penyelenggaraan pemilihan umum dan pengawas pemilihan umum. Salah satu contohnya, rekrutmen anggota KPU di daerah berbeda dengan mekanisme rekrutmen anggota Bawaslu di daerah. Bawaslu menentukan panitia seleksi yang diambil dari tokoh masyarakat, elemen sipil, dan teruji integritasnya untuk memilih calon ”panglima” pengawasan pemilihan umum di tingkat daerah, seterusnya dipilih dan ditetapkan oleh Bawaslu Pusat untuk tahap akhir.
Sebaliknya, KPU belum menggunakan sistem tersebut. Rekrutmen anggota panitia seleksi dibentuk oleh DPRD provinsi/kabupaten/kota. Lalu pada tahap akhir, DPRD memilih dan menetapkan anggota KPU di daerah.
Tentu, plus minus dari sistem rekrutmen KPU itu patut dikaji secara mendalam. Namun, sejatinya, rentang konsensus partai politik yang dibatasi dalam wadah perwakilannya di parlemen telah dipraktikkan negara ini. Sebut saja Bawaslu yang direkrut oleh DPR. Sementara di daerah direkrut mandiri oleh Bawaslu. Ini patut dilakukan oleh KPU.
Dengan demikian, konsensus politik di tingkat daerah dapat diminimalkan. Konsensus partai hanya dilakukan di tingkat pusat. Dengan begitu, anggota KPU di daerah patuh dan tunduk kepada regulasi yang ada, bukan terjerat dalam balutan ”balas budi” dengan politisi di tingkat daerah. James Scoot (1983) menyebut kondisi ini sebagai hubungan patron–klien, yang mungkin disalahgunakan dalam praktik politik di dunia.
Dampak positif lainnya, gesekan antarpartai di daerah dapat ditekan. Kita tahu, polarisasi antar-pendukung partai dan calon presiden kerap memecah belah bangsa. Puluhan penelitian menyampaikan temuan ini sehingga politik bukan sebatas pemersatu kepentingan, melainkan juga menjadi pembelah persaudaraan antar-anak bangsa. Ini patut dihindari dalam sistem negara demokratis.
Pengawas indenpenden
Sisi lain, Bawaslu membuka diri untuk keterlibatan elemen sipil sebagai pengawas independen. Dalam arti, lembaga sipil yang menjadi pengawas pemilihan umum mandiri secara finansial.
Sebaiknya, memperkuat lembaga Bawaslu daerah untuk melakukan pengawasan dengan membuka ruang pendanaan dari pemerintah daerah.
Namun, pertanyaannya, seberapa banyak lembaga sipil memiliki fondasi pendanaan untuk melakukan pengawasan pemilu di tiap-tiap daerah? Karena itu, sebaiknya, memperkuat lembaga Bawaslu daerah untuk melakukan pengawasan dengan membuka ruang pendanaan dari pemerintah daerah.
Misalnya, dibuat simpul sukarelawan pengawas pemilu di bawah struktur Bawaslu. Mereka diberikan biaya jerih payah sepantasnya untuk menjadi pengawas lapangan independen dengan sumber gaji dari pemerintah daerah. Sayangnya, otonomi khusus membuat dikotomi pendanaan dalam sektor pemilihan umum. Bawaslu dianggap instansi vertikal dan hanya didanai oleh APBN. Pemerintah daerah tidak mau mendanai lembaga instansi vertikal tersebut.
Di sinilah peran Presiden Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mengeluarkan intruksi penguatan lembaga Bawaslu dengan rekrutmen sukarelawan pengawas pemilu. Dengan demikian, pemerintah daerah bersedia memberi pendanaan secara proporsional di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, semua partai baik di dalam maupun di luar parlemen menginginkan terselenggaranya pemilihan umum yang fair, jujur, dan bersih. Karena itu, memperkuat Bawaslu sebagai palang pintu pengawasan menjadi keniscayaan.
Belum terlambat bagi elite bangsa ini untuk memikirkan regulasi memperkuat Bawaslu sehingga pemilu menjadi pesta demokrasi dalam makna sebenarnya. Layaknya sebuah pesta, maka semua pihak yang berpartisipasi, mulai dari rakyat, calon legislatif, presiden, hingga penyelenggara, semua berbahagia. Hasil pemilu menjadi mandat kuat rakyat untuk mereka terpilih, membawa dan menentukan nasib bangsa ini ke depan.
Pemilu yang sukses adalah pemilu yang diakui oleh seluruh rakyat negeri kredibilitas hasilnya dan integritas penyelenggaranya. Itulah makna sesungguhnya kedaulatan dalam negara kepulauan yang disebut Indonesia.