Sejumlah Norma di KUHP Baru Dikhawatirkan Jadi Pasal Karet
Ada potensi salah tafsir dalam menerapkan sejumlah pasal dalam KUHP yang baru. Karena itu, menjadi penting adanya aturan teknis sebagai pedoman pelaksanaan KUHP oleh aparat penegak hukum kelak.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para akademisi ilmu hukum pidana perlu fokus mencermati pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang masih bermasalah, dalam tiga tahun ke depan. Khususnya untuk menentukan langkah-langkah apa yang harus dilakukan terhadap pasal-pasal tersebut, apakah harus dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atau mencari langkah lainnya.
Sebab, selain adanya kemajuan cemerlang yang ada di buku kesatu KUHP, produk pembentuk undang-undang yang baru disetujui bersama pemerintah dan DPR untuk diundangkan pada 6 Desember lalu masih mengandung sejumlah persoalan. Mengacu pada Pasal 624 RKUHP, undang-undang itu mulai berlaku tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Pengundangan dilakukan setelah RKUHP disahkan oleh Presiden.
Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Milda Istiqomah mengatakan, ada yang bagus dalam KUHP baru, khususnya di buku kesatu, yakni pengaturan tentang pedoman pemidanaan yang mengatur faktor-faktor yang dapat digunakan hakim untuk menjatuhkan pidana. Pasal ini diharapkan dapat mengatasi problem inkonsistensi putusan yang selama ini masih menjadi masalah di pengadilan karena memang ada range of sentence (perbedaan besaran hukuman) yang sangat jauh. KUHP lama mengatur pidana minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun.
”Tidak boleh seperti itu. Dengan adanya pedoman pemidanaan itu, sebetulnya sudah sangat baik. Harapannya dengan adanya pasal-pasal progresif itu bisa membantu berbagai macam keruwetan dan problem yang ada di sistem peradilan pidana,” kata Milda saat dihubungi, Senin (12/12/2022).
Akan tetapi, KUHP baru juga dinilainya memuat pasal-pasal yang mengkriminalisasi yang bisa menjerat orang-orang yang tidak bermasalah atau orang-orang yang tidak memiliki niat untuk melakukan perbuatan jahat. Pasal-pasal yang berpotensi dan dikhawatirkan menjadi pasal karet adalah penghinaan terhadap presiden/wakil presiden, pasal perzinaan, kohabitasi, larangan penyebaran ajaran marxisme atau paham lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
”Ini, kan, kemunduran dari KUHP yang sebelumnya sudah ada,” katanya.
Direktur Program pada Kemitraan Rifqi Sjarief Assegaf sepakat dengan Milda bahwa KUHP baru memberikan pedoman pemidanaan yang lebih jelas bagi hakim. Ada regulasi mengenai hal-hal apa saja yang harus dipertimbangkan oleh hakim saat menimbang berat-ringannya hukuman.
”Problemnya memang ada di teknisnya. Walaupun pedomannya bagus, saya masih melihat ada isu berupa potensi tafsir yang tidak sesuai. Bisa ditafsirkan aneh,” ujarnya.
Rifki yang mengkaji lebih dari 1.000 putusan hakim terkadang menemukan hal-hal aneh tersebut di dalam pertimbangan hakim. Misalnya, terkait usia pelaku yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Ia pernah menemukan, hakim memberikan keringanan kepada terdakwa yang berusia 40 tahun dengan alasan masih muda.
Ada pula hal lain terkait pertimbangan hakim, misalnya terdakwa merupakan kepala keluarga yang menanggung beban ekonomi. ”Kan, bener prinsipnya. Tapi, di dalam praktik, faktor itu dipakai untuk kasus korupsi. Padahal, di kasus pencurian, jarang ada pencuri yang mendapatkan keringanan karena alasan itu. Jadi, yang secara normatif baik, dalam praktik belum tentu seperti itu,” ujarnya.
Hal yang sama juga menjadi kekhawatiran Milda terkait dengan ketentuan mengenai masa percobaan bagi terpidana mati selama 10 tahun. Aturan tersebut memberikan jaminan bahwa terpidana mati tidak akan langsung dieksekusi. Ada waktu 10 tahun untuk mengetahui perilaku yang bersangkutan selama menjalani masa pidana. Hanya saja, Milda menyayangkan tentang kriteria berkelakuan baik yang belum terlalu detail.
”Berkelakuan baik itu seperti apa. Apakah, ya sudah kita diam saja di dalam sel, enggak usah ngapa-ngapain, kita pasti kemudian akan dianggap baik dan pidana mati itu akan diubah menjadi lifetime sentencing (hukuman seumur hidup),” ujar Milda.
Terkait dengan persoalan-persoalan tersebut, Rifqi mengatakan, perlu ada aturan teknis yang menjadi pedoman pelaksanaan sejumlah ketentuan di KUHP baru. Misalnya, khusus untuk hakim, ia menyarankan agar Mahkamah Agung membuat aturan yang lebih detail untuk menerjemahkan lagi hal-hal yang belum diatur di dalam pedoman pemidanaan di KUHP baru. Aturan tersebut bisa dirumuskan para hakim agung di kamar pidana MA.