KUHP dan Tubuh Perempuan
Pasal terkait ketubuhan perempuan dalam relasi antarumat manusia yang paling privat semestinya dihapus saja karena seharusnya berada dalam ranah etika. Reformasi hukum seharusnya sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Perkembangan hukum tidak pernah bisa mengejar pesatnya perkembangan masyarakat.
Reformasi hukum dalam bentuk terbitnya hukum baru, amendemen, atau penghapusan hukum usang yang tak sesuai lagi dengan rasa keadilan masyarakat, mestinya disambut baik. Namun, pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru ternyata diwarnai respons kontroversial dari masyarakat, bahkan masyarakat internasional.
KUHP mengatur tindak pidana yang begitu luas, tetapi yang menjadi sorotan utama adalah pengaturan soal relasi paling privat dalam ranah hubungan antarmanusia laki-laki dan perempuan, antara lain soal perzinaan (Pasal 411), kohabitasi (Pasal 412), dan kaitannya dengan pemberlakuan ”hukum yang hidup” yang bersumber pada Pasal 2.
Dalam teori hukum berperspektif perempuan, pasal-pasal ini tidak dapat dibaca secara netral karena dalam penafsiran dan praktiknya, perempuan akan menjadi kelompok yang paling rentan dikonstruksi sebagai ”sumber dosa” dan harus dihukum lebih.
Sejarah menjadikan tubuh perempuan alat politik identitas secara sosial-kultural, termasuk memformulasinya dalam berbagai aturan hukum, baik tertulis maupun tak tertulis. Ini sudah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia.
Tujuannya adalah melegalkan konstruksi perempuan sebagai kelompok ”liyan”, other, terutama perempuan minoritas secara ras, etnik, agama, kelas miskin, dan buta hukum. Maka, teori hukum perempuan merekomendasi agar tujuan mengubah masyarakat ke arah yang lebih adil juga harus dipulihkan melalui hukum. Apakah KUHP dapat mencapai tujuan tersebut?
Baca juga : KSP: KUHP Relevan dengan Nilai Keindonesiaan
Baca juga : Sejumlah Norma di KUHP Baru Dikhawatirkan Jadi Pasal Karet
Mengapa kontroversial?
Tulisan ini berupaya menganalisis secara hukum interdisiplin tentang munculnya respons kontroversial menanggapi KUHP. Pertama, secara filosofis, pengaturan terkait relasi amat pribadi dalam hubungan antarmanusia seharusnya berada di ranah etika, bukan di ranah hukum. Hal Hart, seorang filsuf hukum beraliran positivisme hukum, berpendapat, etika moral dan hukum sama-sama berasal dari tradisi moralitas.
Namun, etika dan hukum tak bisa di- campuradukkan karena akan saling membusukkan satu sama lain. Tujuan memisahkannya adalah agar keduanya bisa saling mengoreksi. Artinya, tak semua prinsip moralitas harus dijadikan hukum tertulis. Sungguhpun tidak tertulis, tidak memiliki sanksi pidana, etika berkedudukan lebih tinggi daripada hukum, disosialisasikan dari generasi ke generasi dalam ruang keluarga dan pendi- dikan, dipraktikkan dalam relasi keseharian antarwarga masyarakat, dan pelanggarnya akan bersanksi sosial berupa rasa malu atau keterasingan yang tak lebih ringan daripada pidana penjara.
Kedua, dari perspektif sosio-legal, hukum harus dilihat secara holistik, sejak dari proses perumusan sampai penerapan dan implikasinya. Bagaimanapun pasal-pasal yang dianggap kontroversial itu merupakan hasil kompromi dari beragam kelompok yang berkontestasi di masyarakat. Ada kelompok konservatif, progresif, dan kelompok kepentingan lain. Perdebatan tak akan berhenti, dan terbukti sesudah disahkan sekalipun.
Hukum seharusnya dipahami tak sebatas konsepsi normatif, tetapi juga konsepsi kognitif. Sebagai konsepsi normatif, hukum mengatur apa yang boleh dan tak boleh. Bisa saja hukum negara, hukum internasional, hukum adat, hukum agama, dan kebiasaan sama-sama mengatur yang boleh dan tidak boleh.
Namun, secara antropologis, hukum harus dilihat sebagai konsepsi kognitif juga. Konsep atau tindakan apa yang diperbolehkan dan dilarang itu sangatlah terkait dengan kognisi sosial-budaya masing-masing. Ada relativisme budaya di sini, kognisi yang satu tidak bisa dinilai sebagai lebih baik dari yang lain.
Maka, pasal terkait ketubuhan perempuan dalam relasi antarumat manusia yang paling privat itu semestinya dihapus saja karena seharusnya berada dalam ranah etika. Negara seharusnya memiliki trust bahwa warga negaranya adalah orang-orang bermartabat dan berkeadaban, yang moralitasnya dijaga diri masing-masing atau komunitasnya.
Tidak perlu intervensi negara. KUHP lama memang mengaturnya, tapi bukankah dibuat dalam perspektif kolonial dan untuk kepentingan kolonial? Bukankah reformasi hukum seharusnya bisa menghapuskan hukum yang tak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat?
Maka, pasal terkait ketubuhan perempuan dalam relasi antarumat manusia yang paling privat itu semestinya dihapus saja karena seharusnya berada dalam ranah etika.
Lagi pula kejahatan terhadap seksualitas (ketubuhan) perempuan sudah diatur di banyak UU lain, seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan terhadap Anak, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sebagai catatan, meski UU TPKS telah kehilangan pasal inti kejahatan kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan dan persetubuhan terhadap anak—karena diletakkan di KUHP—dalam praktik penanganannya justru berpotensi membingungkan aparat penegak hukum.
Ketiga, mengapa masyarakat internasional bereaksi? Globalisasi hari ini tak hanya dalam bidang ekonomi, dan sosial-kultural, tetapi juga hukum.
Globalisasi hukum terjadi ketika konvensi internasional, terutama di bidang HAM, diratifikasi menjadi hukum nasional negara masing-masing di dunia. Hukum internasional dalam bidang kemanusiaan berasal dari delegasi negara-negara di PBB, dan diperjuangkan bersama menjadi konvensi internasional.
Mereka menyuarakan tragedi kemanusiaan paling mendegradasi umat manusia di muka bumi, terutama para korban perempuan, anak-anak, masyarakat adat, korban kejahatan konflik dan perang, korban kesalahan kebijakan didasarkan pada politik identitas rasial atau berdalih agama di banyak wilayah dunia. Globalisasi hukum membawa kesadaran kolektif tentang HAM.
Keempat, perkembangan masyarakat sangatlah didorong temuan sains dan teknologi digital. Terdapat banyak produk ilmu pengetahuan yang bermaslahat di segala bidang kehidupan publik ataupun individu, yang bisa difungsikan hanya dengan sentuhan jari. Siapakah di balik semua itu? Para ilmuwan, peneliti terutama di negara maju yang bekerja sangat keras tak hanya di universitas, tetapi juga industri, dan mendapat dukungan dana hampir tanpa batas dari pemerintah.
Maka, pekerja di markas industri besar seperti otomotif, digital, pangan, farmasi-kesehatan adalah ilmuwan. Persyaratan profesional diterima di industri besar memang bergelar doktor ditambah post doc beberapa tahun. Sementara latar belakang bangsa, etnik, dan agama kurang dipedulikan. Industri dunia jadi tempat berkumpulnya para ilmuwan terbaik lintas bangsa. Globalisasi masa kini juga ditandai fenomena migrasi para ilmuwan dan tenaga profesional.
Dampaknya adalah terbangunnya masyarakat internasional berwawasan ilmu pengetahuan, dan semakin menolak gagasan dan kebijakan antisains.
”Hukum tertinggi” yang dianggap memastikan kelangsungan relasi masyarakat adalah penghormatan pada HAM.
Tampaknya peradaban global tak lagi mementingkan seseorang berasal dari kultur yang mewajibkan perkawinan; atau permisif terhadap hidup bersama, di antaranya karena alasan praktikalitas, pajak tinggi, dan pembagian kerja saling menguntungkan menyikapi hidup yang serba kerja keras.
Sungguhpun secara normatif pemerkosaan dirumuskan sebagai tindakan jahat dan dilarang, kognisi tentang pemerkosaan yang dikaburkan dengan perzinaan atas nama adat berdampak menyengsarakan korban perempuan dan anak.
Kelima, apa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia? Memang penting menghormati keluhuran hukum adat (Pasal 2), tetapi meromantisasinya sebagai selalu baik bagi semua bisa menyesatkan. Hukum, penegakan hukum, termasuk putusan hakim, yang dibutuhkan adalah yang bisa memberi keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual yang jumlahnya masif di Tanah Air.
Korban di antaranya adalah anak atau perempuan korban pemerkosaan yang dikawinkan kepada pemerkosanya atas nama kepatutan dan kelaziman adat.
Belum lagi korban kawin anak, kawin tangkap, dan kawin paksa atas nama adat di banyak wilayah terutama dengan struktur sosial timpang. Sungguhpun secara normatif pemerkosaan dirumuskan sebagai tindakan jahat dan dilarang, kognisi tentang pemerkosaan yang dikaburkan dengan perzinaan atas nama adat berdampak menyengsarakan korban perempuan dan anak.
Epilog
Indonesia adalah rumah bagi warga masyarakat plural, dan hari ini tidak bisa diisolasi dari kehidupan masyarakat internasional. Globalisasi hukum telah menyebabkan munculnya kesadaran kolektif tentang nilai-nilai demokrasi dan HAM/perempuan yang universal.
Di balik kemajuan sains dan teknologi (digital) yang menyebabkan pesatnya perubahan masyarakat adalah kolaborasi ilmuwan lintas bangsa. Keberadaan mereka menyebabkan kian terbangunnya masyarakat global berorientasi sains. Norma hukum yang dianggap mengintervensi ranah privat di wilayah negara mana pun akan dapat reaksi spontan.
Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum UI