Apakah Pasal Kohabitasi RKUHP Mengancam Pasangan yang Menikah Siri?
Larangan kohabitasi dipandang tetap perlu diatur di dalam RKUHP. Namun, hal itu perlu dirumuskan secara tepat. Salah satunya agar tak mendorong masyarakat melakukan pernikahan siri.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
Apakah seseorang yang menikah secara agama atau siri, tidak tercatat dalam catatan negara, bisa dijerat pasal perzinaan dan kohabitasi di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)? Sebab, meskipun sah secara agama, pernikahan siri dilakukan secara bawah tangan dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), serta tidak mendapatkan buku nikah atau kutipan akta pernikahan.
Karena belum legal dalam kacamata hukum negara, apakah dengan demikian pasangan yang menikah siri bisa diancam dengan pasal-pasal di KUHP? Persoalan tersebut sempat menjadi perhatian Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam diskusi informal mengenai RKUHP bersama-sama dengan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan Mahfud MD serta Menteri Komunikasi dan Informatika Jhonny G Plate.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward OS Hiariej mengungkapkan apa yang mengemuka dalam diskusi informal tersebut. Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber diskusi ”RKUHP: Wujud Keadilan Hukum Indonesia” yang diselenggarakan Forum Merdeka Barat, Senin (29/8/2022).
Apakah seseorang yang menikah secara agama atau siri, tidak tercatat dalam catatan negara, bisa dijerat pasal perzinaan dan kohabitasi di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)?
Forum diskusi tersebut menjadi salah satu ajang sosialisasi RKUHP yang membahas satu per satu pasal yang masih menjadi perhatian masyarakat yang biasa disebut sebagai ”pasal-pasal krusial”, seperti penghinaan presiden/wakil presiden, penodaan agama, perzinaan, kohabitasi, larangan berdemonstrasi tanpa izin, dan lainnnya.
Seperti diketahui, ada 14 isu krusial yang masih disosialisasikan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat setelah penolakan masif pengesahan RKUHP pada tahun 2019. Pemerintah kemudian mengadakan dialog di 12 kota sepanjang tahun 2021, tetapi hal tersebut belum dapat meredakan penolakan yang dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat sipil. Presiden Joko Widodo pun meminta jajarannya agar kembali melakukan sosialisasi dan diskusi secara masif terhadap norma-norma yang masih dipersoalkan di dalam RKUHP.
Dengan masih adanya penolakan dari masyarakat, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama delapan kementerian/lembaga kembali terjun ke 11 kota untuk berdiskusi dan menjaring aspirasi masyarakat. Sembari hal tersebut dilakukan, Dewan Perwakilan Rakyat pun tengah mengadakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan kelompok-kelompok strategis, seperti Dewan Pers dan Ikatan Dokter Indonesia.
”(Mengenai kohabitasi) ini masukan menarik. Ketika diskusi informal dengan Menko Polhukam, Menag, dan Menkominfo, ini menjadi pertanyaan Menag. Ini mesti diakomodasi di (bagian penjelasan) bahwa perkawinan secara agama itu harus sudah dianggap sah supaya tidak menimbulkan kriminalisasi. Ini akan kita masukkan ke dalam penjelasan Pasal 416 tentang kohabitasi,” ujar Eddy.
Pasal 416 menyebutkan, setiap orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Penuntutan atas tindak pidana itu hanya dapat dilakukan suami atau istri bagi yang terikat perkawinan atau orangtua atau anak bagi yang tidak terikat perkawinan.
Awalnya, tim perumus RKUHP memasukkan kepala desa sebagai salah satu pihak yang dapat mengadukan. Akan tetapi karena muncul banyak protes, ketentuan yang menyatakan kepala desa bisa mengadukan ke pihak berwajib tentang adanya pasangan kohabitasi pun dicabut.
Eddy pun merujuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa pernikahan yang dianggap sah oleh negara adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Pencatatan oleh negara hanyalah persoalan administrasi.
Rumusan tepat
Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abu Rokhmad sepakat mengenai perlunya pengaturan larangan kohabitasi di dalam RKUHP. Namun, ia meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memikirkan rumusan yang tepat mengenai hal tersebut. Jangan sampai kemudian pernikahan siri yang dikecualikan dari ancaman pidana kohabitasi justru disalahtafsirkan seakan RKUHP ”melegalkan” perkawinan siri.
”Ya, meski siri sah secara agama, jangan sampai kemudian RKUHP ini nanti mendorong masyarakat ramai-ramai nikah siri. Berabe juga,” ungkapnya.
Eddy sepakat dengan apa yang diungkapkan oleh Abu Rokhad. Ia pun menimpali, ”Itu yang saya katakan. Diatur salah, tidak diatur lebih salah.”
PBNU juga sepakat dengan pengaturan larangan perzinaan dalam RKUHP seperti diatur dalam Pasal 415. Menurut Abu, pasal perzinaan dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka menjaga lembaga perkawinan dan juga merupakan pelaksanaan ajaran agama. Menurut dia, meletakkan ajaran agama dalam konteks perzinaan tersebut penting agar pembuat undang-undang tidak dianggap melegalkan pergaulan yang tidak sesuai dengan norma agama.
Hanya saja, menurut Abu, masih ada perbedaan makna antara pengaturan perzinaan di dalam RKUHP dengan yang ada di dalam ajaran Islam. Di dalam Pasal 415 RKUHP diatur ”Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”. Penuntutan atas pidana perzinaan ini hanya dapat dilakukan oleh pihak suami, istri, orangtua, atau anak dari orang yang bersangkutan.
”Dalam Islam, apakah itu dilakukan oleh yang sudah menikah ataupun belum menikah, itu sama saja perzinaan. Apakah ada aduan ataukah tidak ada aduan, itu juga perzinaan,” tegasnya.
Pasal perzinaan dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka menjaga lembaga perkawinan.
Masyarakat sipil meminta perzinaan dikembalikan ke konsep awal, di Pasal 284 KUHP, yang lebih menekankan pada serangan terhadap ikatan perkawinan. Masyarakat sipil meminta pasal tersebut diubah menjadi: ”Setiap orang yang terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”. Terhadap tindak pidana tersebut, penuntutan hanya dilakukan atas aduan suami atau istri pelaku.
Sementara utuk Pasal 416 terkait kohabitasi, masyarakat sipil meminta agar ketentuan tersebut dicabut seluruhnya. Perdebatan yang selama ini terjadi di kalangan masyarakat sipil adalah agar ada kepastian hukum dan tetap menghargai privasi individu.
Adapun marital rape atau perkosaan di dalam perkawinan juga diatur di dalam RKUHP. Pasal 477 Ayat (1) RKUHP memuat ketentuan: ”Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengna pidana penjara paling lama 12 tahun”. Sementara pada Ayat (6) disebutkan, jika hal tersebut terjadi di dalam ikatan perkawinan, penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan korban.
Terkait dengan marital rape, PBNU memandang bahwa pada dasarnya, seperti hukum perkawinan pada agama-agama lain, basis perkawinan di dalam Islam adalah cinta. Dengan basis itu, artinya tidak boleh ada pemaksaan.
”Jadi kira-kira gini. Pasal ini dibutuhkan. Tapi perumusannya harus ditata sedemikian rupa sambil terus mengedukasi masyarakat dan publik bahwa sesungguhnya tidak boleh ada seperti itu. Pemerkosaan di dalam rumah tangga itu tidak boleh. Semuanya harus dilakukan suka sama suka,” kata Abu.
Senada dengan Abu, Eddy sepakat bahwa perumusan pasal marital rape memang harus dilakukan secara hati-hati. Ini penting agar pasal tersebut tidak mudah ditafsirkan dan aparat penegak hukum dapat on the right track. ”Karena pasal yang multitafsir tidak menjamin kepastian hukum dan itu sangat berbahaya. Oleh karena itu, kita akan melihat rumusan ini bersama-sama,” tegasnya.
Rumusan norma
Ahli hukum pidana dari Universitas Negeri Jember, I Gede Widhiana Suarda, juga mengingatkan pentingnya rumusan norma dan penjelasan yang jelas. Hal itu menjadi langkah awal ataupun filter awal supaya tidak ada penyalahgunaan dalam implementasi norma oleh aparat penegak hukum nantinya.
Berkaitan dengan masih adanya keberatan-keberatan dari elemen masyarakat sipil, I Gede mengatakan masih ada ruang terbuka bagi publik untuk mempersoalkan hal tersebut melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi.
”Yang kita harapkan, aparat penegak hukum ketika menggunakan KUHP tidak mencoba bermain-main. Ini jadi PR (pekerjaan rumah), tapi ini bukan PR di formulasi kebijakannya melainkan kebijakan aplikasinya,” kata I Gede sembari menekankan pentingnya kontrol di institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.