Tipologi Karakter Guru Indonesia, dari ”Guru Belanda” hingga ”Guru 4.0”
Dinamika sosial, politik, ekonomi, kultural, historis, dan teknologis membentuk karakter guru. Hal ini memengaruhi model pedagogi yang mereka bawa di kelas. Di era 4.0 ini, pedagogi model apa yang mereka bawa ke kelas?
Oleh
I WAYAN ARTIKA
·5 menit baca
Sebagai profesi, karakter guru lebih kuat dibentuk oleh dinamika sosial, politik, ekonomi, kultural, historis, dan teknologis ketimbang oleh personalitas seseorang. Guru merupakan representasi konstelasi pendidikan dan politik karena telah menjadi kebijakan umum bahwa pendidikan itu politis (Paulo Freire).
Para siswa era proklamasi dan semasa revolusi masih menerima guru-guru dengan karakter penjajah yang sering disebut ”guru Belanda”. Guru-guru ini dididik di sekolah-sekolah Belanda dan memiliki pengalaman kerja pada tahun-tahun akhir penjajahan. Tindakan keras (verbal dan fisik) merupakan ciri yang paling kuat. Para siswa dan orangtua hanya bisa menerima karakter guru yang mendidik dengan aroma kuat kekerasan. Murid-murid yang tidak kuat, drop out (putus sekolah).
Pada masa pergulatan ideologi atau semasa revolusi terpimpin, karakter guru dibentuk oleh ideologi partai. Afiliasi politik mana pun yang bebas memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi ”corong” partai dan ideologinya di kelas-kelas. Guru ketika itu terkotak-kotak oleh partai dan ideologi. Keadaan ini berdampak tragis bagi dunia pendidikan Indonesia ketika G30S meletus, banyak guru terbunuh pada periode 1965/1966.
Ketika kekuasaan berada di tangan Presiden Soeharto dengan satu klaim oposisioner terhadap Presiden Soekarno: Orba (Orde Baru), sisa guru dimanfaatkan oleh pemerintah melalui saringan ideologi yang ketat. Krisis guru diatasi dengan akselerasi pendidikan guru. Karakter guru pada era awal Orde Baru adalah guru-guru yang setia kepada pemerintah. Guru tidak hanya mendukung Orba, tetapi juga harus ”bersih lingkungan” karena Presiden Soeharto harus memastikan bahwa para guru di sekolah-sekolah bersih ideologi PKI.
Era kekuasaan Presiden Soeharto yang melebihi tiga dekade adalah masa pembentukan karakter guru yang stagnan dan guru robot hidup. Mereka agen politik pemerintah melalui kurikulum dan mata pelajaran. Pada masa ini guru-guru bekerja di bawah iklim pendidikan yang sentralistik dan militeristik. Walaupun ketika itu gaji sangat kecil, para guru tetap bertahan karena tidak ada pilihan lain dan demi rasa nyaman secara sosial karena kenangan atau bayangan hitam tragedi masih sangat kuat.
Militerisme yang dialami guru-guru terlihat pada kerja birokrasi dan pengawasan yang dilakukan oleh dinas pendidikan di daerah. Guru mesti patuh dengan instruksi dari atas. Guru dan sekolah benar-benar tidak berkutik. Kepala sekolah di setiap satuan pendidikan lebih banyak berperan sebagai intel negara untuk memata-matai guru. Dapat dibayangkan, dengan cara itulah, selama 30 tahun lewat generasi bangsa ini menjalani black paedagogy atau pedagogi hitam (Paulo Freire).
Ada sedikit rasa lega ketika pada masa Reformasi 1998 guru-guru era Orde Baru dengan stagnasi panjang itu memasuki iklim baru. Ciri periode ini ada pada perjuangan untuk meningkatkan gaji dengan instrumen politik Undang-Undang Guru dan Dosen. Yang diutamakan ialah karakter profesional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan akibat selama 30 tahun dipraktikkannya pedagogi hitam; masih dinomorduakan karena periode ini sibuk dengan wacana meningkatkan kesejahteraan guru Indonesia.
Kebijakan pemerintah terasa populis di kalangan guru. Sejak tiga zaman guru Indonesia mengabdi seperti Bapak Omar Bakri (Iwan Fals) dan hanya menerima ”Himne Guru” semasa Presiden Soeharto sebagai penawar politis. Reformasi adalah era bagi guru untuk menerima balas budi negara. Politik sertifikasi guru memiliki tujuan meningkatkan kualitas pendidikan bangsa demi amanat UUD 1945.
Di luar usaha menyempurnakan sistem uji sertifikasi guru, pemerintah menghadapi kenyataan bahwa pada periode awal sertifikasi yang menjadi ’bahan baku’ adalah guru-guru era Orde Baru.
Kenyataan pahit sertifikasi akhirnya menjadi kenyataan: kesejahteraan guru tidak serta-merta dapat meningkatkan mutu guru dan kualitas pendidikan nasional. Tidak ada beda kinerja dan profesionalisme antara guru sebelum mendapatkan tunjangan profesi dan setelah menerima gaji tambahan sertifikasi. Negara menangis!
Lalu, dari berbagai kajian, pemerintah memang tidak mau menyalahkan guru. Demi menyelamatkan dana pendidikan yang sangat besar untuk membayar tunjangan sertifikasi, pemerintah mengubek-ubek sistem sertifikasi itu yang kemudian diubah dan diperbarui, dari portofolio guru, beberapa edisi PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru), dan kini akhirnya PPG (Program Pendidikan Guru).
Di luar usaha menyempurnakan sistem uji sertifikasi guru, pemerintah menghadapi kenyataan bahwa pada periode awal sertifikasi yang menjadi ”bahan baku” adalah guru-guru era Orde Baru. Di tengah rasa putus asa negara, muncul berbagai tesis bahwa sangat berisiko meng-upgrade guru lama atau guru tua termasuk guru setengah baya yang telah terkontaminasi politik pedagogi hitam Orde Baru. Karena itu, perbaikan kualitas guru harus dimulai dari awal.
Meningkatkan kualitas
Sejak Reformasi 1998, isu terpenting pendidikan nasional adalah sertifikasi atau pemberian tunjangan berupa gaji tambahan. Hal ini berkonsekuensi pada munculnya berbagai kebijakan nasional untuk menyempurnakan sistem seleksi atau pelatihan bagi guru yang layak menerima tunjangan profesi. Guru-guru era Soeharto telah mulai memasuki masa pensiun dan peta guru di sekolah secara perlahan berubah, peluang yang sangat baik dalam peningkatan kualitas guru.
Bersamaan dengan perubahan itu, UU Guru dan Dosen direspons oleh calon mahasiswa, dan mereka tidak ragu-ragu lagi kuliah di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Selain itu, negara juga membuka peluang lebar bagi sarjana apa pun untuk berkarier di sekolah, melalui PPG. Sistem inilah yang mengubur seluruh kebijakan peningkatan kualitas guru tambal sulam. Namun, sampai tahun ini PPG masih berfokus lebih pada guru prajabatan.
Pada masa Reformasi 1998, karakter guru tidak jelas karena karakter lama (satganasi akibat militeristik) semasa Orba tiba-tiba sudah tidak dibutuhkan lagi. Namun, yang namanya karakter, daya lekatnya sangat kuat, di era ini pun guru-guru masih menunjukkan karakter yang telah membentuk jiwanya pada era selama 30 tahun sebelumnya. Alam pikir reformasi yang bebas ternyata adalah barang mahal di sekolah karena guru-guru hanya mampu sebagai agen-agen status quo dan anti-perubahan, anti-inovasi.
Mereka lalu dihadang oleh ”spesies” guru 4.0 atau guru milenial. Kekuatan guru ini sangat besar dan telah ”menggusur” guru-guru status quo yang anti-inovasi. Saat ini, pemerintah tidak perlu merayu guru untuk berubah dan berinovasi. Berubah cepat dan berinovasi adalah ideologi guru 4.0 yang mereka warisi dari kultur digitalisme. Pemerintah cukup menyediakan regulasi dan dana. Mereka bergerak sendiri dalam jaringan-jaringan yang sangat luas.
Meskipun demikian, ada kegamangan besar di kalangan guru 4.0 karena yang mereka anut sebagai karakter adalah teknologis, digitalisme, dan berorientasi besar kepada virtualisme. Pedagogi model apa yang mereka bawa ke dalam kelas? Kedalaman dan fokus konten seperti apa yang mampu mereka kuasai? Kegamangan lain tentu saja: tidak ada beda penguasaan konten pengetahuan, pedagogi, dan aspek teknologinya (TPAC) antara siswa dan guru-guru 4.0.
I Wayan Artika, Dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Pengampu Mata Kuliah Modul Nusantara