Mendudukkan Persoalan Penggantian Hakim MK
Guntur Hamzah sudah diambil sumpah sebagai hakim konstitusi menggantikan Aswanto. Pakar hukum tata negara menilai sudah terjadi pelanggaran UU MK dan UUD 1945. Siapa yang melanggar dan bagaimana pelanggaran itu terjadi?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F05%2F24%2F1ee9cfd0-642f-4cd4-86a2-28cbcf44ff32_jpeg.jpg)
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto
Hari Rabu (23/11/2022) merupakan hari bersejarah untuk republic ini. Tak hanya untuk Aswanto, yang harus melepas statusnya sebagai hakim konstitusi yang sudah disandangnya sejak 21 Maret 2014 dan Wakil Ketua MK yang sudah diemban sejak 2 April 2018. Namun, hari Rabu kemarin juga akan dikenal sebagai hari bisa diintervensinya Mahkamah Konstitusi dengan cara menarik/memberhentikan hakim yang dinilai tidak dapat memperjuang kepentingan lembaga pengusul dan menggantinya dengan hakim baru.
Dihubungi melalui pesan singkat, Aswanto menuturkan, ia menjalani awal hari Rabunya seperti hari-hari lainnya. Ia terbiasa bangun sekitar pukul 03.30 WIB, kemudian shalat dan membaca berkas hingga pukul 06.00, lalu menyiram tanaman. Kegiatan rutinnya di pagi hari.
Bedanya, pada hari itu, Aswanto tidak pergi ke kantor. Ia memilih menemani istrinya berbelanja kebutuhan sehari-hari di salah satu supermarket. “(Biasanya) jam 7 pagi siap-siap ke kantor. Tapi pagi ini saya sudah tidak berkantor. Jadi, pagi ini rencana ngantar ibu ke Alfa untuk cari kebutuhan sehari-hari. Rencana pagi ini sebelum pengambilan sumpah, mobil dinas dikembalikan ke kantor,” kata Aswanto saat dihubungi.
Kemarin memang menjadi hari terakhir Aswanto menjadi hakim konstitusi. Sebab, penggantinya yang dipilih DPR, yaitu Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah, mengucapkan sumpah jabatannya di hadapan Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pukul 09.30 WIB. Guntur dipilih oleh DPR pada 29 September 2022 setelah DPR sepakat untuk memberhentikan Aswanto. Ketua DPR kemudian mengirimkan surat yang berisi hasil rapat paripurna tersebut kepada Presiden untuk dapat diterbitkan keppres.

Presiden Joko Widodo menyaksikan pengucapan sumpah calon hakim konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu, 23 November 2022.
Sejak selesainya sidang paripurna itu, Aswanto sudah mulai memindahkan barang-barang pribadinya yang berada di kantor ke rumah. Tidak ada lagi barang pribadi tersisa di ruangan Wakil Ketua MK yang berada di lantai 14 gedung MK.
Meskipun proses di DPR menuai kontroversi, bahkan sembilan mantan hakim konstitusi termasuk tiga mantan ketua MK, menyatakan tindakan DPR melanggar konstitusi dan undang-undang MK, pelantikan Guntur tetap dilaksanakan. Banyak kalangan menilai, langkah DPR tersebut sebagai bentuk intervensi sebagai kekuasaan kehakiman. Padahal, Pasal 24 UUD 1945 menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Adapun mengenai alasan penggantian Aswanto, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto secara gamblang mengatakan kinerja Aswanto mengecewakan karena kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR. Padahal, Aswanto merupakan hakim konstitusi usulan Senayan. Aswanto dinilai tidak memiliki komitmen dengan DPR.
"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," ujarnya (Kompas, 1/10/2022).
Apakah betul Aswanto dan dua hakim yang diajukan DPR adalah wakil dari DPR. Pasal 24 C Ayat (3) UUD 1945 memang mengatur, “MK memiliki sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.”
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengajak frasa di Pasal 24C UUD 1945 dicermati. “Pilihan frasa di pasal itu adalah ‘diajukan’. Yang mengajukan tiga lembaga, sementara yang menyeleksi bisa berbeda,” kata dia.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F08%2F06%2F20210806_224634_1628265111_jpg.jpg)
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari
Ia juga mengkritik logika Bambang Wuryanto yang menilai MK seperti layaknya perusahaan, dimana hakim MK adalah para direksinya dan DPR adalah pemegang modalnya. Analogi seperti itu, kata dia, sungguh menyesatkan karena konstitusi menegaskan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hakim MK memiliki kemerdekaan untuk memutus perkara yang ditangani, bebas dari segala campur tangan dan intervensi.
Lantas, bagaimana konstitusi mengatur pemberhentian dan pengangkatan hakim MK? Konstitusi melimpahkan pengaturan tersebut di dalam undang-undang, dalam hal ini UU MK. Adapun Pasal 23 UU MK mengatur dengan jelas mengenai alasan dan tata cara pemberhentian hakim konstitusi. Ada dua jenis pemberhentian, yaitu pemberhentian dengan hormat jika meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama tiga bulan sehingga tak dapat menjalankan tugasnya.
Jenis pemberhentian kedua adalah pemberhentian dengan tidak hormat, yang dilakukan jika hakim konstitusi dijatuhi pidana penjara dengan putusan inkracht, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan selama lima kali berturut-turut, melanggar sumpah atau janji jabatan, dengan sengaja menghambat MK memberi putusan, melanggar larangan rangkap jabatan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, atau karena melanggar kode etik.
Adapun tata cara pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan setelah yang bersangkutan membela diri di hadapan Majelis Kehormatan MK.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F04%2Fb0e416c9-adc3-4d53-989a-db6a8b0b991f_jpg.jpg)
Poster yang dibawa aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan beberapa perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani ketika menggelar aksi seruan penyelamatan Mahkamah Konstitusi di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Adapun, pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan keputusan presiden atas permintaan Ketua MK. Keppres tersebut ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal Presiden menerima permintaan pemberhentian dari Ketua MK. Hal ini ditegaskan Kembali oleh MK di dalam putusan pengujian Pasal 87 Huruf b UU MK yang dibacakan Rabu siang.
Ketentuan Pasal 23 UU MK sampai saat ini masih berlaku. DPR dan Pemerintah tidak menghapus ataupun mengubah ketentuan tersebut dalam perubahan ketiga UU MK yang dilakukan pada tahun 2020. Namun, entah apa yang membuat pasal-pasal ini diabaikan.
Selain melanggar ketentuan mengenai pemberhentian hakim MK, proses penunjukan Guntur Hamzah sebagai pengganti Aswanto juga dipertanyakan. Pasal 19 UU MK juga mengatur “Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.”
Sementara itu, pemilihannya diatur di Pasal 20 Ayat (2) UU MK. UU terbaru mengatur, “Proses pemilihan hakim konstitusi dari ketiga unsur Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses seleksi yang obyektif, akuntabel, transparan, dan terbuka oleh masing-masing Lembaga negara.”
Ada penambahan ketentuan bagaimana proses seleksi seharusnya dilakukan. Semula Pasal 20 Ayat (2) UU MK tahun 2003 hanya berbunyi “Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F29%2F12d7705d-ae79-4e49-9d85-d0ab4f2fec5f_jpg.jpg)
Guntur Hamzah (kiri) saat disahkan menjadi Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi saat Rapat Paripurna ke-7 Masa Sidang 1 Tahun Sidang 2022-2023 di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Kamis (29/8/2022).
Namun, aturan-aturan tersebut seakan-akan tidak ada. Feri Amsari mengungkapkan, penunjukan Guntur Hamzah sebagai pengganti Aswanto tidak dilakukan lazimnya DPR melakukan seleksi calon hakim konstitusi. DPR biasanya membuka pengumuman bahwa akan dilakukan seleksi calon hakim konstitusi, kemudian para calon mendaftarkan diri. Proses selanjutnya adalah seleksi tertulis, dilanjutkan fit and proper test atau wawancara oleh seluruh anggota Komisi III DPR.
“Proses ini tidak terjadi. Tidak ada pengumuman di DPR, tidak ada pembukaan pendaftaran untuk mencari siapa yang paling mumpuni dalam proses seleksi dan kemudian dipilih. Ini (Guntur Hamzah) adalah calon tunggal yang kemudian disahkan. Ini tidak lazim dan akal-akalan yang sangat vulgar,” kata Feri.
Baca juga: Di Tengah Kontroversi, Guntur Hamzah Ucap Sumpah sebagai Hakim Konstitusi
Pada 29 September pagi, Komisi III DPR memanggil Guntur Hamzah ke DPR untuk didengarkan visi dan misinya sebagai calon hakim konstitusi. Kemudian, disepakati Guntur ditunjuk sebagai pengganti Aswanto dan keputusan tersebut dibawa ke rapat paripurna DPR pada siang harinya. Proses ini didahului dengan adanya keputusan tidak memperpanjang jabatan Aswanto yang diambil dalam rapat internal Komisi III DPR sehari sebelumnya atau pada 28 September.
Langgar Konstitusi
Pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zaenal Arifin Mochtar, langkah Presiden menerbitkan keppres berpotensi melanggar UUD 1945. Sebab, secara administratif, keppres pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah harus didasarkan pada surat dari MK terlebih dahulu, sesuai dengan Pasal 23 UU MK.
Presiden, menurut Zaenal, bisa saja berdalih bahwa pihaknya hanya mengikuti kehendak DPR selaku Lembaga pengusul hakim MK, dalam hal ini Aswanto. Namun, alasan tersebut tidak dapat diterima karena secara administratif jelas bahwa pengangkatan hakim MK harus didahului dengan surat MK, baru terjadi kekosongan hakim.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F05%2F20%2Ff8b1ba88-541d-4a5b-bd82-18399d231da1_jpeg.jpg)
Pakar Hukum Tata Negara dari UGM Zaenal Arifin Mochtar
“Jelas secara administratif, Presiden melakukan tindakan kacau. Kedua, alasan cuma melantik itu tidak cukup. Karena alasan itu harusnya ditemani dengan alasan lainnya, misalnya alasan tertib administrasi dan lainnya. Ketiga, potensi melanggar UUD-nya besar karena mengancam independensi hakim. Keempat, secara etik juga bermasalah, mana mungkin hakim diganti karena DPR dan pemerintah tidak suka atas putusannya,” kata Zainal.
Dalam sistem ketatanegaraan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menegaskan terdapat lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Menurut Pratikno, Presiden tidak bisa mengubah keputusan yang sudah ditetapkan oleh lembaga negara yang lain, dalam hal ini DPR.
Selain itu, dalam UU MK, terdapat kewajiban administratif dari Presiden untuk menindaklanjuti keputusan DPR tersebut dalam bentuk keppres. Penerbitan keppres ini menjadi kewajiban administratif yang harus dilakukan oleh Presiden (Kompas.id, 23/11/2022).
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, yang dihubungi terpisah mengungkapkan, DPR dan Presiden melanggar konstitusi. Menurut dia, memang benar Presiden hanya menindaklanjuti keputusan DPR. Namun, menurut Charles, ada mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR.
Presiden dapat saja menggunakan hak konstitusionalnya untuk menolak menindaklanjuti keputusan DPR yang melanggar UU dan konstitusi. “Dia (Presiden) disumpah untuk taat pada konstitusi dan UU,” ujarnya.
Secara hukum ketatanegaraan, posisi DPR dan Presiden setara sehingga kalau ada yang melanggar Presiden harus meluruskan pelanggaran yang dilakukan. Apalagi, RI menganut sistem presidensial dimana Presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan.
“Jabatan kepala negara meletakkan Presiden sebagai primus interpares dibanding jabatan lainnya di negara ini. Kalau enggak, kenapa dia diberi RI-1,” kata dia.