Semangat KUHP bukan hanya menekankan pemidanaan, tetapi kepastian hukum yang mencirikan pidana modern yang mengandung tiga unsur prinsipil, yakni keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kantor Staf Presiden atau KSP menegaskan bahwa pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP membuat Indonesia memiliki kodifikasi hukum pidana dengan paradigma pemidanaan modern dan relevan dengan nilai-nilai keindonesiaan. KUHP, antara lain, bisa mencegah perilaku main hakim sendiri hingga menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Ketentuan terkait perzinahan, misalnya, harus dimaknai sebagai upaya menjamin kepastian penegakan hukum pidana dan merupakan delik aduan. ”Pembatasan pihak-pihak yang dapat mengadukan tindak pidana perzinaan yang sifatnya limitatif, di antaranya oleh suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan serta orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan,” kata Tenaga Ahli Utama KSP Ade Irfan Pulungan, Selasa (13/12/2022).
Hal ini dinilai justru dapat mengurangi risiko perilaku main hakim sendiri di tengah masyarakat. Pasal 412 Ayat 1 KUHP mengatur bahwa setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Narasi yang berkembang saat ini dinilai dipenuhi dengan mispersepsi.
”KUHP sebagai manifestasi hukum pidana harus pula diuji pada koridor hukum pidana, karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan ranah hukum lainnya,” ucap Irfan.
”KUHP sebagai manifestasi hukum pidana harus pula diuji pada koridor hukum pidana, karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan ranah hukum lainnya. ”
Pengesahan KUHP pada 6 Desember 2022 lalu merupakan upaya panjang pembaharuan KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang dibahas di DPR selama 59 tahun. ”KUHP lama tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum pidana dan kondisi masyarakat di Indonesia, karena semangatnya jauh berbeda,” tambah Irfan.
Semangat KUHP kali ini bukan hanya menekankan pemidanaan, tetapi kepastian hukum yang mencirikan pidana modern. Hal ini mengandung tiga unsur prinsipil, yakni keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif.
Terkait sorotan yang mengemuka bahwa KUHP bisa mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Rumadi Ahmad menilainya sebagai opini yang menyesatkan. Opini ini tidak disertai penjelasan yang konkret terkait aspek dari KUHP yang menjadi ancaman bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
”Jika yang dimaksud terkait dengan delik keagamaan sebagaimana diatur dalam pasal 300-305, pendapat tersebut tidak sepenuhnya tepat,” kata Rumadi.
Kelompok Minoritas
Rumadi menegaskan, delik keagamaan di dalam KUHP telah diatur dengan formulasi yang jauh lebih baik. Delik keagamaan diarahkan pada perbuatan yang bersifat permusuhan, kebencian, menghasut untuk melakukan kekerasan, serta diskriminasi terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan atau kelompok atas dasar agama dan kepercayaan.
”Penjelasan ini penting karena selama ini delik keagamaan diterapkan secara eksesif. ”
Untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan dalam pelaksanaannya, pasal 300 menjelaskan bahwa delik tersebut tidak bisa digunakan untuk memidana perbuatan atau pernyataan tertulis maupun lisan yang dilakukan secara objektif dan terbatas untuk kalangan sendiri atau bersifat ilmiah. ”Penjelasan ini penting karena selama ini delik keagamaan diterapkan secara eksesif,” ujarnya.
Rumadi juga menyebut, delik kegamaan dalam KUHP juga memberi perlindungan yang jelas kepada kelompok minoritas, terutama penganut penghayat kepercayaan yang dalam KUHP lama tidak ada. Hal ini bisa dilihat dalam judul BAB VII KUHP baru yang memuat 6 pasal (pasal 300-305), yaitu Tindak Pidana terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan.
Atas fakta-fakta itu, Rumadi tidak membenarkan jika KUHP baru dinarasikan sebagai ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. ”Contohnya, pada KUHP baru sudah tidak lagi memuat norma ”Penodaan Agama” Sebagaimana di dalam KUHP lama yang banyak dipersoalkan kalangan aktivis,” tutur Rumadi.
Secara terpisah, Pengamat hukum tata negara, Feri Amsari menilai KUHP tidak ampuh memberikan perlindungan hukum di Indonesia terhadap masyarakat yang memberikan kritik. Hal ini terutama dalam konteks kritik terhadap penyelenggaraan pemilu.
”Kalau dilihat KUHP baru yang akan berlaku 3 tahun lagi, untung tidak berdekatan waktu dengan Pemilu. KUHP baru itu akan akan lebih berat bagi masyarakat untuk menyampaikan prespektif mereka terhadap kepemiluan,” ujar Feri pada diskusi bertajuk ”Merawat Asa Masyarakat Sipil Mendorong Penataan Pemilu” yang digelar Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Selasa (13/12/2022).
”Kalau dilihat KUHP baru yang akan berlaku 3 tahun lagi, untung tidak berdekatan waktu dengan Pemilu. KUHP baru itu akan akan lebih berat bagi masyarakat untuk menyampaikan prespektif mereka terhadap kepemiluan”
Di satu sisi, Feri menilai tak ada kesiapan aparat dalam melihat bagaimana hukum kepemiluan itu ditegakkan. Aparat cenderung melihat perbedaan sikap antara pendukung seolah-olah sebagai sebuah perbuatan pidana. ”Bukan dilihat keterlibatan emosi pendukung terhadap calon atau partai pilihannya yang mestinya bisa diselesaikan tidak dengan cara pemidanaan,” tambah Feri. (WKM)