Mahkamah Kartel
Pergantian ”tengah jalan” Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR menjadi penanda kuat bekerjanya politik kartel. Menguatnya sistem politik kartel menyebabkan penurunan demokrasi dan kebangkitan otoritarianisme.
”Kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong. Jadi perlu saya sampaikan bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi kayak di negara lain.” (Joko Widodo kepada wartawan di Istana Merdeka, 24 Oktober 2019)
Pergantian ”tengah jalan” Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR menjadi penanda kuat bekerjanya politik kartel. Perlakuan representasi hakim konstitusi layaknya struktur perusahaan mencerminkan buruknya praktik ketatanegaraan Indonesia belakangan ini. Alasan bahwa Aswanto kerap menganulir keputusan produk hukum DPR menjadi penjelas kekeliruan dan bahkan melemahkan independensi kekuasaan kehakiman.
Padahal, dalam negara hukum demokratis, keseimbangan kekuasaan diperlukan. Terlebih, segala tindakan hukum ketatanegaraan harus mendasarkan pada landasan konstitusionalitas, yang tak boleh sekalipun tunduk pada kekuasaan semata (rule by man).
Masalahnya, mengapa praktik pergantian yang disebut dalam Tajuk Kompas (26/11/2022) sebagai political recalling bisa dengan mudah terjadi? Mengapa pula lembaga kepresidenan berseia sekata dengan kehendak politik DPR?
Baca juga : ”Political Recalling”
Kartelisasi
Kartelisasi bukanlah hal baru nan mengejutkan dalam politik Indonesia. Kuliah umum di Fakultas Ilmu Sosial (FSW) Universitas Leiden, November 2018, pernah mengingatkan kekhawatiran akan hal ini. Bahwa konsensus penurunan demokrasi serta kebangkitan otoritarianisme disebabkan masalah yang mendasar dari menguatnya sistem politik kartel (Wiratraman, 2018).
Otoritarianisme saat ini tidak sama dengan rezim otoriter militer Orde Baru. Di era pasca-Soeharto, kebangkitan demokrasi nonliberal menyediakan proses formal demokrasi sekaligus merusaknya.
Konsep neo-otoritarianisme diambil dari Goh (2002, 47). Ia berpendapat, ciri neo-otoritarianisme atau otoritarianisme baru adalah ekonomi kapitalis yang membebaskan.
Konsep neo-otoritarianisme diambil dari Goh (2002, 47). Ia berpendapat, ciri neo-otoritarianisme atau otoritarianisme baru adalah ekonomi kapitalis yang membebaskan. Selain itu, negara memiliki kepemilikan yang luas atas alat-alat produksi dan terus berpartisipasi dalam ekonomi kapitalis melalui perusahaan berorientasi laba yang terdesentralisasi, lembaga masyarakat sipil, dan ruang publik yang sebagian besar dikendalikan oleh negara. Elite penguasa mempertahankan jaringan ahli teknokratis, pengusaha publik dan kapitalis lokal, dan memobilisasi ideologi eksepsionalisme hegemonik yang berakar pada identitas kelompok mereka.
Otoritarianisme demikian memerlukan penopang proses kendali pembentukan hukum hingga melemahkan posisi lembaga-lembaga negara, sekalipun semua prosesnya berlindung di balik narasi ”hukum” dan bahkan ”konstitusional”. Ini yang disebut Gunther Frankenberg (2019) sebagai konstitusionalisme otoriter.
Dalam kajian paling muktahir, Dixon dan Landau (2021) menulis soal ”Abusive Constitutional Borrowing”. Menurut dia, penggunaan desain, doktrin, dan konsep ketatanegaraan yang terkait dengan ”konstitusionalisme demokrasi liberal” justru untuk tujuan antidemokrasi.
Hukum bukan tak digunakan, melainkan dipinjam dengan manipulatif. Ada empat tipologinya. Pertama, dipinjam dengan cara palsu, berbentuk norma tanpa substansinya. Kedua, dipinjam selektif, menggunakan sebagian dari normanya. Ketiga, dipinjam kontekstualnya, norma sengaja ditransplantasikan ke dalam konteks dengan latar belakang kondisi yang berbeda. Keempat, dipinjam dengan antitujuan, norma antidemokrasi digunakan kembali untuk mencapai tujuan yang berlawanan.
Bagaimana dengan kartelisasi peradilan ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Moustofa (2014, 281-99), hukum dan pengadilan dapat digunakan oleh rezim otoriter untuk mengonsolidasikan dan menentang demokrasi itu sendiri. Fenomena ini disebut ”judialisasi politik otoriter” (judicialization of authoritarian politics).
Baca juga : Atas Nama Kuasa Politik
Kartelisasi bermula dari menangguk keuntungan pemilu, sebagai pengabsah keterwakilan politik. Sekalipun pemilu jalan formal ketatanegaraan, pemilu menjadi instrumen politik yang digunakan untuk melegitimasi relasi kekuasaan oligarkis. Oligarki adalah aktor yang diberdayakan secara politik dan sosial oleh kekayaan (Winters 2011, 2014).
Tak mengejutkan, pemilu sekarang menampilkan partai-partai politik elite yang tidak lagi tersentralisasi, seperti pada masa rezim otoriter Soeharto. Sebaliknya, elite politik dan ekonomi bersaing di berbagai tingkatan, termasuk politik kartel pusat dan daerah, sambil menjaga hubungan dengan partai-partai mereka (Slater 2018).
Regresi mahkamah
Salah satu wewenang penting Mahkamah Konstitusi yang sekaligus menjadi penyeimbang kekuasaan agar tak cenderung otoriter adalah pengujian undang-undang yang bisa mendorong perlindungan hak asasi manusia. Kewenangan ini kedudukannya penting dalam menjaga demokrasi, itu sebabnya setidaknya 83 persen konstitusi di dunia mengaturnya (Ginsburg dan Versteeg, 2014).
Namun, setelah lebih dari dua puluh tahun, apakah Mahkamah Konstitusi selalu berkomitmen untuk mendorong demokratisasi dan melindungi hak asasi manusia?
Pertama, sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi kecenderungannya justru mengonfirmasi apa yang menjadi catatan Dixon dan Landau (2014), yakni menunjukkan karakter mahkamah yang memberi legitimasi pada undang-undang dan praktik antidemokrasi.
Salah satu wewenang penting Mahkamah Konstitusi yang sekaligus menjadi penyeimbang kekuasaan agar tak cenderung otoriter adalah pengujian undang-undang yang bisa mendorong perlindungan hak asasi manusia.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya bukan saja kerap tidak menjalankan fungsi kontrolnya untuk menghentikan perusakan demokrasi dan prinsip negara hukum secara sistematis, melainkan juga kehilangan kekuatan yang dapat diandalkan untuk membatalkan undang-undang yang mewakili kepentingan politik kekuasaan oligarki. Hal ini bisa kita saksikan dari putusan terkait uji materi UU KPK yang menegaskan pelemahan KPK, omnibus law UU Cipta Kerja, dan UU Mineral dan Batubara. Undang-undang tersebut dibuat tanpa dukungan publik yang substansial, lemah partisipasi, dan dampaknya justru kian merusak tatanan hukum serta memberikan keuntungan bagi elite politik. Putusan para hakim konstitusi justru dominan aktif turut melemahkan tatanan hukum yang seharusnya menopang demokrasi.
Kedua, faktor regresi yang juga mendasar dicatat adalah faktor internal akibat lemahnya komitmen pimpinan di MK untuk menjaga integritas dan independensi MK serta dominasi hakim loyalis pemerintah di MK. Peristiwa pergantian hakim konstitusi sebenarnya tak perlu terjadi apabila pimpinan MK bersikap tegas atas proses formal yang mematuhi ketentuan perundang-undangan ataupun bersikap tegas atas apa yang dimaknakan sebagai potensi konflik kepentingan.
Baca juga : Mendudukkan Persoalan Penggantian Hakim MK
Hal demikian sangat bisa dicegah, dijelaskan secara konstitusional, dan menempatkan kedudukan MK lebih terhormat di hadapan lembaga-lembaga negara utama lainnya. Pergantian hakim konstitusi yang ditengarai terlalu sering membatalkan undang-undang atau bertentangan dengan sikap pembentuk hukumnya jelas argumen tanpa basis konstitusional dan bentuk intervensi berlebihan terhadap independensi kekuasaan kehakiman.
Kini, Mahkamah Konstitusi dihadapkan pada realitas politik hukum pelemahan independensi kekuasaan kehakiman, terutama begitu mudahnya hakim konstitusi diganti DPR. Situasi regresi mahkamah demikian tentu tak boleh dibiarkan terjadi. Perlu upaya lebih sistematis dan kokoh mendorong desain kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang lebih membatasi intervensi politik kekuasaan, termasuk kesungguhan pengambil kebijakan mengakhiri kartelisasi politik dalam sistem ketatanegaraan.
Herlambang P Wiratraman, Dosen FH UGM dan Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS)